Minggu, 26 September 2010

TRAFFICKING


TRAFFICKING (PERDAGANGAN MANUSIA) DI NTT: PROBLEM KEMANUSIAAN AKUT

Oleh: Mathias Herdyanto Sujono
           

I. Pendahuluan
            Isu perdagangan manusia (human trafficking) telah menjadi isu penting dewasa ini. Sebagian orang yang terjerat migrasi baik karena tekanan ekonomi maupun politik dikorbankan martabatnya sebagai manusia. Mereka diperas, ditipu, diperkosa, dianiaya hingga dijual untuk dijadikan budak di rumah-rumah pelacuran atau sebagai pekerja domestik dengan upah yang rendah atau tidak dibayar sama sekali. Umumnya mereka adalah perempuan dan gadis-gadis muda serta anak-anak. Mereka datang dari lapisan masyarakat bawah dan berpendidikan rendah yang didorong oleh deraan kemiskinan untuk memperbaiki hidup.
            Bagaimanapun kejahatan human trafficking merupakan pengingkaran secara total terhadap Hak Asasi Manusia. Di dalamnya manusia dieksploitasi secara ekonomis, ditindas secara kultural, dan dimarginalkan secara sosial atau manusia dijadikan bukan lagi sebagai pribadi (non person).[1] Fenomena trafficking yang terjadi sebenarnya telah merebak masuk hingga ke seluruh daerah di Indonesia termasuk NTT. Akan tetapi begitu banyak orang kurang begitu menyadarinya. Oleh karena itu melalui tulisan ini penulis ingin membangkitkan kesadaran masyarakat NTT akan adanya trafficking (khususnya trafficking di NTT) sebagai ancaman terbesar terhadap integritas kemanusiaan kita di tengah wacana HAM yang gencar digalakkan di Indonesia saat ini.

II.    Trafficking (Perdagangan Manusia) Di NTT sebagai Problem Kemanusiaan
2.1. Pengertian Trafficking (Perdagangan Manusia)
            Trafficking di banyak negara telah dirumuskan dengan berbagai definisi. Ada begitu banyak pengertian tentang trafficking dewasa ini baik yang dikeluarkan oleh negara-negara peserta Konvensi Anti Trafficking maupun yang terdapat dalam rumusan UU (Undang-Undang) di Negara Indonesia. Dalam tulisan ini penulis tidak menyertakan seluruh definisi dan penjelasan yang begitu terperinci tentang trafficking.
            Dalam Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa trafficking merupakan pergerakan dan penyelundupan orang secara sembunyi-sembunyi melintasi batas-batas negara dan internasional, kebanyakan berasal dari negara berkembang dan negara-negara yang ekonominya berada dalam masa transisi, dengan tujuan untuk memaksa perempuan dan anak-anak masuk ke dalam sebuah situasi yang secara seksual maupun ekonomi teropresi, dan situasi eksploitatif demi keuntungan perekrut, penyelundup, dan sindikat kriminal, seperti halnya aktivitas ilegal lainnya yang terkait dengan perdagangan (trafficking), misalnya pekerja rumah tangga paksa, perkawinan palsu, pekerja yang diselundupkan dan adopsi palsu.[2]
Di Indonesia sendiri pengertian tentang trafficking masih belum begitu jelas. Hal ini dipengaruhi oleh belum jelasnya Undang-Undang mengenai trafficking. Akan tetapi berbagai Badan Nasional maupun Internasional terus memperjuangkan proses Undang-Undang ini dalam rangka memerangi trafficking yang terjadi di Indonesia pada dasawarsa terakhir. Menurut draft terakhir yang diajukan oleh Badan Anti-Trafficking tertanggal 12 Juli 2006 ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk disahkan dalam artikel satu (1) trafficking didefinisikan sebagai

“suatu proses perekrutan, pengangkutan, penyelundupan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan dari pribadi-pribadi dalam arti berupa ancaman-ancaman, kekerasan, penculikan, pengurungan, pemalsuan, penipuan atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi yang mudah diserang karena lilitan utang, atau memberikan pembayaran, atau pembebasan, sebagai cara untuk mengambil keuntungan dari seseorang dengan cara mengontrol orang lain untuk tujuan eksploitasi atau untuk sebab eksploitasi di dalam atau di luar negeri.”[3]

            Dalam Pasal 1.1, UU No. 21 th 2007, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dikatakan’ Perdagangan Orang adalah

tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan dan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan uang atau memberikan bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antarnegara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.[4]

            Berdasarkan berbagai studi, ditengarai bahwa ada beberapa propinsi di Indonesia yang umumnya merupakan daerah sumber, namun ada beberapa kabupaten/kota di propinsi itu yang juga diketahui sebagai daerah penerima atau yang berfungsi sebagai daerah transit. Perempuan dan anak Indonesia juga banyak yang diperdagangkan ke luar negeri dengan jalur transportasi melalui daerah transit yang pada umumnya berada di daerah perbatasan atau kota-kota besar yang mempunyai fasilitas perhubungan yang baik.[5] Adapun tujuan traffficking antara lain bekerja domestik di luar negeri, pelayan di tempat-tempat hiburan malam, dipekerjakan di rumah-rumah pelacuran, perkawinan antar negara, dipekerjakan secara paksa di perkebunan, dijadikan sebagai pengemis (khusus anak-anak), nikah kontrak dan lainnya.[6] Mereka ini di jual ke Malaysia, Singapura, Taiwan dan Negara-negara Timur Tengah seperti Arab, Irak, Iran dan lainnya.
           
