Rabu, 29 September 2010

MATA SERIBU BINTANG



            Kadang aku mengingat masa kecilku dulu. Sehabis mencuci piring malam bersama kawan sepermainan berlari ke tanah lapang berbaring di sana sambil menghitung bintang. Menjadi kesukaan bahkan kerinduan kami akhirnya untuk berada di sana separuh malam meski kemudian sepotong rotan menyeret kami dari sana untuk kembali ke rumah. Kami akan berteriak jika melihat bintang jatuh atau benda aneh serupa bintang yang terbang di langit. “Beri kami uang!!” teriak kami beramai-ramai.
            Lalu datang bencana. Ketika berada di kelas lima SD aku harus kehilangan ibuku yang setia akibat konflik tanah dengan pemerintah. Tanah kami dijadikan lahan untuk membangun pabrik baja. Orang-orang diusir. Banyak keluarga yang hilang, pergi tak kembali lagi, meski kembali mereka hanya rupa yang tak bernyawa atau raga yang tak sempurna. Lebih menyedihkan lagi setelah pabrik itu benar-benar dibangun. Langit kami yang berbintang itu menjadi hitam, gunung kami hilang hijau, gemercik air sungai tak didapati lagi sirna dan lenyap tertelan deru mesin dan erosi limbah. Keinginan menghitung bintang tinggal kerinduan di bawah asap tebal yang angkuh.
            Aku kehilangan orang yang kucintai, ibu serta teman-temanku. Malam-malam sepiku kulalui bersama ayah yang kadang sakit namun tulus membangkitkan semangatku. Aku melayaninya, bercerita dan tertawa-tawa di sana hingga ia terlelap. Ketika ia sembuh aku begitu senang apalagi ketika kudapati matanya penuh beribu bintang. Setiap kutatap tak pernah kumerasa bosan, menghitungnyapun aku tak pernah selesai. “Yah…bisa kupandang mata ayah?” pintaku suatu hari. “Kenapa tidak?” balasnya dengan senyum indah di wajahnya.
            Tingkahku sekian hari membuat ayah heran. “Mengapa kau selalu berbuat demikian?” tanyanya suatu hari. “Matamu ayah…kulihat beribu-ribu bintang…”  “Bintang?!” dahinya berkerut. Aku mengangguk pelan lalu pergi, aku tak mau ia bertanya lebih banyak lagi. Semenjak itu ia tak pernah bertanya lagi . Setiap kali aku memandang matanya ia hanya tersenyum entah di mana ia menaruh rasa herannya. Suatu hari aku gelisah menunggu kepulangannya dari kebun. Terlalu lama menunggu akhirnya kususul ia ke sana. Mataku terbelalak, tak bersuara, menegang di pintu pondok saat kusaksikan tubuh ayah telentang dengan mulut berbusa dan pergelangan tangan berdarah. Aku shock, tak bergairah menggapai hidup. Semua kenyataan hilang makna, aku seperti melangkah di dunia hayal. Entah karena benar-benar kehilangan dia atau justru karena bintang-bintang di matanya itu.
            Setahun berlalu aku masih terkurung dalam penyesalan dan kegelisahanku. Bertahan dalam gelombang kehidupan yang tak memihak memaksaku menyeret diri dalam kesedihan. Aku menjadi pribadi yang terasing di tengah hidup yang terus berpacu bersama waktu, berlari kadang tak pernah berhenti. Di tengah situasi batas yang sasar itu seorang lelaki hadir dalam kehidupanku. “Adnan” katanya memperkenalkan diri. Aku diam tak berkedip memandang wajahnya. Sungguh di matanya kulihat beribu-ribu bintang. “Nur” jawabku tersadar dari lamunanku.
            Ia menemani hari-hari sepiku. Memberiku tawa dan senyum, mengobati luka dengan suka, mengembalikan rinduku yang telah hilang jauh. Jiwaku kembali merasa, bergetar dan menegang. Mulutku mulai berkata, menelan dan dan mengunyah. Aku hidup. Kalbuku mulai menyusun deburan rasa, menghentak-hentak di adrenalin cinta. Aku mulai merasa takut, takut kehilangan dia juga bintang-bintang di matanya.
            “Mengapa kau selalu memandang begitu?” tanyanya suatu sore. Aku tersentak dan malu. Menunduk aku di hadapannya dengan tubuh bergetar dan air mata membasahi pipi. “Hei…kenapa kau menangis, kau tegrsinggung?” ia bertanya lagi dengan suara pelan. Aku menggeleng “aku ingat ayah” kucoba mengelak. “Aku seperti ayahmu?” aku mulai gugup. “Bintang….bintang di matamu seperti di mata ayahku” kucoba menjawab seadanya dengan suara tertahan tangisan. Ia mengangkat daguku hingga kami saling manatap. “Kau melihat bintang di mataku?” aku mencoba tersenyum lalu mengangguk.
            Mungkin ia heran atau aneh kalau melihatku. Tapi itulah adanya aku melihat bintang di matanya. Suatu hari ia datang ke kediamanku. Senyumnya menggetarkan hatiku. Matanya memacu syaraf matematisku, lalu aku mulai menghitung setiap pijar cahya di matanya. “Nur…sebenarnya aku sedih bila harus kehilangan sahabat seperti kamu”. Aku terkejut “kenapa?” kucoba bertanya dengan rasa heran yang hampir sempurna. “Aku mendapat seseorang yang berarti dan pantas untuk mendampingiku di masa depan” “Pacar” selaku memotong laju kalimatnya. Ia mengangguk. “Kamu sudah punya pacar?” kataku lagi dengan suara setengah berteriak. Kutahan tangisku, aku kehilangan dia? “Maafkan aku, aku…” aku tak peduli lagi dengan perkataannya kulepaskan dia sendiri, berlari ke dalam kamar menangis di sana sepuas diriku.
            Senja yang turun bersama gerimis membuatku enggan ke luar rumah. Perlahan cuaca kian kelam menyeret mendung bersama angin dingin yang menggigit kulit. Kucoba menatap bunga-bunga di taman namun nuraini tak kesampaian. Tiba-tiba bel berdentang. Aku berlari ke pintu. Serasa tak percaya kudapati ia berdiri di pintu menatapku dengan senyumnya yang sempurna. “aku tak bisa membohongi diriku” Adnan berkata pelan. “sejak kapan kau mencintaiku?” ia melanjutkan lagi dengan suara bergetar. Aku sedikit terhenyak, dalam parau suaraku kucoba memberi jawab “sejak kulihat beribu beribu bintang di matamu”.
            Tiba-tiba air mataku berlinang. “tak usahlah menangis, kau akan mendapatkan bintangmu sendiri. Tak ada yang akan mengambilnya darimu” katanya sambil mencium keningku. Dadaku bergetar meresapi aliran rasa yang menyerbu kalbuku. “terimalah ini” katanya sambil memberikan sebuah bungkusan apik padaku. Aku membukanya, tak ada yang lain selain sebuah cermin. “lihatlah ke dalamnya” katanya meminta. Tak ada siapa-siapa selain wajahku yang memantul dari kedalamannya. Aku memandangnya aneh “sekali lagi” pintanya.
            Aku sekali lagi menengok agak lama. Dan…ya Tuhan…kulihat kampungku yang langitnya penuh bintang, ada ibu, ayah, dan…penglihatanku berjalan melewati kota dan mencapai taman luas. Taman penuh bunga dan malaikat, Adnan…Adnan di sana…ya…Adnan kau…. Aku melepas cermin dan kudapati hampa.
            Kosong…tak ada seorangpun di hadapanku, bahkan Adnan. Ke mana? Aku bahkan masih berdiri di kamar tanpa ditemani seorangpun. Mimpi? Tak mungkin. Aku berlari ke luar, ruang tamu, dapur tak ada yang kucari. Kucoba memanggil beberapa kali, gema yang kembali. Aku kembali ke kamar, mengangkat cermin dan memandangi wajahku di dalamnya. “Ya…Tuhan!!” seruku histeris. Aku…aku…di mataku terdapat beribu bintang kelap kelipnya pantulkan kedahsyatan cahya. Perlahan dan pasti kumulai menghitungnya.



