Rabu, 29 September 2010

GUGAT KORUPTOR


RAKYAT MENGGUGAT: UPAYA MENUJU TRANSFORMASI POLITIK YANG MEMIHAK RAKYAT KECIL

By: Anak Golingkara

I. Pendahuluan

            Menelusuri sejarah perjalanan situasi perpolitikan di Indonesia sangat tepat bila mengatakan dunia perpolitikan kita diwarnai kegagalan. Para wakil rakyat yang dipercaya untuk menyalurkan suara rakyat belum menunjukkan hasil yang memuaskan perasaan dan rasionalitas politik sebagian besar rakyat di negeri ini.1 Rakyat Indonesia masih diliputi oleh rasa kehilangan akan hak berpolitik mereka. Hak-hak itu antara lain hak memilih dalam Pemilu, menyatakan pendapat dan berasosiasi, serta mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan lembaga-lembaga negara yang menyimpang dari kewenangan.2
            Lantas apa yang dilakukan? Rakyat menggugat! Sebuah tulisan yang diajukan penulis sebagai bagian dari  rakyat Indonesia yang merasa prihatin dengan situasi politik kita. Tulisan ini merupakan sebuah gugatan atas main kuasa dan menghimpun harta dari para pejabat pemerintahan yang seharusnya memihak rakyat. Dengan pendasaran studi kepustakaan atas situasi perpolitikan kita, penulis berusaha mengkaji berbagai bentuk kegagalan sistem pemerintahan baik dalam orde baru maupun era reformasi. Berangkat dari hal itu penulis menunjukkan gugatannya dalam tulisan ini sebagai bagian dari rakyat yang menggugat dengan memberikan masukan dan anjuran apa yang sebaiknya dilakukan rakyat dan penguasa.
II. Politik Indonesia: Berorentasi Kekuasaan dan Kekayaan
            Pasca keruntuhan rezim Orde Baru rakyat Indonesia masuk ke dalam alam reformasi di mana terbersit harapan akan kebebasan berekspresi bagi rakyat baik dalam bersuara maupun dalam kehidupan berpolitik. Inilah saatnya rakyat Indonesia masuk dalam babak baru kehidupan berpolitik yaitu era transisi demokrasi. Era ini nampak dalam agenda reformasi yakni “melakukan perubahan” dalam berbagai bidang menuju Indonesia yang demokratis.3 Kita butuh perubahan dari sisa-sisa demokrasi rezim orde baru yang membawa luka bagi rakyat dan bangsa pada umumnya. Wiliam Lidle melihat Indonesia orde baru dengan membuat piramida kekuasaan yang dibaginya dalam tiga jajaran yaitu Presiden dengan segenap atributnya, Angkatan Bersenjata dan Birokrasi. 4
            Presiden sebagai penguasa tertinggi menjadi yang utama dari yang setara (DPR, MA, BPK, dan DPA). Ia yang menentukan segala sesuatunya seperti politik, pendistribusian dana pembangunan, proses rekrutmen dalam Angkatan Bersenjata serta mempunyai banyak atribut yang tak semua orang memilikinya seperti mandataris MPR, pengemban Supersemar, dan lainnya. Angkatan Bersenjata memiliki peran politik yang penting sebagai stabilisator dan dinamisator. Mereka masuk dalam berbagai bidang terutama politik dan ekonomi. Sementara sistem Birokasi dapat kita temukan hampir di semua tempat. Mereka memiliki persepsi sebagai pelindung, pengayom dan lainnya yang sering disebut berevolence. Akan tetapi mereka juga memiliki persepsi bahwa rakyat itu bodoh, tidak tahu tentang pemerintahan, maka mereka mesti patuh atau obedience. Pola hubungan inilah (berevolence-obedience) yang paling dominan dalam interaksi pemerintahan di Indonesia.
            Namun yang paling dominan dalam politik orde baru adalah sistem yang dibuat sedemikian untuk membungkam suara rakyat Indonesia seperti kekerasan pada etnis Tionghoa Mei 1998, kekerasan Timor-Timor dan lainnya.5 Adapun kekerasan yang dilakukan banyak melibatkan militer yang kemudian dilihat sebagai tujuan untuk mempertahankan rezim yang sedang berkuasa.6 Maka tepatlah pertanyaan yang paling dominan di era orde baru adalah “ke mana rakyat kecil mangadu?”.7
            Sekarang kita telah berada pada suatu era baru yakni reformasi di mana kita mulai merasakan adanya perubahan. Perubahan itu antara lain pemilihan presiden secara langsung, pengamandemenan UU yang dianggap sakral pada masa orde baru, terjaminnya kebebasan pers, dan MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi yang memilih presiden dan wakilnya.8 Namun sebuah pertanyaan hadir untuk kita benarkah reformasi politik mempunyai implikasi bagi perubahan politik?
            Memang kita merasakan perubahan, akan tetapi kinerja perpolitikan kita masih mewarisi sistem politik orde baru. Sebagai contoh misalnya sistem birokrasi kita masih mewarisi sistem yang berlaku pada masa Soeharto.9 Lebih parah lagi negara kita saat ini sedang gencarnya tercemar oleh ulah para koruptor yang tak sungkan-sungkan berkorupsi bahkan secara terang-terangan. Menyoroti laporan tentang korupsi yang terjadi di negara kita pada tahun 2002, Indonesia menempati posisi pertama sebagai negara terkorup di dunia dengan skor 0, 75.10 Beberapa hal ini menunjukkan bahwa kita belum sepenuhnya mengalami perubahan. Kita mesti terus berjuang terutama memerangi kesewenang-wenangan dan kerakusan para penguasa agar benar-benar memihak rakyat daripada mementingkan diri mereka sendiri.