2.2. Sekilas tentang Persoalan Trafficking Di NTT
2.2.1.      Trafficking di NTT
Josefina Banusu (18) dan Yohana Banusu, dua gadis asal Kampung Tainmetan, Kelurahan Ainiut, Kecamatan Insana, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) menjadi korban perdagangan manusia. Keduanya dijual ke Malaysia akhir bulan Desember 2005 saat Josefina masih berumur 15 dan Yohana berumur 14 tahun. Mereka dijual bersama lima wanita lainnya dari kebupaten Belu. Josefina berhasil kembali ke Kefamenanu, Jumat 27/2/2009 setelah ditangkap di sebuah restoran pada bulan Januari 2009 lalu. Ia dipulangpaksa oleh Pemerintah Malaysia setelah dijebloskan ke dalam penjara selama 1 bulan. Namun hingga pulang ke kampung halamannya, Josefina belum bertemu dengan sepupunya yang diduga dijual ke tempat lain.[7]
            Media pemberitaan kita (NTT) banyak menampilkan berbagai kasus perdagangan manusia. Contoh kasus di atas hanya sebagai satu gambaran dari sekian banyak kasus yang mulai terungkap sepanjang tahun 2008-2009. Hal ini menunjukkan bahwa NTT telah menjadi daerah yang rawan terhadap isu perdagangan manusia. Perlu diakui bahwa di Indonesia sendiri sangatlah lambat menangani berbagai isu perdagangan manusia. Isu trafficking saja baru mengemuka di Indonesia pada awal tahun 2000. Hal ini dipengaruhi oleh adanya kekerasan terhadap TKW di luar negeri dan isu prostitusi atas para tenaga kerja Indonesia di dunia internasional.
            Di NTT belum terdapat data yang valid tentang korban perdagangan manusia (trafficking). Akan tetapi menilik berbagai pemberitaan media, misalnya seperti yang diutarakan dalam contoh kasus di atas, perdagangan manusia di NTT sudah berlangsung sejak lama. Hanya saja banyak pihak belum begitu menyadari akan adanya trafficking di NTT. Pemerintah bahkan belum mampu merealisasikan secara nyata berbagai peraturan dan perundang-undangan guna mencegah trafficking meskipun telah diamandemenkan.
            Data terakhir (Desember 2009) terungkap beberapa fakta trafficking yang terjadi di Indonesia. Hal ini terungkap dalam kunjungan kerja Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Mereka menyatakan ditemukan perdagangan wanita dan kekerasan terhadap anak banyak terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Timur. DPR mendapat laporan ada 1.300 kasus perdagangan manusia dan pengiriman tenaga kerja ilegal dari NTT dan mendesak aparat penegak hukum menindak tegas sindikat tenaga kerja di Nusa Tenggara Timur (NTT). Setiap hari terdapat delapan penerbangan masing-masing terdiri 16 orang berangkat dari bandara El-tari Kupang menuju Surabaya sebagai tempat pertemuan. Meski sudah ada kepolisian, kejaksaan dan Depnakertrans serta pemerhati masalah NAKER (Tenaga Kerja) dan LSM, tetapi kejahatan trafficking ini tetap saja lolos.[8]
            Lantas siapa yang pantas bertanggung jawab? Semua pihak semestinya turut bertanggung jawab terhadap persoalan ini. Mulai dari pemerintah pusat, aparat pemerintah tingkat propinsi, kabupaten/kota hingga kelurahan dan RT/RW maupun lembaga swasta bahkan tokoh masyarakat dan keluarga serta korban itu sendiri turut bertanggung jawab atas persoalan trafficking yang terjadi. Fakta membuktikan, kasus human trafficking terbanyak bermula dari minimnya lapangan kerja. Akibatnya banyak pencari kerja nekad mencari pekerjaan apa saja hingga di luar negeri. “Modal nekad” itu sendiri kadang melangkahi aturan yang ada.[9]
            Hal ini mengindikasikan bahwa tak perlu ada saling lempar kesalahan dalam kasus trafficking di NTT. Pemerintah bisa disalahkan karena penyediaan lapangan kerja yang kurang, kegagalan ekonomi, ketidakmerataan pembangunan, politik busuk, korupsi, dan lainnya yang menyebabkan kebutuhan masyarakat diabaikan. Di lain pihak rakyat dapat juga disalahkan karena melanggar setiap peraturan yang ada, tidak kreatif menciptakan lapangan kerja, putus sekolah (karena malas), dan lainnya hingga kemudian terjerat dalam trafficking. Pertanyaannya, mengapa NTT mejadi lahan perdagangan orang?


2.2.2.      Sebab-sebab Trafficking di NTT
2.2.2.1. Faktor Hukum dan Sistem Politik
            Dalam rapat koordinasi Rencana Aksi Nasional Hak Azasi Manusia (RANHAM) Daerah Provinsi NTT, yang diselenggarakan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM (DEPKUMHAM) Provinsi NTT, Selasa 15/9/2009 dinyatakan bahwa saat ini kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) ternyata masih cukup tinggi di NTT. Kemudian, menyusul kasus perdagangan manusia (trafficking). Dalam kasus trafficking meskipun Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang tindak pidana perdagangan manusia telah diterbitkan namun kasus trafficking terus saja meningkat. Kendala terbesar disebabkan oleh karena hukum itu hanya sebatas diketahui oleh penegak hukum, sementara masyarakat tetap saja tidak mengerti. Hukum tidak sampai ke masyarakat, sehingga masyarakat baru mengerti kalau ia sudah dinyatakan bersalah dan melanggar hukum.[10]
            Selain itu, laporan Eksekutif Migrant Care Indonesia menyatakan Provinsi Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur merupakan kantong perdagangan manusia ke luar negeri. Jalur perdagangan manusia yang kebanyakan perempuan di Jawa Timur dan NTT ini melewati dua pelabuhan, yakni Tanjung Perak di Surabaya dan Bali. Tanjung Perak merupakan jalur untuk menuju negara-negara Asia, seperti Malaysia, Hong Kong, Korea, dan Arab Saudi. Adapun pelabuhan di Bali dipakai untuk  menyelundupkan perempuan ke negara-negara Eropa.[11] Kenyataan ini membuktikan bahwa NTT berada di bawah ancaman akan adanya pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia yang cukup serius. Trafficking telah menjadi trend baru untuk mencari untung meskipun dengan mengorbankan martabat manusia yang lain.
            Selain persoalan hukum, situasi politik di NTT juga menjadi kendala yang cukup serius dalam penanganan persoalan kemanusiaan seperti trafficking. Pemerintah lebih meleburkan dirinya dalam persoalan politik, pilkadal, tambang, batas wilayah, dan lainnya ketimbang mengurus berbagai kejanggalan dalam proses pengiriman tenaga kerja ke luar negeri. Di tengah persoalan kemiskinan NTT justru bergelut dalam berbagai kasus korupsi yang menjadi persoalan pelik saat ini.
            Peneliti ICW, Ilian Deta Arthasari mengatakan, dari sisi sumber daya alam, NTT merupakan wilayah yang tandus. Selain itu yang menjadi masalah NTT adalah pembangunan yang terbelakang, termasuk di bidang kesehatan dan pendididikan serta angka balita yang meninggal karena busung lapar cukup tinggi. Ironisnya, angka korupsi di NTT tinggi sementara NTT masih bergantung pada bantuan pemerintah pusat. Namun, banyak dana yang bocor di tengah jalan, tak sampai ke tangan masyarakat. Menurut data [Transparency International Indonesia] TII tahun 2009, Kupang, ibu Kota NTT merupakan daerah terkorup di Indonesia. Bahkan menurut LSM PIAR [Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat], korupsi di NTT merata di banyak sektor. Pengadaan air dikorupsi, beras miskin dan pengadaan vaksin memiliki banyak penyimpangan dan kejanggalan dalam perealisasiannya.[12]
Atas dasar itu Indonesian Corruption Watch (ICW) mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum agar menelaah dugaan korupsi di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Korupsi yang menyebabkan NTT berada di urutan 31 dari 33 provinsi untuk kategori tingkat kesejahteraan masyarakat. Tiga pihak diduga menyebabkan kondisi provinsi tersebut terpuruk, yakni birokrasi, penegak hukum, dan kontraktor. Birokrasi dan penegak hukum sangat sering bekerja sama dengan para kontraktor untuk menguntungkan diri sendiri.[13]