By: Dendi Sujono

Q.C, Manila Awal September 2010.

Puisi-Puisi Dendi Sujono


BICARA

Bicaralah selagi kau bisa
Sebelum mulutmu disumbat busa
Dan kerongkonganmu berlendir
Serta desingan terakhir peluru mereka
Membuatmu jadi mayat.

Kata Dalam Buku

Kata dalam buku
Kuambil buat ibu
Dengan harapan menulis lauk
Di atas meja siang ini

Kata dalam buku
Kupetik untuk ayah
Dengan niat tak mabuk lagi selepas malam hendak pagi

Kata dalam buku
Kutitip beralamat adikku
Dengan pesan
Jangan mencoret-coret bukuku

Kata dalam buku
Sudah tak ada lagi
Habis dicoret-coret adikku.

Air Mata

Semakin hari musim ini semakin ganas
Panas membara terik terberi
Punggung melebam wajah hitam kusam
Akan jadi apakah habis ini
Bila setetes hujan hanya jatuh di seberang kali?




Q.C Manila-Philippines, Awal September 2010.

KELUARGA: KEKERASAN, SEBAB DAN CARA MENGATASINYA (Sebuah Tawaran Di tengah Transformasi Global yang Mengancam Keluarga)




Oleh: Putra Golingkara

I. Pendahuluan

            Keluarga sebagai institusi terpenting dalam masyarakat memiliki kekhasan tersendiri. Dua dari kekhasan itu antara lain sebagai institusi yang melahirkan individu-individu ke dalam masyarakat sehingga amat menentukan kelangsungan hidup masyarakat serta merupakan agen penerus kebudayaan.1 Hal ini menjadi penting sebab keluarga merupakan potensi penting untuk membentuk suatu masyarakat yang sejahtera dan beradab. Sebagai penentu kelangsungan hidup masyarakat keluarga harus menyalurkan nilai-nilai yang baik serta memiliki wawasan luas dalam berelasi. Demikianpun halnya sebagai pewaris kebudayaan. Namun menjadi pertanyaan adalah begaimana jika keluarga itu rentan terhadap perilaku kekerasan dan tindakan imoral lainnya?
            Pertanyaan ini menjadi cocok untuk dewasa ini ketika fenomena kekerasan dalam keluarga menjadi hal yang lumrah dan dianggap biasa saja. Berbagai media elektronik maupun non-elektronik, lokal maupun nasional selalu menyertakan berbagai bentuk kekerasan dalam keluarga yang sering disebut Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di setiap lembaran dan halaman beritanya. Bagaimana kita mampu mewujudkan suatu masyarakat yang sejahtera, nyaman dan adil serta menjadi pewaris kebudayaan yang handal bila bermula dari keluarga yang diwarnai kekerasan? Mengapa terjadi kekerasan dan bagaimana mengatasinya? Berbagai pertanyaan ini menghantar kita pada pokok pembicaraan dalam karya tulis ini. Penulis coba melihat keluarga secara singkat dalam hubungannya dengan individu dan masyarakat serta mencoba menilik fenomena kekerasan dalam keluarga dan sebabnya serta sedikitnya memberikan solusi sebagai aspek pencegahan terhadap kekerasan dalam keluarga yang berkelanjutan.

II. Keluarga dan Fenomena Kekerasan dalam Keluarga

2.1. Keluarga
2.1.1. Pengertian
 Keluarga dapat berarti kelompok sosial yang terdiri dari dua atau lebih orang yang terikat karena hubungan darah, perkawinan atau karena adopsi dan yang hidup bersama untuk periode waktu yang cukup lama.2 Keluarga juga dapat berarti sebagai institusi sosial yang terdapat dalam masyarakat dan terdiri dari sepasang suami istri beserta anak-anak mereka yang belum menikah, tinggal bersama dalam satu rumah.3 Selain itu dalam piagam hak asasi keluarga dikatakan keluarga adalah tempat di mana pelbagai generasi bertemu dan saling menolong, tumbuh dalam kebijaksanaan insani dan mengaitkan hak-hak individu dengan tuntutan-tuntutan lain dalam hidup sosial. Atau keluarga juga diartikan sebagai komunitas orang-orang yang cara keberadaannya dan hidup bersama ialah persekutuan: communio persoarum.4
Dari berbagai pengertian di atas dapat dilihat bagaimana setiap orang dan institusi mencoba merumuskan pengertian keluarga. Keluarga dalam praktek hariannya dapat kita temukan pengertian secara tersendiri. Pengertian tentang keluarga dapat dirumuskan oleh masing-masing orang. Setiap peribadi memiliki pengertian berbeda tentang keluarga. Singkatnya keluarga selalu memiliki definisi yang begitu luas dan mencakup segala bentuk atau tipe keluarga yang mungkin ada.5
2.1.2. Keluarga dan Individu
         Individu apabila dilihat dari pengertiannya berasal dari bahasa Inggris yakni Individual. Namun kata ini sendiri berasal dari kata Latin Individuus yang berarti tidak dapat dibagi dari in yang berarti tidak dan dividuus yang berarti dapat dibagi. Merupakan terjemahan dari kata Yunani atonom yang berarti tidak dapat dibagi. Biasa juga diartikan sebagai suatu entitas, hal khusus, tunggal, pribadi, diri, dan ego.6 Sementara KUBI mengartikan individu sebagai orang atau seorang diri, atau perseorangan.7
 Keluarga tak akan ada tanpa individu. Keluarga terbentuk dari persatuan antara individu dengan individu (wanita dan pria). Atas suatu kesepakatan antar keduanya atau melibatkan kelurganya mereka mengikat diri dalam suatu institusi yang disebut perkawinan ataupun tidak. Misalnya dalam keluarga yang membuktikan adanya keterlibatan individu dapat kita lihat dalam pembagian keluarga yang terdiri dari keluarga inti dan keluarga luas. Keluarga inti terdiri dari keluarga inti orientasi yakni yang terdiri dari individu itu sendiri, orang tua dan saudara-saudarinya dan keluarga inti prokreasi yakni yang terdiri dari individu itu sendiri, istri atau suami dan anak-anaknya. Dari individu-individu dalam keluarga inti itu terbentuklah keluarga luas.8
2.1.3. Keluarga dan Masyarakat
         Sejauh ini kita telah melihat pengertian keluarga dan hubungannya dengan individu. Keluarga sebagai kumpulan individu-individu memiliki hubungan yang erat dengan masyarakat. Masyarakat dilihat dari pengertiannya dapat memiliki beberapa arti. Emile Durkheim melihat masyarakat sebagai suatu sistem yang dibentuk dari hubungan antara individu-individu sehingga menampilkan suatu realita tertentu yang mempunyai ciri-cirinya tersendiri. Maka keseragaman tingkah laku dalam suatu masyarakat tertentu haruslah dipandang sebagai produk masyarakat dan merupakan sifat asli dari setiap anggota masyarakat tertentu.9
Margareth Thatcher, mantan Perdana Mentri Inggris terkenal sebagai orang yang meragukan keberadaan masyarakat. Menurutnya tak ada yang dinamakan masyarakat. Yang ada hanyalah individu pria dan wanita, serta keluarga-keluarga. Sekilas pernyataan ini benar karena ada orang yang melakukan urusannya sendiri-sendiri. Namun bila diperhatikan secara baik ada sekelompok manusia yang berperilaku dalam cara yang sangat terorganisasi.10 Dilain pihak masyarakat dapat berarti keseluruhan kompleks hubungan manusia yang luas sifatnya. Disebut sebagai keseluruhan kompleks karena ia tersusun dari berbagai sistem dan subsistem seperti ekonomi, politik, pendidikan, keluarga, kesehatan dan lain-lain. Dalam setiap sub-sub sistem itu terdapat jalinan relasi dengan norma-norma dan peraturannya sendiri.11
Namun yang menjadi penting dari sekian banyak definisi ini adalah individu itu ada, tetapi mereka dibentuk secara sosial. Individu membentuk keluarga, keluarga membentuk kumpulan keluarga hingga terbentuklah kumpulan-kumpulan individu yang kemudian dinamakan masyarakat. Dalam masyarakat individu-individu serta keluarga-keluarga berbaur, bergaul hingga kemudian dari sekian banyak anggota masyarakat itu terbentuklah suatu desa, desa ke kecamatan dan seterusnya sampai meliputi kesatuan kosmos.