III. Rakyat Menggugat: Upaya Menuju Transformasi Politik yang Memihak Rakyat Kecil
3.1. Rakyat dan Gerakan Perlawanan
            Setiap rakyat di negara manapun selalu mencita-citakan suatu sistem politik yang baru bila sistem sebelumnya terasa tidak memihak mereka. Sistem itu adalah sistem politik yang terbuka di mana rakyat dapat mengekspresikan kemerdekaannya.11 Bila tetap tidak terwujud rakyat berhak menyuarakannya.
            John Locke, dalam bukunya The Second Treatises menulis bahwa barang siapa (penguasa) mempergunakan kekuatan terhadap rakyat berarti menyatakan keadaan perang terhadap rakyat.12 Meskipun pernyataan ini ditujukan kepada badan eksekutif dan legislatif akan tetapi mengingat pada masa Locke raja bisa memiliki kewenangan lebih maka pernyataan ini ditujukan juga kepada segenap penguasa yang duduk di kursi pemerintahan.
            Membandingkan pernyataan itu, bukan suatu kebohongan bila kita menyatakan bahwa pemerintah kita telah dengan terang-terangan menyatakan keadaan perang terhadap rakyatnya sendiri. Berbagai tindakan kekerasan yang dilatarbelakangi oleh pemerintah kita sendiri dapat disaksikan dalam realitas kehidupan sehari-hari. Berhadapan dengan hal itu sudah saatnya rakyat “berperang”, mengangkat senjata keberanian dengan menyuarakan kebenaran dan berbagai kesewenangan yang berlaku melalui gerakan perlawanan rakyat.
            Gerakan perlawanan itu dapat dilakukan melalui, yang oleh Jeff Hayness menyebutnya sebagai kelompok aksi. Julukan ini oleh Hayness ditujukan kepada badan sosial yang berjuang demi keadilan di bidang ekonomi, sosial, politik dan kultural.13 Di Indonesia sendiri pada masa keruntuhan rezim orde baru mahasiswa manjadi pelopor gerakan kelompok aksi yang terbesar. Dengan keberanian yang ada mereka berjuang demi martabat manusia serta mengakomodasikan harapan-harapan dan idealisme rakyat yang masih tersimpan dalam ide dan pikiran mereka.14
            Kekuatan mahasiswa benar-benar menggugat jaman meskipun kemudian banyak menimbulkan korban seperti yang terjadi dalam tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II.15 Akan tetapi dari sinilah justru rakyat mesti belajar berjuang sepenuh hati membentuk kelompok aksi untuk bersaksi tentang kebenaran dan kebebasan yang terenggut. Ketika suara dan hak kita dibungkam dan penguasa tetap menutup telinga, satu-satunya cara adalah berdemonstrasi sebagai bagian dari keterwujudan niat kelompok aksi dalam memperjuangkan kebebasannya.