2.2.2.2. Faktor Budaya, Ekonomi dan Kekerasan dalam Masyarakat
            Penyebab lain tindakan trafficking dapat dilihat dari tradisi budaya yang materialistik (pesta adat, belis yang mahal, dan lainnya), keadaan yang kurang menguntungkan secara geografis (kemarau panjang, daerah kurang air dan tidak subur, dan lainnya), serta kekerasan dalam masyarakat terutama keluarga (KDRT). Dalam sebuah kesempatan sosialisasi pelayanan dan perlindungan sosial dan hukum bagi korban eksploitasi, perdagangan perempuan dan anak di Ende, Sabtu, 13/6/2009, Kepala Dinas Sosial Kabupaten Ende menyatakan bahwa penyebab utama lain timbulnya perdagangan perempuan dan anak adalah faktor tekanan ekonomi. Namun nasib mereka kadang berakhir di tangan sindikat perdagangan manusia. Mereka dijual bahkan dilacurkan tanpa dibayar.[14]
            NTT sebenarnya termasuk salah satu Propinsi di Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang kurang secara ekonomi. Deraan kemiskinan masih begitu dirasakan oleh banyak masyarakat terutama di daerah pedesaan. Berdasarkan hasil survei, tingkat kemiskinan di KTI jauh lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata nasional dan rata-rata KBI (Kawasan Barat Indonesia). Sebagai contoh pada tahun 2008 secara nasional angka kemiskinan hanya sebesar 15,42% dan KBI sebesar 14,59%, sementara di KTI angkanya mencapai 18,23%. Bahkan ada beberapa Provinsi di KTI yang tingkat kemiskinannya berada di atas 20%, seperti NTB, NTT, SULTENG, Gorontalo, Maluku, Papua dan Papua Barat. Tingkat kemiskinan di NTT pada tahun 2002-2008 misalnya, tahun 2002 ada sekitar 1.206,49 (30,74%) penduduk miskin, sementara tahun 2005 terdapat 1.171,2 (28,19%) dan tahun 2008 sebesar 1.098,3 (25,65%) penduduk miskin. Meskipun ada penurunan dalam rentang waktu tersebut, kendala ekonomi dan masalah kemiskinan masih mengganjal setiap peningkatan pembangunan di NTT.[15]
            Di lain pihak, dari pengolahan data dari SUSENAS 2005, kita bisa melihat gambaran RT miskin secara nasional dengan perbedaan perkotaan dan pedesaan, bisa juga kita melihat sampai level propinsi atau kabupaten. Jika melihat RT miskin di tiap propinsi maka bisa disimpulkan bahwa propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang memang terkenal sebagai propinsi yang miskin, mempunyai jumlah RT miskin yang paling tinggi, yakni sekitar 78.6% atau mendekati 80%. Kondisi ini ternyata lebih buruk dibandingkan kondisi tahun 2004, sekitar 75%. RT miskin di NTT sebagian besar ada di pedesaan di mana sekitar 85.6% RT di pedesaan tergolong miskin, sedangkan di perkotaan hanya 40.8%.[16]
Keadaan di atas menyebabkan begitu banyak orang NTT berusaha mengadu nasib dan rejeki di luar negeri terutama di Malaysia. Lilitan kemiskinan membuat ratusan orang berpindah dari satu wilayah ke wilayah lain setiap tahunnya demi perbaikan ekonomi dan kualitas hidup. Data menunjukkan, keuskupan asal para TKI ilegal (khusus NTT) yang masuk ke Malaysia melalui pintu Nunukan Kalimantan Timur antara lain TKI asal Keuskupan Larantuka sebanyak 27,000 orang, Keuskupan Maumere sebanyak 15,000 orang dan Keuskupan Agung Ende sebanyak 10,000 orang.[17] Dari wilayah-wilayah lain juga tentu berjumlah tak sedikit.