2.2. Keluarga dan Fenomena Kekerasan
2.2.1. Kekerasan dalam Keluarga
         Berbagai media komunikasi dewasa ini baik lokal maupun regional tak jarang menampilkan berbagai persoalan yang berhubungan dengan kehidupan keluarga. Kekerasan yang terjadi terkadang timbul karena alasan yang sepele bahkan ada yang sama sekali tidak jelas. Berbagai bentuk kekerasan yang terjadi selalu menghantar setiap pelaku baik anak, suami maupun istri harus menempuh jalur hukum. Terkadang juga setiap pelaku kekerasan dalam keluarga mesti mengakhiri kehidupan berkeluarga itu sendiri bahkan tak jarang harus kehilangan nyawa.
         Kasus pembunuhan misalnya, seperti yang terjadi pada Gaudensia Hermentina yang dibunuh suaminya sendiri Finilus F. Finandy di Kabupaten Sikka beberapa waktu lalu.12 Pembunuhan ini hanya diawali oleh pertengkaran kecil. Menurut pelaku yang sempat diwawancarai oleh wartawan ia membunuh istrinya karena tidak menuruti kemauannya untuk pergi bersama ke kantor Polisi. Kekuatan emosi yang tinggi dan tak terkontrol itulah yang mendorongnya menghabisi istrinya bahkan dirinya sendiri. Istrinya tak sempat tertolong sementara pelaku dapat ditolong oleh warga sekitar. Korban meninggalkan tiga orang anak.
         Pembunuhan lain misalnya yang dipengaruhi oleh dorongan emosional terjadi di Kewapante. Warga Dusun Lian Tahon, Desa Kokowahor, Kecamatan Kewapante, Kabupaten Sikka sekitar pukul 08.00 Wita, Selasa (20/8) geger, menyusul tewasnya satu keluarga karena dibantai JG. Ketiga korban yang dibantai itu bukan orang lain. Mereka justu orang-orang yang dicintainya yaitu istrinya Eutropia Selfina (33) sedang hamil enam bulan, Bernadina (60) mertua JG serta Esmario Konradus (29), ipar dari pelaku tersebut.13 Alasan pembunuhan sangat tidak jelas diduga dipicu oleh pertengkaran dalam keluarga.
         Selain kasus pembunuhan di atas kasus-kasus lain yang terjadi dalam rumah tangga adalah perselingkuhan. Perselingkuhan dewasa ini terkadang menjadi suatu hal yang lumrah bahkan biasa-biasa saja. Hal ini terbukti dengan laporan berbagai media masa yang setiap harinya menampilkan berbagai kasus perselingkuhan dalam kehidupan berkeluarga. Misalnya perselingkuhan yang terjadi antara Ny. Agustina dan Pratu Daud Manetde seorang tentara warga kelurahan Pasir Panjang. Perselingkuhan ini berakibat fatal karena tertangkap basah oleh sauaminya.14 Bukan tidak mungkin kasus-kasus seperti ini dapat juga mengakibatkan kekerasan dalam keluarga bila tidak segera diatasi secara baik.
         Kasus lain yang mempunyai hubungan erat dengan kasus kekerasan dalam keluarga adalah penelantaran terhadap istri oleh suami atau sebaliknya dan terhadap anak-anak. Salah satu contoh misalnya yang terjadi atas diri Maria de Fatima da Santos yang ditelantarkan suaminya Briptu Mariano da Santos, anggota Polres Belu. Kasus penelantaran ini telah berlangsung selama dua tahun. Mereka telah memiliki empat orang anak. Alasan yang disampaikan sehingga ia (Mariano) meninggalkan istrinya tidak jelas hanya diutarakan karena masalah sepele.15
         Ada banyak kasus sebenarnya yang terjadi dalam keluarga-keluarga dewasa ini. Namun yang menyedihkan adalah bahwa tak ada alasan yang jelas bagi setiap pelaku kekerasan dalam keluarga mengapa mereka melakukan tindakan-tindakan di luar batas moral itu. Lebih menyedihkan lagi setiap kekerasan yang terjadi tak jarang harus berakhir dengan korban nyawa. Akibatnya selalu berimbas pada anak-anak yang sebenarnya butuh tokoh panutan dalam perkembangan hidup mereka.
2.2.2. Mengapa Kekerasan?
         Salah satu amanat Sri Paus Yohanes Paulus II adalah tentang keluarga sebagai pelayan kedamaian. Keluarga mempunyai tugas yang penting yaitu memberikan sumbangan bagi tegaknya kedamaian. Atas dasar itu pada orang tua terletak tanggung jawab mendidik anak-anak menjadi insan kedamaian dengan terlebih dahulu memberi contoh yakni menjadi pelaku-pelaku kedamaian. Dasar dari kedamaian ini adalah korban Kristus di Kayu Salib yang telah lebih dahulu memberi manusia kedamaian.16
         Namun yang menjadi pertanyaan kita adalah mengapa terjadi kekerasan dalam keluarga? Ketegangan-ketegangan sering timbul dalam hubungan keluarga. Hal ini banyak di sebabkan oleh sulitnya menyerasikan kehidupan berkeluarga. Misalnya karena pekerjaan suami dan istri saling berjauhan atau karena ketiadaan pekerjaan sehingga mereka menjadi cemas akan masa depan. Ketegangan lain juga muncul akibat pola hidup yang banyak dipengaruhi oleh hedonisme dan konsumerisme yang lebih mementingkan kebutuhan pribadi daripada kebutuhan bersama.17
         Salah satu sebab penting lain dari kekerasan dalam keluarga yang terkadang dilupakan adalah kurangnya komunikasi dalam keluarga. Persoalan-persoalan yang muncul dalam keluarga sering timbul karena masalah komunikasi ini. Persoalan yang timbul itu antara lain disebabkan oleh pertama, komunikasi yang diwarnai oleh ketertutupan. Komunikasi yang lancar selalu muncul ketika ada persoalan hingga warna komunikasi selalu dibayangi ketegangan. Kedua, komunikasi yang diwarnai saling curiga. Ketiga, komunikasi yang diwarnai oleh saling mempersalahkan.18
         Selain itu ada beberapa faktor lain juga yang menyebabkan timbulnya kekerasan dalam keluarga. Salah satu yang dianggap penting yaitu ekonomi. Ekonomi berhubungan dengan pengaturan biaya hidup mulai dari makan minum sampai pemuasan oleh kebutuhan mulai dari yang primer ke yang sekunder bahkan tertier. Sudah tentu ini erat kaitannya dengan uang karena hidup dewasa ini tak bisa  dipisahkan dari uang. Tantangan terbesar dalam hidup berkeluarga terkadang timbul karena sulitnya mengolah ekonomi keluarga. Maka apa yang disebut KDRT yang banyak timbul dewasa ini juga disebabkan oleh faktor ekonomi ini.19
         Hal-hal di atas dapat menunjukkan beberapa sebab penting mengapa sering terjadi berbagai bentuk kekerasan dalam keluarga. Memang tidak menutup kemungkinan akan adanya berbagai sebab lain seperti cemburu, faktor kehidupan seksual, rantau, dan lainnya. Namun semuanya itu masih berhubungan dengan sikap tak adanya keterbukaan dalam keluarga yang disebabkan oleh lemahnya komunikasi antar pasangan dalam hidup berumah tangga.