3.2. Menggugat Koruptor: Tranformasi Sumpah Jabatan
            Meningkatnya tindak pidana korupsi dari segi kualitas maupun kuantitas yang begitu rapi telah menyebabkan terpuruknya perekonomian Indonesia. Dalam ilmu akuntansi korupsi merupakan bagian dari kecurangan, termaktub pula di dalamnya tindakan berbohong, menjiplak, mencuri, memeras, dan sejenisnya dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok dengan cara melawan hukum.16 Atas dasar pengertian ini kita dapat melihat kembali realitas perpolitikan kita yang sarat akan tindakan korupsi seperti yang dilaporkan pada bagian terdahulu.
            Menanggapi hal itu pemerintah menurunkan UU pemberantasan korupsi yang termuat dalam pasal 2 dan 3 UU No. 31 Tahum 1999 meskipun terlihat sebagai akal-akalan karena tetap saja pejabat kita kebal hukum meski melakukan korupsi.17 Selain itu pemerintah kita dibekali juga oleh sumpah jabatan sebelum resmi menduduki suatu jabatan. Pada pasal 9 ayat 1 dan 2 UUD 1945 misalnya menyatakan tentang sumpah jabatan yang mesti dilakukan oleh presiden dan wakil presiden di depan MPR/DPR atau pimpinan MPR/DPR yang disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung,18 atau juga untuk para pejabat pada umumnya.
            Hemat penulis bentuk sumpah yang berlaku ini mestinya ditransformasikan ke bentuk yang lain. Demi sebuah transformasi politik yang jujur tentu kita menginginkan berbagai perubahan dalam tatanan politik kita. Sebuah masukan sangatlah dibutuhkan tentunya. Berkaitan dengan format sumpah, penulis mengedepankan suatu format lain sebagai tambahan bagi bentuk sumpah yang telah tercantum dalam Undang-Undang. Format sederhana ini mungkin terlampau ekstrim dan tak masuk akal, akan tetapi menghadapi realitas politik yang serba tak masuk akal pula, kita sebagai rakyat mesti bersuara terlebih dahulu, menggugat berbagai kesewenangan sebagai bentuk keberaniaan dan kecintaan kita kepada negara Indonesia ini.
            Adapun format sumpah yang dianjurkan itu adalah: “setiap pejabat yang hendak diangkat sumpahnya tidak hanya bersaksi di depan majelis (MPR/DPR/DPA/Ulama atau lainnya), tetapi juga berani pertama, untuk bersumpah siap dihukum mati bila berkorupsi dan bertindak sewenang-wenang, kedua, bersumpah di hadapan peti mati yang diapiti dua buah lilin sebagai tanda kesiapan untuk mati bila melanggar sumpah”. Bentuk inilah yang dianjurkan sebagai sebuah transformasi sumpah jabatan sebelum seorang pejabat benar-benar menempati jabatannya.

IV. Penutup

            Berani berpolitik berarti berani juga untuk bertanggung jawab terhadap segala bentuk sistem politik yang diembannya. Setiap rakyat di negara manapun memiliki kebebasan untuk berpolitik. Akan tetapi setiap orang selalu menginginkan bahwa setiap percaturan politik yang berlangsung dilakukan secara sehat dan wajar. Menghadapi berbagai sistem politik yang kurang sehat, rakyat berhak untuk menggugat sistem politik yang ada dengan menggunakan hak suara mereka. Bagaimanapun, setiap sistem politik yang berlangsung tak pernah luput dari kesewenangan dan irasionalitas tindakan sebab ia dikuasai manusia apalagi bila mengandalkan otoritas demi mengejar kekayaan.
            Situasi politik Indonesia sendiri banyak diwarnai oleh tindakan di luar akal sehat yang melibatkan kesewenangan hukum serta mengandalkan kekerasan. Politik Indonesia jauh di luar batas harapan rakyat yang mengharapkan keadilan dan keberpihakan pemerintah terhadap rakyat. Rezim orde baru telah berlalu dan diganti dengan era reformasi di mana setiap orang memiliki lahan terbuka untuk mengeluarkan suaranya.
            Akan tetapi situasi sebenarnya tidaklah demikian. Meninjau kembali ulasan pada penjelasan di atas, ada begitu banyak ketimpangan dalam berpolitik di negeri tercinta ini. Kekerasan, sistem birokrasi Orde Baru yang masih berlaku, korupsi, politik uang, ketidakadilan dan ketiadaan akan keberpihakan pemerintah terhadap rakyat menunjukkan sistem politik kita belum sepenuhnya berubah seperti apa yang dicita-citakan oleh para pejuang reformasi.
            Untuk itulah melalui tulisan ini penulis menyalurkan dan menyumbang ide sebagai gugatan bagi pemerintah, serta ingin membangkitkan semangat rakyat untuk bersama-sama menggugat sistem politik yang sama sekali tidak memihak. Untuk itu penulis menganjurkan pertama, kepada rakyat untuk tetap bersuara melalui berbagai bentuk kelompok aksi. Berdemonstrasi secara sehat dan wajar untuk memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan bangsa serta berusaha untuk mempergunakan berbagai fasilitas media masa untuk menyalurkan suara, ketidakadilan dan ketakberpihakan.    
            Kedua, kepada pemerintah dan pemegang sistem politik agar menggunakan sistem politik yang sehat. Mendengar suara rakyat dan mewujudkannya dengan janji yang terpenuhi secara jujur. Kepada badan pembuat UU agar memperhatikan dan memenuhi permintaan rakyat atas usulan transformasi sumpah jabatan sehingga mampu membentuk sistem politik yang memihak tanpa kesewenangan dan kekerasan hingga kita tidak lagi saling menggugat.


