2.2.2.3. Faktor Pendidikan
Salah satu faktor lain yang menyebabkan adanya trafficking adalah kurangnya pendidikan di pihak tenaga kerja. Namun perlu diketahui, terdapat beberapa kendala dalam pola pendidikan di Indonesia, khususnya di NTT yakni, biaya pendidikan yang mahal dan hanya dinikmati oleh kelas-kelas sosial tertentu, membawa pola pendidikan Orde Baru yang tersitematisasi dari atas dengan sentralisasi pendidikan berada pada otoritas tertinggi dan mengabaikan peran guru terutama dalam tataran praktiknya. Lalu, tenaga guru kurang berkompeten serta pola hidup masyarakat yang kurang peka terhadap perkembangan pendidikan. Hal ini menyebabkan kualitas pendidikan di NTT masih rendah, yang salah satunya terbukti lewat hasil Ujian Nasional sebagai standar Nasional.
Pada ujian nasional tingkat SMA/SMK 2009 di NTT, terdapat tujuh sekolah yang tingkat kelulusan nol persen yakni tiga SMA swasta di Kota Kupang, satu SMA negeri dan satu SMA swasta di Sumba, dua Madrasah Aliyah dan satu SMK Tarbiyah. Dari jumlah peserta ujian nasional 2009, sebanyak 34.161 pelajar dinyatakan lulus, sementara hampir 13.000 pelajar gagal.
Sementara itu, prosentase kelulusan Ujian Nasional tingkat Sekolah Menegah Umum (SMU) di Nusa Tenggara Timur  (NTT)  mengalami penurunan hingga 21,31 persen. Tahun 2009 tingkat kelulusan mencapai 69,23 persen, namun tahun 2010 turun menjadi 47,92 persen. Penurunan ini diakibatkan pada persoalan utamanya yaitu kurangnya pemetaan yang baik soal kualitas penddidikan di NTT sehingga secara Nasional presentase keluluasn NTT pada posisi struktur sangat terpuruk. NTT berada di nomor buntut. Pada tahun 2010, dari 35.000 siswa pada 221 SMU di NTT yang lulus hanya 16.868 orang sementara yang tidak lulus 52,8 persen dari jumlah siswa sebanyak 18.333 orang peserta ujian. Sementara itu, pada pengumuman UN tingkat SMP/MTS, persentase kelulusan menurun 10,13 persen dibandingkan dengan tahun 2009 atau dari 70 persen lebih menjadi 60 persen lebih.[18]
Hal di atas membuat pemerintah pusat membuat pertimbagan untuk mengalokasikan dana senilai Rp 100 miliar untuk intervensi penanganan pendidikan di daerah-daerah yang hasilnya UN-nya rendah khususnya NTT. Dana itu akan digunakan untuk penataan tenaga guru dan membenahi persoalan yang menjadi kendala dalam peningkatan mutu pendidikan di setiap provinsi.[19]
Menilik kenyataan di atas tentunya kita mesti merasa prihatin terhadap kualitas pendidikan di NTT. Siapakah yang patut disalahkan dalam hal ini? Ketidaklulusan juga dapat mengakibatkan banyak pengangguran dan keinginan untuk menjadi TKI akan meningkat. NTT ditilik dari kualitas pendidikan sangatlah rendah. Banyak orang NTT yang dikirim ke luar negeri umumnya berpendidikan rendah atau tidak berpendidikan sama sekali. Apalagi bila ditambah dengan kualitas kelulusan yang rendah seperti tahun ini bukanlah tidak mungkin orang-orang NTT yang ke luar negeri akan semakin meningkat meski tanpa ijasah.

2.2.2.4. TKI Ilegal
“Perhatian masyarakat atas TKI ilegal di Malaysia, kini sudah menjadi masalah multidimensional yang melibatkan berbagai pihak. Kalau mau jujur, persoalan TKI ilegal sebenarnya muncul sejak masa rekrutmen, cara masuk ke Malaysia, sampai ketika kembali ke tanah air.”[20]

            Persoalan TKI ilegal di Indonesia dan bukan tidak mungkin di NTT sudah tak asing lagi di mata publik. Media pemberitaan NTT telah berulangkali menurunkan berbagai informasi tentang tertangkapnya para TKI ilegal yang hendak ke luar negeri. Terkadang motivasi mereka dipengaruhi oleh kecurangan para perekrut maupun karena dorongan pribadi dengan berbagai alasan yang menyertainya untuk mencari nafkah di luar negeri.
Kenyataan akan banyaknya TKI ilegal ini menyebabkan maraknya isu trafficking di NTT. Akan tetapi, jika ditinjau secara lebih jauh, ada begitu banyak sebab seperti yang diuraikan di atas, yang dapat dibebankan kepada semua pihak di NTT sehingga kasus trafficking kian marak terjadi. Sistem hukum dan politik yang kurang stabil, budaya yang kurang memihak ataupun kekerasan yang menyertainya serta kondisi mental dan intelektual yang kurang menguntungkan (putus sekolah, buta huruf, dan lainnya) sehingga mudah ditipu. Selain itu, korupsi, penyalahgunaan wewenang, kurang terampilanya para tenaga kerja dan ketidakprofesionalan para penempat tenaga kerja, keterbatasan informasi dan pengetahuan calon TKI mengenai sistem ketenagakerjaan serta perlakuan buruk di daerah migran menjadi penyebab lain mengapa begitu banyak orang memilih jalur ilegal hingga terjebak dalam trafficking.