III. Mengatasi Kekerasan dalam Keluarga
            Menghadapi berbagai situasi yang kurang menguntungkan dalam kehidupan berkeluarga dewasa ini timbul pertanyaan apakah semua ketimpangan, kekerasan dan kekacauan dalam keluarga dapat diatasi? Pepatah lama mangatakan hidup adalah perjuangan. Bukankah keluarga juga berada dalam kerangka kata dan pepatah ini? Keluarga bagaimanapun selalu membutuhkan perjuangan untuk mempertahankan bahtera rumah tangganya. Perjuangan dalam keluarga selalu meliputi usaha suami istri untuk mau membina hidup bersama menuju kesejahteraan dan menjadikannya sebagai Gereja rumah tangga atau Gereja mini.20
            Atas dasar itu ada banyak teori dimunculkan guna menyejahterakan keluarga. Hal ini mau membuktikan bahwa institusi keluarga sangatlah pemting dalam perkembangan hidup manusia baik dalam bidang pemerintahan, agama, kebudayaan maupun sosial politik. Demikianpun dalam tulisan ini penulis mencoba menampilkan berbagai solusi kecil bagaimana mengatasi berbagai kecendrungan akan perpecahan dalam keluarga. Solusi ini diharapkan dapat menjadikan keluarga benar-benar mencapai apa yang dinamakan kesejahteraan dan kebahagian abadi seperti yang dicita-citakan seluruh keluarga.
            Kekerasan dalam keluarga seperti yang telah diuraikan terkadang dipengaruhi oleh faktor ekonomi. Demikianpun dengan kebahagiaan. Berhadapan dengan hal ini keluarga mesti melihat uang sebagai sarana komunikasi cinta kasih suami istri secara terbuka, penuh kasih, dan tanggung jawab. Untuk itu dalam menata kehidupan ekonomi keluarga dianjurkan pertama, iman yaitu percaya dan berharap akan Allah. Kedua, doa yaitu secara bersama-sama sebagai satu keluarga. Ketiga, usaha yaitu giat bekerja tetapi selalu ada kesepakatan dengan duduk bersama untuk berunding tentang bagaimana mengembangkan ekonomi keluarga.21
            Dilain pihak ada juga rumus untuk menata ekonomi keluarga yang disebut 5 M. Pertama, mencari. Setiap manusia termasuk keluarga berusaha mencari nafkah. Kedua, menggali. Manusia mesti menggali berbagai SDA yang telah tersedia seperti melalui usaha pertanian dan perkebunan. Ketiga, mengelola. Demi kesejahteraan segala sesuatu tentu harus dikelola maka perlu ada yang mengatur, mencatat, dan mengaturnya. Keempat, mengembangkan. Orang tua harus terampil mengembangkan rejeki dengan jujur, bertanggung jawab dan jujur. Kelima, memanfaatkan. Tujuan ekonomi rumah tangga adalah kesejahteraan. Keadilan dan cintakasih pasti akan membuka pintu kebahagiaan keluarga sejauh Allah memperkenankan.22
            Dalam kehidupan berkeluarga juga, khususnya di daerah kita pesta selalu menjadi kebiasaan untuk merayakan keberhasilan, kematian atau ulang tahun dan lainnya. Pesta menjadi momen berkumpulnya setiap anggota kelaurga. Berkumpulnya anggota keluarga pada waktu-waktu tertentu seperti Lebaran, Natal, selain pada hari-hari ulang tahun, perkawinan dan kematian, menunjukkan pentingnya hubungan dalam keluarga.23 Untuk itu beberapa hal di bawah ini baik juga dianjurkan untuk kebaikan keluarga sebab tidak jarang pesa terkadang menjadi biang perpecahan dalam keluarga. Pertama, kita pesta sambil duduk bersama, untuk menyadari kedudukan kita dalam hidup bersama dan perjuangannya. Kedua, kita pesta sambil berkata-kata, untuk memberi arti bagi perjuangan hidup ini. Ketiga, kita berpesta makan dan minum bersama, sebagai tanda lahir batin kita terlibat dalam menayantap dan mengunyah kehidupan.24
            Di lain pihak keluarga harus selalu memancarkan hubungan cinta sebab keluarga adalah sebuah komunitas cinta triniter dalam Tuhan.25 Hal ini harus ditunjukkan pertama-tama dari orang tua yang kemudian diteruskan kepada anak-anak. Terhadap anak-anak orang tua tentu menunjukkan cinta mereka salah satunya melalui harapan. Banyak keluarga mengharapkan sesuatu dari anak-anak mereka khusunya yang berkaitan dengan keberhasilan. Perpecahan dalam keluarga justru muncul karena anak-anak yang kurang mendapat perhatian atau yang kurang sukses sesuai dengan harapan orang tua.
            Itulah sebabnya Gereja Katolik sangat menekankan pentingya kehidupan berkeluarga. Keluarga yang bahagia dan stabil memberikan ruang gerak di mana seorang anak belajar berelasi dengan orang lain: memperhatikan, membagikan, mencintai, dan memaafkan. Hal ini pertama-tama dimulai dari rumah sebab mulai dai rumahlah anak-anak belajar bahwa mereka diterima dan dicintai. Maka orang tua menjadi guru pertama yang paling penting bagi anak-anak mereka. Apa saja yang mereka perbuat dan ucapkan akan melekat erat pada anak-anak mereka baik itu yang positif maupun yang negatif. Cara orang tua dituntut dalam hal ini bagaimana mereka membina hidup berumah tangga yang baik hingga kebahagiaan keluarga tercapai secara baik.26
            Membahagiakan keluarga sudah tentu kita mesti menerapkan berbagai cara untuk mencapai kebahagiaan itu. Beberapa diantaranya seperti yang telah diuraikan di atas. Namun yang penting dari semua itu adalah begaimana menerapkan komunikasi dalam keluarga. Apa yang kita perjuangkan hendaknya menjadi sarana komunikasi kita dalam kelurga sebab hanya dengan komunikasi kita mampu berhubungan satu dengan yang lain. Untuk itu ada beberapa tips guna meningkatkan kebahagiaan hidup berkeluarga yang oleh para ahli sebut ten rules for happy mariage yaitu:27
a)      Jangan marah pada waktu bersamaan
b)      Tidak boleh berteriak-teriak khususnya jika sedang bertengkar kecuali kalau rumah sedang terbakar
c)      Bersedia kalah untuk menang
d)      Kritik diberikan dengan penuh rasa kasih sayang
e)      Jangan mengungkit kesalahan-kesalahan pada masa lampau
f)        Jangan melupakan pasangan anda khususnya bila sedang berpergian
g)      Katakan yang baik tentang pasangan anda paling kurang satu kali sehari
h)      Meminta maaf bila berbuat salah
i)        Jangan pergi tidur dalam keadaan marah
j)        Dalam pertengkaran yang paling banyak bicara itu yang salah. Berbicara banyak tidak ada gunanya.
           