DAFTAR PUSTAKA

Dancar, A. “Kelompok Aksi dan Peran Dialogis Politis: Strategi Kebijakan Politik yang 
       Responsif  dan Kreatif” dalam Akademika, Kebijakan Politik dan Keadilan Sosial, 
       Vol. 1. No. 1. November, 2006.
Dhae, Maxi. “Mahasiswa dan Perjuangan Politik yang Memihak” dalam Seri Buku VOX,
       Seri 44/1/2002.
Doredae, Ansel. Manusia dan Kebudayaan Indonesia (ms). Maumere: Ledalero, 1996.
Emanuel, J. ”Habitus Baru Menuju Konsolidasi Demokrasi” dalam Akademika, Habitus
       Baru dan Jati Diri Bangsa, Vol. IV. No. 2. 2006/2007.
Gafar, Affan. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka
       Pelajar, 2004.
Hadad, Ismid. Kebudayaan, Politik dan Keadilan Sosial. Jakarta: LP3ES, 1982.
Locke, John. Kuasa Itu Milik Rakyat Esai Megenai Asal Mula Sesungguhnya Ruang
       Lingkup, dan Maksud Tujuan Pemerintahan Sipil. Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Masdar, Umarudin dkk. Mengasah Naluri Publik Memahami Moral Politik. Yogyakarta:
       LkiS, 1999. 
Prasetio, Eko. Reformasi di Titik Balik? MembongkarUpaya-Upaya Remiliterisasi di
       Indonesia dalam Wacana, Negeri Tentara Membongkar Bisnis Ekonomi Militer,
       Edisi 17 Tahun III, 2004.
Suradi, Korupsi dalam Sektor Pemerintah dan Swasta. Yogyakarta: Gaya Media, 2006.
Undang-Undang Dasar 1945 dan Amandemennya. Trinity, 2007.
Winarto, Budi. Sistem Politik Indonesia Era Reformasi. Yogyakarta: Media Presindo,
       2007.
Wikipedia Indonesia dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Tragedi_Semanggi, diakses
       tanggal 16 April 2008




       1A. Dancar, “Kelompok Aksi dan Peran Dialogis Politis: Strategi Kebijakan Politik yang Responsif  dan Kreatif” dalam Akademika, Kebijakan Politik dan Keadilan Sosial, Vol. 1. No. 1. November, 2006, p. 13. 
       2Umarudin Masdar, dkk., Mengasah Naluri Publik Memahami Moral Politik (Yogyakarta: LkiS, 1999), p. 4 
       3J. Emanuel ”Habitus Baru Menuju Konsolidasi Demokrasi” dalam Akademika, Habitus Baru dan Jati Diri Bangsa, Vol. IV. No. 2. 2006/2007. p. 82.
       4Affan Gafar, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), pp. 36-41.
       5Ansel Doredae, Manusia dan Kebudayaan Indonesia (ms) (Maumere: Ledalero, 1996), pp. 31-32.
       6Eko Prasetio, Reformasi di Titik Balik? MembongkarUpaya-Upaya Remiliterisasi di Indonesia dalam Wacana, Negeri Tentara Membongkar Bisnis Ekonomi Militer, Edisi 17 Tahun III, 2004, p. 3.
       7Ismid Hadad, Kebudayaan, Politik dan Keadilan Sosial (Jakarta: LP3ES, 1982), p. 45.
       8Budi Winarto, Sistem Politik Indonesia Era Reformasi (Yogyakarta: Media Presindo, 2007), pp. x-xi.
       10Emilianus Y. S. Tolo, “Habitus Baru dalam Pemberantasan Korupsi” dalam Akademika, Habitus Baru dan Jati Diri Bangsa, Op. Cit., pp. 103-118.
       11Maxi Dhae, “Mahasiswa dan Perjuangan Politik yang Memihak” dalam Seri Buku VOX, Seri 44/1/2002, p. 19.
       12John Locke, Kuasa Itu Milik Rakyat Esai Megenai Asal Mula Sesungguhnya Ruang Lingkup, dan Maksud Tujuan Pemerintahan Sipil (Yogyakarta: Kanisius, 2006), p. 121.
13Aleks Dancar, Op. Cit., p. 6.
14Maxi Dhae, Loc. Cit.
15Wikipedia Indonesia dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Tragedi_Semanggi. Diakses tanggal 16 April 2008.
16Suradi, Korupsi dalam Sektor Pemerintah dan Swasta (Yogyakarta: Gaya Media, 2006), pp. 1-2.
17Ibid.
18Undang-Undang Dasar 1945 dan Amandemennya (Trinity, 2007), p. 7.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar