Rabu, 29 September 2010

MATA SERIBU BINTANG



            Kadang aku mengingat masa kecilku dulu. Sehabis mencuci piring malam bersama kawan sepermainan berlari ke tanah lapang berbaring di sana sambil menghitung bintang. Menjadi kesukaan bahkan kerinduan kami akhirnya untuk berada di sana separuh malam meski kemudian sepotong rotan menyeret kami dari sana untuk kembali ke rumah. Kami akan berteriak jika melihat bintang jatuh atau benda aneh serupa bintang yang terbang di langit. “Beri kami uang!!” teriak kami beramai-ramai.
            Lalu datang bencana. Ketika berada di kelas lima SD aku harus kehilangan ibuku yang setia akibat konflik tanah dengan pemerintah. Tanah kami dijadikan lahan untuk membangun pabrik baja. Orang-orang diusir. Banyak keluarga yang hilang, pergi tak kembali lagi, meski kembali mereka hanya rupa yang tak bernyawa atau raga yang tak sempurna. Lebih menyedihkan lagi setelah pabrik itu benar-benar dibangun. Langit kami yang berbintang itu menjadi hitam, gunung kami hilang hijau, gemercik air sungai tak didapati lagi sirna dan lenyap tertelan deru mesin dan erosi limbah. Keinginan menghitung bintang tinggal kerinduan di bawah asap tebal yang angkuh.
            Aku kehilangan orang yang kucintai, ibu serta teman-temanku. Malam-malam sepiku kulalui bersama ayah yang kadang sakit namun tulus membangkitkan semangatku. Aku melayaninya, bercerita dan tertawa-tawa di sana hingga ia terlelap. Ketika ia sembuh aku begitu senang apalagi ketika kudapati matanya penuh beribu bintang. Setiap kutatap tak pernah kumerasa bosan, menghitungnyapun aku tak pernah selesai. “Yah…bisa kupandang mata ayah?” pintaku suatu hari. “Kenapa tidak?” balasnya dengan senyum indah di wajahnya.
            Tingkahku sekian hari membuat ayah heran. “Mengapa kau selalu berbuat demikian?” tanyanya suatu hari. “Matamu ayah…kulihat beribu-ribu bintang…”  “Bintang?!” dahinya berkerut. Aku mengangguk pelan lalu pergi, aku tak mau ia bertanya lebih banyak lagi. Semenjak itu ia tak pernah bertanya lagi . Setiap kali aku memandang matanya ia hanya tersenyum entah di mana ia menaruh rasa herannya. Suatu hari aku gelisah menunggu kepulangannya dari kebun. Terlalu lama menunggu akhirnya kususul ia ke sana. Mataku terbelalak, tak bersuara, menegang di pintu pondok saat kusaksikan tubuh ayah telentang dengan mulut berbusa dan pergelangan tangan berdarah. Aku shock, tak bergairah menggapai hidup. Semua kenyataan hilang makna, aku seperti melangkah di dunia hayal. Entah karena benar-benar kehilangan dia atau justru karena bintang-bintang di matanya itu.
            Setahun berlalu aku masih terkurung dalam penyesalan dan kegelisahanku. Bertahan dalam gelombang kehidupan yang tak memihak memaksaku menyeret diri dalam kesedihan. Aku menjadi pribadi yang terasing di tengah hidup yang terus berpacu bersama waktu, berlari kadang tak pernah berhenti. Di tengah situasi batas yang sasar itu seorang lelaki hadir dalam kehidupanku. “Adnan” katanya memperkenalkan diri. Aku diam tak berkedip memandang wajahnya. Sungguh di matanya kulihat beribu-ribu bintang. “Nur” jawabku tersadar dari lamunanku.
            Ia menemani hari-hari sepiku. Memberiku tawa dan senyum, mengobati luka dengan suka, mengembalikan rinduku yang telah hilang jauh. Jiwaku kembali merasa, bergetar dan menegang. Mulutku mulai berkata, menelan dan dan mengunyah. Aku hidup. Kalbuku mulai menyusun deburan rasa, menghentak-hentak di adrenalin cinta. Aku mulai merasa takut, takut kehilangan dia juga bintang-bintang di matanya.