IV. Penutup
            Kekerasan dalam keluarga tanpa disadari telah mewabah dewasa ini. Berbagai media informasi sering menampilkan pada tiap halamannya berbagai kasus kekerasan kecil maupun besar yang terjadi dalam keluarga. Berbagai alasan timbul dari berbagai tindakan kekerasan itu. Ada yang menampilkan rasa cemburu, faktor hidup seksual, pengangguran, dan lainnya ada juga karena faktor ekonomi, kurangnya komunikasi, dan ketertutupan antar individu dalam keluarga itu sendiri.
            Hal pokok sebenarnya yang menjadi alasan kuat berbagai kekerasan dalam keluarga adalah ketiadaan komunikasi dalam keluarga. Keluarga kita mengaktifkan komunikasi justru ketika ada konflik. Mereka jarang berifat terbuka dalam berbagai hal. Itulah sebabnya mengapa keluarga kita sangat rentan terhadap percekcokan hingga harus berurusan dengan hukum bahkan menimbulkan korban nyawa.
            Berbagai solusi ditawarkan khususnya dalam tulisan ini bagaimana mengatasi kekerasan dalam keluarga. Solusi, tips-tips, dan rumus-rumus menuju kebahagiaan keluarga itu kiranya dapat dinikmati sebagai bahan refleksi bagi keluarga kita bagaimana membina keluarga yang sejahtera. Hal ini menjadi penting karena keluarga menjadi tulang punggung perkembangan masyarakat kita baik sebagai anggota masyarakat maupun Gereja, dalam bidang pemerintahan maupun agama, politik maupun sosial budaya.




DAFTAR PUSTAKA


Badudu J. S. dan Zain Sutan. M. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Sinar

       Harapan, 2001.

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 2002.

Berita “Wawancara Eksklusif Suami Bunuh Istri”, Pos Kupang (Kupang), 2 Desember

       2008.

Berita “JG Bantai Satu Keluarga di Kewapante” Pos Kupang (Kupang), 21 Agustus 

       2002.

Berita “Suami Tangkap Basah Istri Berselingkuh”, Pos Kupang (Kupang), 27 Oktober

       2008.

Berita “Briptu do Santos Diduga Terlantarkan Istri”, Pos Kupang (Kupang), 6 November

Darmawijaya, St. Mengarungi Hidup Berkeluarga. Yogyakarta: Kanisius, 1994).

Dore Dae, Ansel. Sejarah Kebudayaan Indonesia (ms). Maumere: Ledalero, 2006.

Eminyan, M. Teologi Keluarga. Yogyakarta: Kanisius, 2005.

Hrom, T.O., (penyunt.). Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta: Obor, 1999. Seri

Mirsel, R. Pasanganku Seorang Katolik Sebuah Inspirasi bagi Pasangan Kawin Campur

       Katolik-NonKatolik. Maumere: LPBAJ, 2001.

Osborne, Richard & Van Loon, Born. Seri Mengenal dan Memahami Sosiologi. Jakarta:

       Scientific Press, 2005.

Raho, B. Keluarga Berziarah Lintas Zaman Suatu Tinjauan Sosiologis. Ende: Nusa 

       Indah, 2003.

Raho, B. Sosiologi Sebuah Pengantar. Maumere: Ledalero, 2004.

Raho, B. “Komunikasi (Sisi Lain Perjuangan dalam Keluarga)”, Kanal Majalah

       Keluarga, 008 (31 Agustus 2008).

Seri Dokumen Gerejawi No. 72, April 2006.

Seri Dokumen Gerejawi, No. 33, April 1994.

Suwito, P. Panduan Kesejahteraan dan Kebahagiaan Keluarga. Malang: Dioma, 2006.