2.3. Trafficking Di NTT: Ancaman dan Tanggung Jawab Kemanusiaan
UU NO 21 Tahun 2007 secara jelas menyatakan bahwa perdagangan manusia  bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan melanggar hak asasi manusia serta menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa dan negara serta terhadap norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia.[21] Hal ini kian dipertegas lagi dalam UU No. 21 tahun 2008 bahwa secara hukum perdagangan orang merupakan pelanggaran berat terhadap kemanusiaan.[22]
Kasus perdagangan orang di NTT sudah mengarah ke tingkat yang sangat serius. Persaingan antara perusahaan dalam perekrutan tenaga kerja di lapangan kian ketat. Pola perekrutan pun mulai mengabaikan prosedur-prosedur yang ditetapkan pemerintah. Perekrutan tenaga kerja seakan diformat ke dalam pola premanisme berupa cara-cara pemaksaan dalam perekrutan calon tenaga kerja untuk menjadi tenaga kerja di luar negeri. Pola ini mulai diterapkan oleh PJTKI (Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia) dari luar NTT yang memiliki perwakilan di NTT seperti tanpa melalui training (pelatihan) dan pembuatan dokumen yang sesuai prosedur, serta melakukan pengiriman calon TKI yang masih berada di bawah umur.[23]
Fenomena perdagangan manusia sebagaimana diutarakan di atas sebenarnya sanggup diatasi jika masyarakat NTT melalui badan khusus pemerintahan yang menangani ketenagakerjaan mampu bertindak tegas. Meskipun trafficking menjadi tanggung jawab bersama, sangatlah perlu pemerintah sebagai otoritas tertinggi sebagai penentu kebijakan melakukan sosialisasi dan penindakan tegas terhadap bahaya trafficking. Aplikasi UU anti trafficking seharusnya sudah sampai ke tangan rakyat hingga dengan itu masyarakat mampu lebih waspada terhadap bahaya perdagangan orang.
Pandangan umum menyatakan bahwa maraknya perdagangan manusia (perempuan dan anak-anak) di NTT bermula dari kebiasaan kalangan aparat pemerintah tingkat desa/kelurahan, kecamatan hingga kabupaten/kota yang mempermudah proses penerbitan Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau Akta Kelahiran bagi seseorang dengan memanipulasi umur ataupun alamat. Padahal sangat jelas pemohon KTP adalah pendatang dan belum tercatat sebagai penduduk setempat. Dengan melakukan hal ini, aparat pemerintah desa secara tidak sadar telah terjerumus ke dalam mafia perdagangan orang (trafficking). Uang menggoda mereka untuk mengabaikan proses administrasi kenegaraan yang sah serta menghancurkan masa depan calon tenga kerja.[24]
Kenyataan di atas menunjukkan lemahnya rasa tanggung jawab kemanusiaan pemerintah terhadap bahaya trafficking. Secara hukum mereka semestinya tahu, sebab mereka berkompeten untuk mengurus dan mengatur berbagai administrasi kelayakan seorang tenaga kerja yang hendak ke luar negeri. Mereka telah disiapkan secara khusus untuk menangani berbagai persoalan ketenagakerjaan dengan dibekali oleh pengetahuan migrasi beserta perundang-undangannya. Bagaimanapun, tak disangkal bahwa kelalaian TKI juga mempengaruhi adanya trafficking (ke luar negeri secara ilegal) akan tetapi ini tidak menutup kemungkinan bagi pemerintah untuk bersikap tegas dan jujur terhadap tugasnya serta melakukan sosialisasi kepada masyarakat di NTT tentang bahaya manjadi TKI ilegal dan risiko trafficking.
Akan tetapi menjadi persoalan ketika pemerintah atau pihak terkait justru masuk dalam jaringan sindikat perdagangan manusia. Misalnya kasus perdagangan manusia di TTU (Timor Tengah Utara) yang melibatkan Staf Depag TTU pada Bulan Agustus, 2009 lalu.[25] Di lain pihak, dan menjadi persoalan pelik saat ini, PJTKI (Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia) sendiri menjadi aktor utama sebagai perantara dalam mensuplai para wanita dan anak-anak untuk dijual ke tempat lain baik luar maupun dalam negeri. Misalnya kasus yang menimpa seorang wanita asal Jakarta yang datang ke Kupang untuk traveling nyaris dijual ke sejumlah pejabat di Kota Kupang oleh salah seorang pimpinan PJTKI di Kota Kupang.[26]
Beberapa contoh di atas menunjukkan bahwa tanggung jawab kemanusiaan terhadap berbagai persoalan trafficking tidak bisa diharapkan lagi datang dari pihak tertentu. Bagaimanapun tanggungjawab kemanusiaan terkadang dapat didefinisikan berbeda bagi setiap orang. Berbagai organisasi dapat berdiri untuk menjadi penyuara berbagai ketidakadilan, akan tetapi terkadang berjalan dengan berbagai maksud yang bersifat under ground. Maka tanggung jawab kemanusiaan itu dibebankan kepada kita semua terkhusus insan-insan intelektual yang akan, sedang dan telah bergelut dalam berbagai percaturan ilmu pengetahuan untuk menyuarakan keberpihakan kita kepada orang-orang yang diberlakukan secara tidak adil.