            “Mengapa kau selalu memandang begitu?” tanyanya suatu sore. Aku tersentak dan malu. Menunduk aku di hadapannya dengan tubuh bergetar dan air mata membasahi pipi. “Hei…kenapa kau menangis, kau tegrsinggung?” ia bertanya lagi dengan suara pelan. Aku menggeleng “aku ingat ayah” kucoba mengelak. “Aku seperti ayahmu?” aku mulai gugup. “Bintang….bintang di matamu seperti di mata ayahku” kucoba menjawab seadanya dengan suara tertahan tangisan. Ia mengangkat daguku hingga kami saling manatap. “Kau melihat bintang di mataku?” aku mencoba tersenyum lalu mengangguk.
            Mungkin ia heran atau aneh kalau melihatku. Tapi itulah adanya aku melihat bintang di matanya. Suatu hari ia datang ke kediamanku. Senyumnya menggetarkan hatiku. Matanya memacu syaraf matematisku, lalu aku mulai menghitung setiap pijar cahya di matanya. “Nur…sebenarnya aku sedih bila harus kehilangan sahabat seperti kamu”. Aku terkejut “kenapa?” kucoba bertanya dengan rasa heran yang hampir sempurna. “Aku mendapat seseorang yang berarti dan pantas untuk mendampingiku di masa depan” “Pacar” selaku memotong laju kalimatnya. Ia mengangguk. “Kamu sudah punya pacar?” kataku lagi dengan suara setengah berteriak. Kutahan tangisku, aku kehilangan dia? “Maafkan aku, aku…” aku tak peduli lagi dengan perkataannya kulepaskan dia sendiri, berlari ke dalam kamar menangis di sana sepuas diriku.
            Senja yang turun bersama gerimis membuatku enggan ke luar rumah. Perlahan cuaca kian kelam menyeret mendung bersama angin dingin yang menggigit kulit. Kucoba menatap bunga-bunga di taman namun nuraini tak kesampaian. Tiba-tiba bel berdentang. Aku berlari ke pintu. Serasa tak percaya kudapati ia berdiri di pintu menatapku dengan senyumnya yang sempurna. “aku tak bisa membohongi diriku” Adnan berkata pelan. “sejak kapan kau mencintaiku?” ia melanjutkan lagi dengan suara bergetar. Aku sedikit terhenyak, dalam parau suaraku kucoba memberi jawab “sejak kulihat beribu beribu bintang di matamu”.
            Tiba-tiba air mataku berlinang. “tak usahlah menangis, kau akan mendapatkan bintangmu sendiri. Tak ada yang akan mengambilnya darimu” katanya sambil mencium keningku. Dadaku bergetar meresapi aliran rasa yang menyerbu kalbuku. “terimalah ini” katanya sambil memberikan sebuah bungkusan apik padaku. Aku membukanya, tak ada yang lain selain sebuah cermin. “lihatlah ke dalamnya” katanya meminta. Tak ada siapa-siapa selain wajahku yang memantul dari kedalamannya. Aku memandangnya aneh “sekali lagi” pintanya.
            Aku sekali lagi menengok agak lama. Dan…ya Tuhan…kulihat kampungku yang langitnya penuh bintang, ada ibu, ayah, dan…penglihatanku berjalan melewati kota dan mencapai taman luas. Taman penuh bunga dan malaikat, Adnan…Adnan di sana…ya…Adnan kau…. Aku melepas cermin dan kudapati hampa.
            Kosong…tak ada seorangpun di hadapanku, bahkan Adnan. Ke mana? Aku bahkan masih berdiri di kamar tanpa ditemani seorangpun. Mimpi? Tak mungkin. Aku berlari ke luar, ruang tamu, dapur tak ada yang kucari. Kucoba memanggil beberapa kali, gema yang kembali. Aku kembali ke kamar, mengangkat cermin dan memandangi wajahku di dalamnya. “Ya…Tuhan!!” seruku histeris. Aku…aku…di mataku terdapat beribu bintang kelap kelipnya pantulkan kedahsyatan cahya. Perlahan dan pasti kumulai menghitungnya.



By: Dendi Sujono

Q.C, Manila Awal September 2010.

2 komentar:

  1. Kalo buat cerpen mantap...jangan lupa kerja tugas e...kumpul hari senin...kalo nanti ga selesai,nanti kamu terjemahkan cerpen ini ke dalam Bahasa Inggris. Ta mbengus...hehehe...mantap e.

    BalasHapus