       1B. Raho, Keluarga Berziarah Lintas Zaman Suatu Tinjauan Sosiologis (Ende: Nusa Indah, 2003), pp. 15&26.
       2B. Raho, Sosiologi Sebuah Pengantar (Maumere: Ledalero, 2004), p. 139.
       3T.O. Hrom (penyunt.), Bunga Rampai Sosiologi Keluarga (Jakarta: Obor, 1999), p. 67.
       4Keluarga dan Hak-hak Asasi dalam Seri Dokumen Gerejawi No. 72, April 2006, pp. 8&27.
       5B. Raho, Op. Cit., p. 25.
       6Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2002), pp. 236-237.
       7J. S. Badudu dan Sutan. M. Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Sinar Harapan, 2001), p. 532.
       8B. Raho, Sosiologi Sebuah Pengantar., Loc. Cit.
       9Ansel Dore Dae, MA, Sejarah Kebudayaan Indonesia (ms) (Maumere: Ledalero, 2006). pp. 3-4.
       10Richard Osborne & Born Van Loon, Seri Mengenal dan Memahami Sosiologi (Jakarta: Scientific Press, 2005), pp. 6-7.
       11B. Raho, Sosiologi Sebuah Pengantar, Op. Cit. p. 69.
       12Berita “Wawancara Eksklusif Suami Bunuh Istri”, Pos Kupang (Kupang), 2 Desember 2008, p. 1.
       13Berita “JG Bantai Satu Keluarga di Kewapante” Pos Kupang (Kupang), 21 Agustus 2002, p. 1.
       14Berita “Suami Tangkap Basah Istri Berselingkuh”, Pos Kupang (Kupang), 27 Oktober 2008, p. 5.
       15Berita “Briptu do Santos Diduga Terlantarkan Istri”, Pos Kupang (Kupang), 6 November 2008, p. 6.
       16Paus Yohanes Paulus II, “Kedamaian dan Keluarga, Beberapa Amanat Sri Paus Yohanes Paulus II Perihal Kedamaian, Perdamaian, dan Keluarga Tahun 1994”, Seri Dokumen Gerejawi, No. 33 (April 1994), pp. 14-15.
       17Ibid., p. 4.
       18B. Raho, “Komunikasi (Sisi Lain Perjuangan dalam Keluarga)”, Kanal Majalah Keluarga, 008 (31 Agustus 2008), pp. 16-17.
       19Ibid., pp. 10-11.
       20Ibid., pp. 6-8.
       21Ibid., pp. 10-11.
       22P. Suwito, Panduan Kesejahteraan dan Kebahagiaan Keluarga (Malang: Dioma, 2006), p. 189.
       23T. O. Ihrom (penyunt.)., Op. Cit., p. 90.
       24St. Darmawijaya, Mengarungi Hidup Berkeluarga (Yogyakarta: Kanisius, 1994), pp. 149-150.
       25M. Eminyan, Teologi Keluarga (Yogyakarta: Kanisius, 2005), p. 49.
       26R. Mirsel, Pasanganku Seorang Katolik Sebuah Inspirasi bagi Pasangan Kawin Campur Katolik-NonKatolik (Maumere: LPBAJ, 2001), p. 125.
      27B. Raho, “Komunikasi (Sisi Lain Perjuangan dalam Keluarga)”, Loc. Cit.

GUGAT KORUPTOR


RAKYAT MENGGUGAT: UPAYA MENUJU TRANSFORMASI POLITIK YANG MEMIHAK RAKYAT KECIL

By: Anak Golingkara

I. Pendahuluan

            Menelusuri sejarah perjalanan situasi perpolitikan di Indonesia sangat tepat bila mengatakan dunia perpolitikan kita diwarnai kegagalan. Para wakil rakyat yang dipercaya untuk menyalurkan suara rakyat belum menunjukkan hasil yang memuaskan perasaan dan rasionalitas politik sebagian besar rakyat di negeri ini.1 Rakyat Indonesia masih diliputi oleh rasa kehilangan akan hak berpolitik mereka. Hak-hak itu antara lain hak memilih dalam Pemilu, menyatakan pendapat dan berasosiasi, serta mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan lembaga-lembaga negara yang menyimpang dari kewenangan.2
            Lantas apa yang dilakukan? Rakyat menggugat! Sebuah tulisan yang diajukan penulis sebagai bagian dari  rakyat Indonesia yang merasa prihatin dengan situasi politik kita. Tulisan ini merupakan sebuah gugatan atas main kuasa dan menghimpun harta dari para pejabat pemerintahan yang seharusnya memihak rakyat. Dengan pendasaran studi kepustakaan atas situasi perpolitikan kita, penulis berusaha mengkaji berbagai bentuk kegagalan sistem pemerintahan baik dalam orde baru maupun era reformasi. Berangkat dari hal itu penulis menunjukkan gugatannya dalam tulisan ini sebagai bagian dari rakyat yang menggugat dengan memberikan masukan dan anjuran apa yang sebaiknya dilakukan rakyat dan penguasa.
II. Politik Indonesia: Berorentasi Kekuasaan dan Kekayaan
            Pasca keruntuhan rezim Orde Baru rakyat Indonesia masuk ke dalam alam reformasi di mana terbersit harapan akan kebebasan berekspresi bagi rakyat baik dalam bersuara maupun dalam kehidupan berpolitik. Inilah saatnya rakyat Indonesia masuk dalam babak baru kehidupan berpolitik yaitu era transisi demokrasi. Era ini nampak dalam agenda reformasi yakni “melakukan perubahan” dalam berbagai bidang menuju Indonesia yang demokratis.3 Kita butuh perubahan dari sisa-sisa demokrasi rezim orde baru yang membawa luka bagi rakyat dan bangsa pada umumnya. Wiliam Lidle melihat Indonesia orde baru dengan membuat piramida kekuasaan yang dibaginya dalam tiga jajaran yaitu Presiden dengan segenap atributnya, Angkatan Bersenjata dan Birokrasi. 4
            Presiden sebagai penguasa tertinggi menjadi yang utama dari yang setara (DPR, MA, BPK, dan DPA). Ia yang menentukan segala sesuatunya seperti politik, pendistribusian dana pembangunan, proses rekrutmen dalam Angkatan Bersenjata serta mempunyai banyak atribut yang tak semua orang memilikinya seperti mandataris MPR, pengemban Supersemar, dan lainnya. Angkatan Bersenjata memiliki peran politik yang penting sebagai stabilisator dan dinamisator. Mereka masuk dalam berbagai bidang terutama politik dan ekonomi. Sementara sistem Birokasi dapat kita temukan hampir di semua tempat. Mereka memiliki persepsi sebagai pelindung, pengayom dan lainnya yang sering disebut berevolence. Akan tetapi mereka juga memiliki persepsi bahwa rakyat itu bodoh, tidak tahu tentang pemerintahan, maka mereka mesti patuh atau obedience. Pola hubungan inilah (berevolence-obedience) yang paling dominan dalam interaksi pemerintahan di Indonesia.
            Namun yang paling dominan dalam politik orde baru adalah sistem yang dibuat sedemikian untuk membungkam suara rakyat Indonesia seperti kekerasan pada etnis Tionghoa Mei 1998, kekerasan Timor-Timor dan lainnya.5 Adapun kekerasan yang dilakukan banyak melibatkan militer yang kemudian dilihat sebagai tujuan untuk mempertahankan rezim yang sedang berkuasa.6 Maka tepatlah pertanyaan yang paling dominan di era orde baru adalah “ke mana rakyat kecil mangadu?”.7
            Sekarang kita telah berada pada suatu era baru yakni reformasi di mana kita mulai merasakan adanya perubahan. Perubahan itu antara lain pemilihan presiden secara langsung, pengamandemenan UU yang dianggap sakral pada masa orde baru, terjaminnya kebebasan pers, dan MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi yang memilih presiden dan wakilnya.8 Namun sebuah pertanyaan hadir untuk kita benarkah reformasi politik mempunyai implikasi bagi perubahan politik?
            Memang kita merasakan perubahan, akan tetapi kinerja perpolitikan kita masih mewarisi sistem politik orde baru. Sebagai contoh misalnya sistem birokrasi kita masih mewarisi sistem yang berlaku pada masa Soeharto.9 Lebih parah lagi negara kita saat ini sedang gencarnya tercemar oleh ulah para koruptor yang tak sungkan-sungkan berkorupsi bahkan secara terang-terangan. Menyoroti laporan tentang korupsi yang terjadi di negara kita pada tahun 2002, Indonesia menempati posisi pertama sebagai negara terkorup di dunia dengan skor 0, 75.10 Beberapa hal ini menunjukkan bahwa kita belum sepenuhnya mengalami perubahan. Kita mesti terus berjuang terutama memerangi kesewenang-wenangan dan kerakusan para penguasa agar benar-benar memihak rakyat daripada mementingkan diri mereka sendiri.