2.4. Trafficking dan Perlunya Kontekstualisasi Diskursus HAM di NTT
2.4.1.      Penyederhanaan Bahasa Hukum
             Hormat terhadap hak-hak asasi boleh dilihat sebagai perwujudan konkret dari pengakuan istimewa atas martabat manusia setiap orang yang patut dijunjung tinggi. Hak-hak itu melekat pada diri setiap orang karena bersemayam dalam kemanusiaan seseorang. Sumber langsung Hak Asasi Manusia adalah martabat (nilai luhur) setiap manusia. Kesadaran akan pentingnya hak-hak semakin matang sejalan dengan kesadaran moral umat manusia yang juga semakin berkembang. Penghargaan dan pengakuan terhadap hak-hak berhubungan erat dengan penghayatan nilai-nilai, khususnya nilai-nilai moral. Dalam hubungan dengan HAM, penghargaan seperti itu merupakan suatu imperatif moral dan bukan soal belas kasih dan keputusan pribadi.[27]
             Menilik pernyataan di atas sangatlah tepat bahwa setiap kekerasan ataupun pelanggaran moral yang terjadi dalam masyarakat dilihat sebagai pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. Bagaimanapun, berbagai bentuk perendahan terhadap manusia dalam seluruh kepenuhan eksistensinya merupakan sautu bentuk pengikisan dan penghilangan terhadap martabat seseorang. Tidak dapat disangkal bahwa warisan historis telah memberikan suatu “tradisi” kekerasan yang menggenerasi dalam setiap budaya. Benar bahwa kesadaran akan hak-hak asasi manusia berjalan beriringan dengan kesadaran moral manusia yang semakin berkembang. Persoalannya justru adalah kesadaran moral seperti apa yang mempengaruhi perkembangan kesadaran akan hak-hak asasi itu? Kenyataan menunjukkan justru begitu banyak pelanggaran terjadi di zaman sekarang di tengah berbagai diskursus moral dan HAM yang terus bergama.
             Contoh yang patut dikemukakan adalah fenomena trafficking yang terjadi di NTT. Berbagai kasus seperti yang dikemukakan pada bagian terdahulu seakan menunjukkan ketidakefektifan praktek hukum dan moral di NTT. Hak Asasi Manusia menjadi sebatas wacana tanpa adanya konkretisasi dalam konteks hidup kemasyarakatan. Hal ini dibuktikan dengan rendahnya kesadaran moral maupun hukum pada masyarakat di NTT baik di masyarakat sipil maupun di kalangan pemerintah. Masyarakat terutama pemerintah, belum begitu serius menanggapi adanya isu perdagangan orang di NTT.
             Kasus trafficking di NTT sepertinya tidak mengalami perubahan yang signifikan akibat lemahnya koordinasi dan pengawasan yang dilakukan pemerintah kabupaten/kota dan propinsi. Kasus perdagangan orang justru semakin kronis ditambah dengan tidak adanya pembinaan lanjutan oleh pemerintah kabupaten atau kota terhadap calon tenaga kerja yang digagalkan pemberangkatannya ketika dipulangkan ke kampung halamannya. Perlu diakui bahwa pemerintah NTT telah menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 14 tahun 2008 tentang Pencegahan dan Penanganan Perdagangan Manusia (trafficking). Perda tersebut bermaksud memberikan perlindungan kepada setiap anggota masyarakat dari upaya menjadikannya sebagai objek komersial. Namun sejak Perda itu ditetapkan DPRD Propinsi NTT pada 9 Juni 2008, pemerintah belum melakukan sosialisasi di tingkat kabupaten/kota akibat ketiadaan anggaran untuk sosialisasi.[28]
             Hal ini membuktikan bahwa pemerintah dan DPRD NTT sangat lambat untuk melakukan sosialisasi Perda tentang trafficking kepada masyarakat. Alasan ketiadaan dana yang dikemukakan menunjukkan komitmen pemerintah dalam menangani isu trafficking di NTT masih setengah hati. Hak Asasi Manusia, moral, hukum dan perundang-undangan hanya sebatas sebagai wacana ilmiah-intelektual. Realisasinya tidak tampak dalam masyarakat. Hal ini kemudian diperparah lagi oleh mental instan masyarakat dan egoisme otoritas pemerintah. Faktor ekonomi, kemiskinan, buta huruf serta kurangnya pendidikan pada masyarakat yang melengkapi ketidakpahaman mereka akan HAM diperburuk oleh sikap acuh pemerintah terhadap persoalan trafficking.
             Oleh sebab itu dibutuhkan suatu diskursus HAM yang menukik ke dalam konteks. HAM tidak sekadar menjadi wacana perdebatan publik itelektual dalam ranah ilmiah semata mengingat rendahnya partisipasi masyarakat kita dalam aktus itelektual yang pertisipatif. Diskursus HAM bukan sekadar dijadikan sebagai polemik pada koran-koran lokal maupun nasional mengingat banyak masyarakat kita masih kurang tanggap terhadap perkembangan media komunikasi. Saatnya diskursus dan wacana HAM dijadikan “tindakan” yang menyentuh konteks, budaya, politik, agama, sosial maupun ekonomi.
             Di sinilah kita membiarkan setiap lapisan masyarakat diberi kesempatan berpartisipasi dalam pewacanaan HAM. Maka diperlukan penyederhanaan bahasa, baik dalam tataran hukum, politik, ekonomi, sosial dan lainnya. Komunikasi tentang HAM mampu dimengerti dan terserap oleh masyarakat bila memperhatikan struktur pendidikan masyarakat. Hal ini tidak berarti bahwa diskursus ilmiah ditiadakan, tetapi justru kian ditingkatkan dengan suatu pembelajaran yang lebih aplikatif melalui kontekstualisasi pelaksanaan. Artinya bahasa sebagai sarana pengkomunikasian diskursus HAM mesti dapat dimengerti oleh masyarakat lapisan bawah dan kelas-kelas tertentu dalam masyarakat.

