OPINI: UANG

Oleh : Putra Golingkara

            Pepatah Latin mengatakan pecunia non olet, uang tidak berbau. Uang tidak berbau layaknya bau daging busuk korban pemerkosaan yang dibuang begitu saja di kolong jembatan. Tidak juga seperti amis mulut pemabuk yang menghabiskan waktu dengan berbotol-botol moke di tempat pesta dan meja perjudian hingga semua uangnya terkuras. Uang memang tidak berbau, mungkin itulah sebabnya bermiliar-miliar dana pembangunan hilang tak berbekas, dana kesehatan entah kandas di meja mana, serta dana pendidikan entah masuk di saku siapa. Uang sungguh tak berbau. Andai ia berbau korupsi yang jelas-jelas di atas meja itu akan lekas diketahui. Sayang orang hanya melihat layaknya menatap selembar kertas kusut yang menjadi penghuni tetap drainase kota.

            Semua orang butuh uang termasuk orang NTT. Orang NTT butuh uang untuk membangun daerah dan masyarakatnya. Namun pertanyaannya uang dari mana? Uang untuk orang NTT bisa datang dari mana-mana, kecuali dari surga. Uang di NTT bisa datang dari laut dan dari darat. Panorama laut di NTT sangat  indah dan airnya paling jernih. Langitnya biru dan bersih, lingkungan dan masyarakat dengan pluralitas budayanya menampilkan rasa sopan, ramah, serta bertanggung jawab. Demikianpun daratan di NTT menyediakan tempat bertanam baik untuk pertanian maupun perkebunan serta daerah pariwisata yang layak dikunjungi dengan obyek wisata yang memukau. Semuanya berpotensi untuk menghasilkan uang. Maka bisa dikatakan orang NTT banyak uang.

            Ironisnya di tengah berbagai kelimpahan itu NTT malah dinilai masuk dalam kategori miskin. Entah bagaimana negara menilai kemiskinan orang NTT. Mungkin karena orang NTT tak memakai bedak dan parfum dari Prancis, atau rumah di NTT beratap alang-alang, berdinding pelupu serta berlantai tanah. Tapi di tengah anggapan itu justru orang NTT masih bisa menikmati makanan dari kapling mereka.

            Menjadi pertanyaan kita apakah orang NTT benar-benar miskin? Hemat saya jawabannya adalah “ya” dan “tidak”. Tidak karena orang NTT tidak miskin akan uang, harta benda apalagi makanan. Semuanya tersedia di sekitar mereka, ke laut menemu ke darat  mendapat. Tetapi ya. Orang NTT miskin manusia yang sungguh-sungguh manusia. Kalaupun mereka bertenaga otak mereka otak kurang, udang, lubang yang selalu memikirkan uang. Setelah uang diraih hilang begitu saja tak berbekas. Seandainya orang NTT berkualitas, uang dapat dimanfaatkan untuk hal yang berguna bukan habis di saku pejabat, atau berfoya-foya dengan pesta pora, kemabukan, perjudian, perempuan dan lainnya. 

            Orang NTT kekurangan tenaga manusia yang benar-benar ahli dan profesional sehingga mengolah hasil daerah harus membutuhkan tenaga asing yang kebanyakan mendatangkan kesengsaraan baru. Itulah sebabnya uang orang NTT lenyap entah ke mana. Belum lagi fasilitas pendidikan dan kesehatan yang berada di bawah standar (PK, 19 Nov. 2008), korupsi, sikap dan peran generasi muda yang kurang antusias dan terkadang menimbulkan masalah seperti tawuran antar mahasiswa di Kupang (PK, 18 Nov. 2008), meningkatnya kasus pelanggaran moral seperti pemerkosaan, pembunuhan, percabulan dan lainnya.

            Sebenarnya kita tidak terlalu miskin, perilaku kitalah yang bermasalah. Masyarakat kita cenderung berfoya-foya seperti mengadakan pesta yang besar-besar. Pemerintah lebih mengutamakan pembangunan infrastruktur misalnya mengutamakan sektor ekonomi daripada kesehatan dan pendidikan yang seharusnya menempati urutan teratas (Dr. dr. H. Fernandes, PK. 22 Nov. 2008). Itulah sebabnya kalau tidak menyia-nyiakan uang kita bisa membangun manusia yang berkualitas. Sayangnya kita sudah mengidap penyakit rakus kata Goenawan Mohamad, yang disebabkan oleh rasa cemas dan kurang puas, ingin menimbun, menguasai bahkan membeli masa depan. Kita cenderung menganggap kecurangan adalah hal yang lumrah dan manusiawi. Tidak, kata Suradi dalam bukunya Korupsi, kecurangan merupakan kejahatan yang jarang kelihatan.

            Sebentar lagi (20 Desember) NTT genap berusia 50 tahun, ia tidak muda lagi tapi juga belum terlalu tua. Kita yang telah membuatnya tua dan  rapuh. Ingat orang NTT sebenarya punya banyak uang hanya kita kurang otak untuk mengolahnya, kita terlalu rakus dengan segala kecurangan kita untuk menghabiskannya dalam sekejap. 50 tahun bagi NTT bukan untuk berdiam diri dan larut dalam refleksi yang hambar. Kita perlu berjuang meminimalisir bentuk kecurangan yang terselubung, pesta pora, korupsi, dan kejahatan lainnya.

            50 untuk NTT berarti menggugat kesadaran kita akan pentingnya pendidikan dan kesehatan yang menjadi basis utama pertumbuhan manusia. Pemerintah mesti mengalokasikan dana sesuai dengan kebutuhan yang terpenting. Mengirim pelajar dan mahasiswa ke luar negeri untuk menimba ilmu sesuai profesionalisasi mereka berdasarkan tenaga yang dibutuhkan untuk membangun NTT. Kita bukan generasi tertinggal. Kita mesti bangkit dan memanfaatkan potensi yang ada demi kemajuan daerah kita. Kalau kita mampu mencari uang mengapa kita tak mampu mengolahnya? Atau karena kita terlanjur menganggap uang benar-benar tak berbau? Uang bisa berbau kalau kita tak sekedar melihatnya.