III. Rakyat Menggugat: Upaya Menuju Transformasi Politik yang Memihak Rakyat Kecil
3.1. Rakyat dan Gerakan Perlawanan
            Setiap rakyat di negara manapun selalu mencita-citakan suatu sistem politik yang baru bila sistem sebelumnya terasa tidak memihak mereka. Sistem itu adalah sistem politik yang terbuka di mana rakyat dapat mengekspresikan kemerdekaannya.11 Bila tetap tidak terwujud rakyat berhak menyuarakannya.
            John Locke, dalam bukunya The Second Treatises menulis bahwa barang siapa (penguasa) mempergunakan kekuatan terhadap rakyat berarti menyatakan keadaan perang terhadap rakyat.12 Meskipun pernyataan ini ditujukan kepada badan eksekutif dan legislatif akan tetapi mengingat pada masa Locke raja bisa memiliki kewenangan lebih maka pernyataan ini ditujukan juga kepada segenap penguasa yang duduk di kursi pemerintahan.
            Membandingkan pernyataan itu, bukan suatu kebohongan bila kita menyatakan bahwa pemerintah kita telah dengan terang-terangan menyatakan keadaan perang terhadap rakyatnya sendiri. Berbagai tindakan kekerasan yang dilatarbelakangi oleh pemerintah kita sendiri dapat disaksikan dalam realitas kehidupan sehari-hari. Berhadapan dengan hal itu sudah saatnya rakyat “berperang”, mengangkat senjata keberanian dengan menyuarakan kebenaran dan berbagai kesewenangan yang berlaku melalui gerakan perlawanan rakyat.
            Gerakan perlawanan itu dapat dilakukan melalui, yang oleh Jeff Hayness menyebutnya sebagai kelompok aksi. Julukan ini oleh Hayness ditujukan kepada badan sosial yang berjuang demi keadilan di bidang ekonomi, sosial, politik dan kultural.13 Di Indonesia sendiri pada masa keruntuhan rezim orde baru mahasiswa manjadi pelopor gerakan kelompok aksi yang terbesar. Dengan keberanian yang ada mereka berjuang demi martabat manusia serta mengakomodasikan harapan-harapan dan idealisme rakyat yang masih tersimpan dalam ide dan pikiran mereka.14
            Kekuatan mahasiswa benar-benar menggugat jaman meskipun kemudian banyak menimbulkan korban seperti yang terjadi dalam tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II.15 Akan tetapi dari sinilah justru rakyat mesti belajar berjuang sepenuh hati membentuk kelompok aksi untuk bersaksi tentang kebenaran dan kebebasan yang terenggut. Ketika suara dan hak kita dibungkam dan penguasa tetap menutup telinga, satu-satunya cara adalah berdemonstrasi sebagai bagian dari keterwujudan niat kelompok aksi dalam memperjuangkan kebebasannya.

3.2. Menggugat Koruptor: Tranformasi Sumpah Jabatan
            Meningkatnya tindak pidana korupsi dari segi kualitas maupun kuantitas yang begitu rapi telah menyebabkan terpuruknya perekonomian Indonesia. Dalam ilmu akuntansi korupsi merupakan bagian dari kecurangan, termaktub pula di dalamnya tindakan berbohong, menjiplak, mencuri, memeras, dan sejenisnya dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok dengan cara melawan hukum.16 Atas dasar pengertian ini kita dapat melihat kembali realitas perpolitikan kita yang sarat akan tindakan korupsi seperti yang dilaporkan pada bagian terdahulu.
            Menanggapi hal itu pemerintah menurunkan UU pemberantasan korupsi yang termuat dalam pasal 2 dan 3 UU No. 31 Tahum 1999 meskipun terlihat sebagai akal-akalan karena tetap saja pejabat kita kebal hukum meski melakukan korupsi.17 Selain itu pemerintah kita dibekali juga oleh sumpah jabatan sebelum resmi menduduki suatu jabatan. Pada pasal 9 ayat 1 dan 2 UUD 1945 misalnya menyatakan tentang sumpah jabatan yang mesti dilakukan oleh presiden dan wakil presiden di depan MPR/DPR atau pimpinan MPR/DPR yang disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung,18 atau juga untuk para pejabat pada umumnya.
            Hemat penulis bentuk sumpah yang berlaku ini mestinya ditransformasikan ke bentuk yang lain. Demi sebuah transformasi politik yang jujur tentu kita menginginkan berbagai perubahan dalam tatanan politik kita. Sebuah masukan sangatlah dibutuhkan tentunya. Berkaitan dengan format sumpah, penulis mengedepankan suatu format lain sebagai tambahan bagi bentuk sumpah yang telah tercantum dalam Undang-Undang. Format sederhana ini mungkin terlampau ekstrim dan tak masuk akal, akan tetapi menghadapi realitas politik yang serba tak masuk akal pula, kita sebagai rakyat mesti bersuara terlebih dahulu, menggugat berbagai kesewenangan sebagai bentuk keberaniaan dan kecintaan kita kepada negara Indonesia ini.
            Adapun format sumpah yang dianjurkan itu adalah: “setiap pejabat yang hendak diangkat sumpahnya tidak hanya bersaksi di depan majelis (MPR/DPR/DPA/Ulama atau lainnya), tetapi juga berani pertama, untuk bersumpah siap dihukum mati bila berkorupsi dan bertindak sewenang-wenang, kedua, bersumpah di hadapan peti mati yang diapiti dua buah lilin sebagai tanda kesiapan untuk mati bila melanggar sumpah”. Bentuk inilah yang dianjurkan sebagai sebuah transformasi sumpah jabatan sebelum seorang pejabat benar-benar menempati jabatannya.