2.4.2.      Upaya Konkret Pemberantasan Trafficking
Maraknya berbagai persoalan trafficking yang terjadi di NTT jelas mengindikasikan gagalnya pemerintah Propinsi untuk melindungi rakyatnya. Akan tetapi, bukan saatnya untuk melempar kesalahan dan tanggung jawab. Sebagai masyarakat yang memiliki rasa kemanusiaan tentunya kita mesti memiliki rasa tanggung jawab dan kepekaan sosial untuk memberantas trafficking. Penulis sendiri berusaha mengedepankan beberapa pertimbangan yang luas dan mendasar serta bersifat jangka panjang, sebagai hal-hal yang perlu upayakan secara serius oleh Pemerintah dan segenap komponen masyarakat NTT.
a.       Perbaikan Sistem Pendidikan
NTT mesti benar-benar memperhatikan sektor pendidikan sebab menjadi basis ukuran kualitas intelektual masyarakatnya. Penyebab trafficking ditenggarai disebabkan juga oleh kurangnya pendidikan para tenaga kerja yang menjadi korban. Maka pemerintah melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan tidak saja mengusahakan sekian banyak gedung sekolah di berbagai daerah tetapi perlu melengkapinya dengan tenaga guru yang profesional dan berkompeten. Setiap sekolah mesti memiliki fasilitas yang memadai seeperti laboratorium, perpustakaan dan lainnya yang dapat menunjang kelancaran belajar mengajar di sekolah. Selain itu setiap sekolah semestinya membangun asrama siswa/i dengan menerapkan sistem pendidikan sekolah-sekolah misi (Seminari) guna menerapkan disiplin belajar tetapi melalui pola mendidik dari hati ke hati para pendidiknya. Pendidikan yang berkualitas niscaya akan melahirkan generasi masa depan NTT yang mandiri dalam bertindak, berpikir dan beruasaha, serta yang tidak mudah diperdaya oleh kekuatan-kekuatan dari luar dirinya.
Trafficking yang terjadi di NTT juga diakibatkan oleh basis pendidikan yang kurang dalam diri para tenaga kerja. Umumnya hal ini dipengaruhi oleh mental masyarakat yang enggan untuk bersekolah, biaya sekolah mahal, kualitas guru yang kurang, fasilitas sekolah yang tidak terlalui memadai serta pola pendidikan yang keras. Akibatnya banyak orang-orang NTT lebih memilih untuk menjadi tenaga kerja meskipun dalam kenyataannya mereka kemudian di jual (khususnya perempuan). Mereka didesak oleh kebutuhan tanpa adanya berbagai pertimbangan rasional sebab bagaimana mereka melakukannya jika tak berbekal pendidikan sedikitpun?
b.      Perbaikan Tatanan Politik
Salah satu persoalan pelik di NTT adalah buruknya sistem birokrasi kepemerintahan baik di tingkat Propinsi maupun di kabupaten. Hal ini diperburuk oleh lemahnya kekuatan moral dan etos politk yang sehat dalam sistem kepemerintahan di NTT. Berbagai wacana dan kecaman terhadap bobroknya sistem politik di NTT seakan tak punya nyali dan kekuatan apa-apa. Korupsi terus terjadi dan kesewenang-wenangan kekuasaan kian terasa tanpa ada tanda-tanda akan selesai. Maka seharusnya rakyatlah yang berbicara. Rakyat menjadi penggerak utama dalam menyuarakan kebobrokan sistem yang ada. Maka sangat penting rakyat membentuk gerakan kerakyatan tanpa campur tangan pemerintah. Misalnya demonstrasi, wacana publik, dialog kerakyatan dan gerakan lainnya mesti menjadi sarana penyampaian aspirasi dalam gerakan kerakyatan. Hanya saja dibutuhkan suatu tanggung jawab pribadi dan komitmen yang berbasis kerakyatan guna menyukseskan perubahan politik yang hendak dicapai. Sebab lontaran kritik dan argumen teoretis telah tak punya nyawa lagi untuk meruntuhkan keburukan sistem yang ada maka tiba saatnya rakyat menyuarakan secara langsung melalui gerakan kerakyatan
c.       Pengentasan Kemiskinan dan Penyediaan Lapangan Kerja
Kebijakan penanggulangan kemiskinan diarahkan untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak dasar masyarakat miskin, meliputi: kecukupan pangan yang bermutu dan terjangkau, pelayanan kesehatan yang bermutu, pelayanan pendidikan dasar yang bermutu dan merata, terbukanya kesempatan kerja dan berusaha, terpenuhinya kebutuhan perumahan dan sanitasi yang layak dan sehat, terpenuhinya kebutuhan air bersih dan aman, terjamin dan terlindunginya hak perorangan dan hak komunal atas tanah, terbukanya akses terhadap pemanfaatan sumber daya alam dan terjaganya lingkungan hidup, terjaminnya rasa aman dari tindak kekerasan, serta meningkatnya partisipasi dalam perumusan kebijakan publik.[29]
NTT sebenarnya memiliki kekayaan alam, pesona pariwisata, aneka kekayaan laut yang banyak untuk didayagunakan demi kesejahteraan rakyatnya. Melaluinya rakyat akan memiliki lapangan pekerjaan tetap berdasarkan kemampuan mereka untuk mengolahnya dibawah sokongan dan bantuan pemerintah melalui penyediaan modal bagi rakyat kecil. Persoalannya adalah kualitas manusia yang kurang akibat pendidikan yang rendah, budaya materialistis masyarakat serta tindakan korupsi pemerintah membuat NTT tetap miskin. Akibatnya aneka hasil bumi NTT hanya diperuntukkan bagi para pejabat lewat lobi proyek yang syarat akan korupsi di tingkat pejabat dengan para kontraktor baik dalam negeri maupun dari luar negeri. Maka saatnya pemerintah NTT mesti memperhatikan secara jeli beberapa sektor penting seperti pendidikan dan pariwisata serta pertanian dan perkebunan yang dapat meningkatkan kualitas kesejahteraan masyarakat serta berusaha mengunakan dan menyalurkan dana secara merata sehingga NTT mampu memberdayakan rakyatnya bukan memperdagangkannya
d.      Kontrol Berkesinambungan Terhadap Perusahaan-perusahaan Tenaga
   Kerja dan Instansi Terkait
Dalam rangka mencegah perdagangan orang yang salah satu kedoknya mengatasnamakan pekerja migran, pemerintah mesti meningkatkan pengawasan terhadap operasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) dalam merekrut, menampung, melatih, menyiapkan dokumen dan memberangkatkan tenaga kerja Indonesia (NTT) ke luar negeri. Pemerintah semestinya serius menangani status berbagai perusahaan jasa tenaga kerja di NTT. Ketegasan ini dimulai dari pemberian izin kepada perusahan-perusahan tersebut serta membuat seleksi melalui tes khusus untuk menguji kelayakan mereka secara hukum. Pemerintah mesti mengizinkan PJTKI yang memiliki tempat pelatihan kerja, sistem organisasi yang jelas dan mapan, status hukum yang akurat, manajemen yang valid dan punya integritas serta tanggung jawab yang baik terhadap para TKI/TKW yang mereka rekrut. Hal ini berarti tugas pemerintah tidak sekadar memberikan izin, tetapi juga melakukan kontrol secara berkesinambungan terhadap berbagai instansi dan perusahaan yang mengurus para TKI/TKW.
e.       Penyediaan Tempat Pelatihan Tenaga Kerja
Pelaksanaan pelatihan kerja telah diatur dalam keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. Kep. 229/Men/2003 tentang Tata Cara Perizinan dan Pendaftaran Lembaga Pelatihan Kerja. Pelatihan kerja tersebut digolongkan dalam: Pertama, kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah melalui balai latihan kerja dan kursus latihan kerja. Tujuannya untuk meningkatkan keterampilan dan keahlian dalam mempersiapkan tenaga kerja yang akan masuk pasar kerja. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan antara lain adalah pelatihan teknik otomotif, pelatihan komputer, pelatihan teknik bangunan, pelatihan teknik listrik, pelatihan tata niaga, dan pelatihan jahit menjahit. Kedua, kegiatan yang dilakukan perusahaan swasta yang mempunyai izinan. Tujuan untuk meningkatkan keterampilan calon tenaga kerja dalam memasuki pasar kerja dengan pemberian sertifikat sebagai tanda kelulusan yang telah teruji. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan antara lain kursus setir mobil, kursus memperbaiki mobil, kursus menjahit, kursus komputer, dan lainnya.[30]

III.  Penutup
            Isu perdagangan manusia di NTT telah menjadi problem yang cukup pelik dewasa ini. Media lokal maupun nasional serta berbagai penelitian tingkat nasional maupun internasional menunjukkan bahwa perdagangan manusia di NTT telah menjadi masalah yang cukup serius. Meskipun berbagai UU dan Perda diterbitkan untuk menindak pelaku trafficking tetap saja trafficking di NTT kian meningkat. Hal ini menandakan lemahnya kesadaran hukum, moral dan HAM di NTT baik di kalangan masyarakat maupun pemerintah.
            Oleh karena itu dibutuhkan suatu tanggung jawab kemanusiaan bersama dari segenap warga masyarakat NTT. Tanggung jawab itu dapat terwujud bila kita memiliki kesadaran untuk melakukan suatu kontrol sosial secara berkesinambungan. Kontrol sosial dapat berlangsung melalui kepekaan kita terhadap situasi yang terjadi misalnya menegur atau melapor bila terdapat kemungkinan adanya trafficking dalam kelurga maupun masyarakat secara keseluruhan. Selain itu kontrol sosial dapat dilakukan dengan pengkontekstualisasian diskursus HAM di masyarakat melalui tindakan nyata dengan cara penyederhanaan bahasa dalam sosialisasi hukum serta upaya-upaya kreatif lain untuk memerangi trafficking di NTT.