IV. Penutup

            Berani berpolitik berarti berani juga untuk bertanggung jawab terhadap segala bentuk sistem politik yang diembannya. Setiap rakyat di negara manapun memiliki kebebasan untuk berpolitik. Akan tetapi setiap orang selalu menginginkan bahwa setiap percaturan politik yang berlangsung dilakukan secara sehat dan wajar. Menghadapi berbagai sistem politik yang kurang sehat, rakyat berhak untuk menggugat sistem politik yang ada dengan menggunakan hak suara mereka. Bagaimanapun, setiap sistem politik yang berlangsung tak pernah luput dari kesewenangan dan irasionalitas tindakan sebab ia dikuasai manusia apalagi bila mengandalkan otoritas demi mengejar kekayaan.
            Situasi politik Indonesia sendiri banyak diwarnai oleh tindakan di luar akal sehat yang melibatkan kesewenangan hukum serta mengandalkan kekerasan. Politik Indonesia jauh di luar batas harapan rakyat yang mengharapkan keadilan dan keberpihakan pemerintah terhadap rakyat. Rezim orde baru telah berlalu dan diganti dengan era reformasi di mana setiap orang memiliki lahan terbuka untuk mengeluarkan suaranya.
            Akan tetapi situasi sebenarnya tidaklah demikian. Meninjau kembali ulasan pada penjelasan di atas, ada begitu banyak ketimpangan dalam berpolitik di negeri tercinta ini. Kekerasan, sistem birokrasi Orde Baru yang masih berlaku, korupsi, politik uang, ketidakadilan dan ketiadaan akan keberpihakan pemerintah terhadap rakyat menunjukkan sistem politik kita belum sepenuhnya berubah seperti apa yang dicita-citakan oleh para pejuang reformasi.
            Untuk itulah melalui tulisan ini penulis menyalurkan dan menyumbang ide sebagai gugatan bagi pemerintah, serta ingin membangkitkan semangat rakyat untuk bersama-sama menggugat sistem politik yang sama sekali tidak memihak. Untuk itu penulis menganjurkan pertama, kepada rakyat untuk tetap bersuara melalui berbagai bentuk kelompok aksi. Berdemonstrasi secara sehat dan wajar untuk memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan bangsa serta berusaha untuk mempergunakan berbagai fasilitas media masa untuk menyalurkan suara, ketidakadilan dan ketakberpihakan.    
            Kedua, kepada pemerintah dan pemegang sistem politik agar menggunakan sistem politik yang sehat. Mendengar suara rakyat dan mewujudkannya dengan janji yang terpenuhi secara jujur. Kepada badan pembuat UU agar memperhatikan dan memenuhi permintaan rakyat atas usulan transformasi sumpah jabatan sehingga mampu membentuk sistem politik yang memihak tanpa kesewenangan dan kekerasan hingga kita tidak lagi saling menggugat.


















DAFTAR PUSTAKA

Dancar, A. “Kelompok Aksi dan Peran Dialogis Politis: Strategi Kebijakan Politik yang 
       Responsif  dan Kreatif” dalam Akademika, Kebijakan Politik dan Keadilan Sosial, 
       Vol. 1. No. 1. November, 2006.
Dhae, Maxi. “Mahasiswa dan Perjuangan Politik yang Memihak” dalam Seri Buku VOX,
       Seri 44/1/2002.
Doredae, Ansel. Manusia dan Kebudayaan Indonesia (ms). Maumere: Ledalero, 1996.
Emanuel, J. ”Habitus Baru Menuju Konsolidasi Demokrasi” dalam Akademika, Habitus
       Baru dan Jati Diri Bangsa, Vol. IV. No. 2. 2006/2007.
Gafar, Affan. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka
       Pelajar, 2004.
Hadad, Ismid. Kebudayaan, Politik dan Keadilan Sosial. Jakarta: LP3ES, 1982.
Locke, John. Kuasa Itu Milik Rakyat Esai Megenai Asal Mula Sesungguhnya Ruang
       Lingkup, dan Maksud Tujuan Pemerintahan Sipil. Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Masdar, Umarudin dkk. Mengasah Naluri Publik Memahami Moral Politik. Yogyakarta:
       LkiS, 1999. 
Prasetio, Eko. Reformasi di Titik Balik? MembongkarUpaya-Upaya Remiliterisasi di
       Indonesia dalam Wacana, Negeri Tentara Membongkar Bisnis Ekonomi Militer,
       Edisi 17 Tahun III, 2004.
Suradi, Korupsi dalam Sektor Pemerintah dan Swasta. Yogyakarta: Gaya Media, 2006.
Undang-Undang Dasar 1945 dan Amandemennya. Trinity, 2007.
Winarto, Budi. Sistem Politik Indonesia Era Reformasi. Yogyakarta: Media Presindo,
       2007.
Wikipedia Indonesia dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Tragedi_Semanggi, diakses
       tanggal 16 April 2008




       1A. Dancar, “Kelompok Aksi dan Peran Dialogis Politis: Strategi Kebijakan Politik yang Responsif  dan Kreatif” dalam Akademika, Kebijakan Politik dan Keadilan Sosial, Vol. 1. No. 1. November, 2006, p. 13. 
       2Umarudin Masdar, dkk., Mengasah Naluri Publik Memahami Moral Politik (Yogyakarta: LkiS, 1999), p. 4 
       3J. Emanuel ”Habitus Baru Menuju Konsolidasi Demokrasi” dalam Akademika, Habitus Baru dan Jati Diri Bangsa, Vol. IV. No. 2. 2006/2007. p. 82.
       4Affan Gafar, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), pp. 36-41.
       5Ansel Doredae, Manusia dan Kebudayaan Indonesia (ms) (Maumere: Ledalero, 1996), pp. 31-32.
       6Eko Prasetio, Reformasi di Titik Balik? MembongkarUpaya-Upaya Remiliterisasi di Indonesia dalam Wacana, Negeri Tentara Membongkar Bisnis Ekonomi Militer, Edisi 17 Tahun III, 2004, p. 3.
       7Ismid Hadad, Kebudayaan, Politik dan Keadilan Sosial (Jakarta: LP3ES, 1982), p. 45.
       8Budi Winarto, Sistem Politik Indonesia Era Reformasi (Yogyakarta: Media Presindo, 2007), pp. x-xi.
       10Emilianus Y. S. Tolo, “Habitus Baru dalam Pemberantasan Korupsi” dalam Akademika, Habitus Baru dan Jati Diri Bangsa, Op. Cit., pp. 103-118.
       11Maxi Dhae, “Mahasiswa dan Perjuangan Politik yang Memihak” dalam Seri Buku VOX, Seri 44/1/2002, p. 19.
       12John Locke, Kuasa Itu Milik Rakyat Esai Megenai Asal Mula Sesungguhnya Ruang Lingkup, dan Maksud Tujuan Pemerintahan Sipil (Yogyakarta: Kanisius, 2006), p. 121.
13Aleks Dancar, Op. Cit., p. 6.
14Maxi Dhae, Loc. Cit.
15Wikipedia Indonesia dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Tragedi_Semanggi. Diakses tanggal 16 April 2008.
16Suradi, Korupsi dalam Sektor Pemerintah dan Swasta (Yogyakarta: Gaya Media, 2006), pp. 1-2.
17Ibid.
18Undang-Undang Dasar 1945 dan Amandemennya (Trinity, 2007), p. 7.