[1]Jacob J, Herin, “Human Trafficking Rendahkan Martabat Manusia“ [Kolom Opini, Pos Kupang, Kamis 4 September, 2008], hlm. 14.
[2]Andy Yentriyani, Politik Perdagangan Perempuan (Yogyakarta: Galang Press, 2004), hlm. 20.
[3]Kery Lasmi, et al.,  When They Were Sold Trafficking of Women and Girls in 15 Provinces of Indonesia (Jakarta: ICMC, 2006), hlm. 15-18. 
[4]Undang-Undang Nomor 21 Tahun  2007 Tentang Pemberantasan Tindak Perdagangan Orang dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri (Jakarta: Visimedia, 2007), hlm. 4-5.
[5]Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia, Penghapusan Perdagangan Orang (Trafficking In Persons) Di Indonesia Tahun 2004-2005 (Jakarta, 2005), hlm. 5-6. 
[6]Keri Lasmi, et al., op. cit., hlm. 27-44.
[7]Berita “Dua Gadis Di TTU, Korban Trafficking” [Kolom Tirosa, Pos Kupang, Selasa 3 Maret 2009], hlm. 15.
[8]Arfi Bambani Amri dan Suryanta Bakti Susila, “Ada_1300_Kasus_Perdagangan_Manusia_Di_NTT” (Online), (http://nasional.vivanews.com/news/read/114127-, diakses 26 Mei 2010).
[9]Berita “Pemerintah Mesti Tegas Terhadap PJTKI” [Kolom Salam Pos Kupang, Senin, 12 Oktober 2009], hlm. 4.
[10]Berita “KDRT Dan Trafficking Masih Tinggi Di NTT”, http://www.nttprov.go.id/ntt_09/index.php?hal=tampilberita&id=UMU3679, diakses, 11 November 2009.
[11]Berita “Jawa Timur dan NTT Kantong Perdagangan Manusia”, http://www.migrantcare.net/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=5&artid=413, diakses, 11 November 2009.

[12]Berita, “Kemiskinan Di NTT Sebanding dengan Tingginya Angka Korupsi Daerahnya”, http://nusantara.tvone.co.id/berita/view/38596/2010/05/09/kemiskinan_di_ntt_sebanding_dengan_tingginya_angka_korupsi_daerahnya/, diakses 26 Mei 2010.

[13]Arinto Tri Wibowo, Purborini, “ICW: Korupsi Membuat NTT Terpuruk Dugaan korupsi itu disinyalir menyebabkan merosotnya kesejahteraan masyarakat di NTT”, (Minggu 09 Mei 2010, 17:31 WIB),http://korupsi.vivanews.com/news/read/149821icw_ desak_kpk_telaah_dugaan_korupsi_di_ntt, diakses 26 Mei 2010.
[14]Berita “Dinsos Sosialisasi Perlindungan Perempuan” [Kolom Floresa Pos Kupang, Senin, 15 Juni 2009], hlm. 18.
[15]Muana Nanga, “Kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia : Tinjauan dari Aspek Sosial Ekonomi “, http://www.com.kemiskinan+di+KTImuana+Nangahtml, diakses 25 September 2009.
[17]Jacob J, Herin, loc. cit.

[19]Tutut Indrawati, “Hasil UN Rendah, NTT Kebagian Dana Intervensi Pendidikan” (09 Mei 2009), http://www.solopos.com/2010/channel/nasional/hasil-un-rendah-ntt-kebagian-dana-intervensi-pendidikan-20925, diakses 26 Mei 2010.

[20]M. Wahid Supryadi, “Diplomasi TKI”, Kompas [Jakarta], Jumat, 30 Agustus 2007, hlm. 4.

[21]Undang-Undang Nomor 21 Tahun  2007 Tentang Pemberantasan Tindak Perdagangan Orang dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri, op. cit., hlm. 1-3.
[22]Jacob J, Herin, loc. cit.
[23]Benediktus Jahang, “Kasus Perdagangan Orang Di NTT (2): Sudah Mengarah ke Premanisme [Pos Kupang, Selasa, 10 Februari 2009], hlm. 1 & 11.
[24]Benediktus Jahang, “Kasus Perdagangan Orang Di NTT (3) Pemerintah Masih Setengah Hati” [Pos Kupang, Rabu, 11 Februari 2009], hlm. 1 & 11.
[25]Berita “13 Warga TTU ‘Dijual Ke Sumatera” [Kolom Flobamorata Pos Kupang, Sabtu 26 September 2009], hlm,. 9.
[26]Berita “Wanita Asal Jakarta Nyaris Dijual ke Sejumlah Pejabat” [Kolom Crime Pos Kupang, Senin, 26 Oktober 2009], hlm. 15.
[27]Frans Ceunfin (ed.), Hak-Hak Asasi Mansusia Pendasaran dalam Filsafat Hukum dan Filsafat Politik (Jilid 1) (Maumere: Ledalero, 2004), p. xxi.
[28]Benediktus Jahang, “Kasus Perdagangan Orang Di NTT (3), loc cit.
[29]Dikutip oleh “Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia, Penghapusan Perdagangan Orang (Trafficking In Persons) Di Indonesia Tahun 2004-2005” (Jakarta, 2005), hlm. 33.
[30]Soedarjadi, Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia Panduan Bagi Pengusaha, Pekerja dan Calon Pekerja (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2008), hlm. 10-11.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar