Rabu, 29 September 2010

TANAH LAPANG: CERPEN PUTRA MANGGARAI TIMUR



Tinggal di kampung kadang mengasyikkan kadang juga membosankan. Tetapi lebih banyak bosannya. Waktu di bangku kuliah pinginnya cepat selesai, sudah tinggal di kampung pinginnya kembali ke bangku kuliah. Dulu aku sempat berpikir berkali-kali untuk pergi kuliah. Aku sempat ingin masuk akademi militer tetapi mengingat senjata aku jadi enggan untuk mengikuti test. Benda laknat yang satu itu yang bikin aku trauma ketemu sama tentara apalagi melihat pasukan meneteng sejata.
Pamanku pernah mengusulkan aku untuk kuliah di fakultas ilmu sosial dan politik. Aku langsuk menolaknya. Aku sudah benci mendengar kata politik apalagi menyaksikan politik di negeriku. Politik di negeriku politik busuk, mencuri, menghancurkan dan membunuh. Kata politik telah lama kusingkirkan dari kamus cita-citaku untuk menjadi seorang politikus ulung.
Lantas akhirnya aku nyasar di ilmu manajemen atas anjuran ibuku. Aku benar-benar berjuang untuk cepat selesai karena pada saat yang sama daerahku akan dimekarkan menjadi kabupaten baru. Memang ibu kota kabupaten masih lima kilo jauhnya dari rumahku tapi itu tak sebanding dengan aku yang harus mangadu otak ke pulau Jawa. Tapi yang membuat aku bangga aku menjalankan praktek kemenajemenanku di Austaralia.
“Kesempatan bung!” Aku masih ingat saat kawan-kawanku menganjurkan aku untuk kembali mengabdi di daerahku sendiri. Apalagi sebagai kabupaten baru tentu membutuhkan orang-orang baru yang berpengalaman dan berkualitas, kata mereka waktu itu. Tapi sayang kesempatan itu tinggal kata-kata. Bekal dari Austaralia tinggal sebuah kebanggaan. Sekian kali aku membuat lamaran berkali-kali aku ditolak entah apa alasannya aku tak tahu. Bahkan akhirnya ibuku menganjurkan aku untuk tes PNS. “Lihat si Amir, jebolan fakultas sastra kerjanya di bagian administrasi, si Ani jebolan akuntansi kerjanya di kantor agama semuanya lulus PNS dan...” “Ya itu karena orang dalam bu!” Sahutku menyela perkataan ibu.
Mengingat itu semua aku kadang bingung, marah dan sedih melihat situasi yang kadang tak bisa dimengerti oleh akal sehat. Tapi aku tak terlalu pusing dengan urusan yang membuat kapalaku pecah itu, yang kubutuhkan sekarang hanyalah bekerja. Mengisi kekosongan waktu kadang aku menulis artikel dan mengirimkannya ke koran lokal meskipun kadang bosan apalagi tulisanku yang bernada kritik itu membuat aku semakin dikucilkan. Mungkin juga gara-gara itu mereka menutup semua jalur kerja buat lamaranku. Akhirnya kuputuskan untuk menulis cerpen. Sayangya aku tak tahu harus menulis apa. Bagaimana memulainya saja aku sendiri bingung.
Kebetulan di belakang rumahku ada sebuah tanah lapang yang keseharianya orang sering mengunakannya untuk bermain bola kaki. Menghadap arah timur barat ada tiang gawang dari pipa. Jika menghadap ke barat maka sebelah kanan itulah rumahku. Dua puluh meter di depannya ada jalan raya yang menghubungkan kampung dengan kota kabupaten. Mengenai tanah lapang itu di sekelilingnya orang membuat rumah dan semuanya famili ibu yang muslim. Di ujung lapangan sebelah timur terdapat sebuah Masjid yang besar.
Sejak menikah dengan almarhum ayahku yang Katolik tulen ibu tak pernah pindah keyakinan, begitu juga dengan ayahku. Mereka dikaruniai dua orang anak, kakakku yang DO SMA kelas dua dan aku. Tapi kehidupan kami tak pernah cekcok malahan cocok. Aku ikut aliran ayahku, kakak ikut ibu. Gereja dari rumahku berjarak seratus meter itu yang membuat aku kadang malas ke gereja, sementara kakakku orang yang taat beribadah seperti ibu dan ayah. Kehidupan orang-orang kampungkupun aman-aman saja. Kala Ramadhan ataupun Idulfitri tanah lapang itu digunakan untuk sholat bersama. Jika Natal dan Tahun Baru tiba, tetap tanah lapang itu digunakan untuk natalan atau tahun baru bersama. Demikianpun dengan kegiatan lainnya.
Kebiasaan pula, jika pagi hari orang mengikat ternak di tanah lapang itu, siang para ibu mengunakannya untuk menjemur kain, kasur juga padi. Di sore hari anak muda maupun anak kecil bermai bola di sana atau sekedar berkumpul untuk bercerita. Malam minggu biasanya di waktu purnama orang muda ramai bersenda gurau di sana sambil berpantun. Namun tradisi ini hilang karena sebuah tragedi. Tak ada lagi orang-orang muda datang malam-malam ke sana. Maka aku mengambil inisiatif sendiri untuk ke sana berbekalkan sebatang lilin duduk atau berbaring-baring sambil menatap langit.
Begitulah setiap malam kalau ideku menulis cerpen lagi kosong aku lebih memilih untuk ke sana. Tetapi yang menarik perhatiannku adalah kisah turun-temurun tentang tanah lapang itu yang kuperoleh dari ayah sebelum kematiannya yang tragis. Di jaman dulu tanah lapang ini orang sering gunakan di malam hari untuk bersuka ria. Orang menari-nari menabuh gong dan gendang sambil bernyanyi. Ketika kakekku, ayah dari ayahku beranjak remaja tradisi itu hilang seketika bersamaan dengan datangnya tentara Belanda. Di sana didirikan markas militer mereka. Bahkan orang-orang yang dianggap memberontak dibunuh di sana. Memang tak ada bekas, entah tertutup bangunan lain di atasnya atau lekang termakan zaman.
Ketika kakek mengawini nenekku, Belanda sudah pergi dan Indonesia baru saja merdeka. Tetapi tanah lapang kembali jadi saksi keganasan PKI. Tentara-tentara yang mengklaim diri sebagai anggota PKI membunuh orang-orang yang setia kepada Republik. Tahun ’66 ibuku lahir saat PKI mulai digusur. Tanah lapang itu kembali dibasahi darah, orang-orang yang dianggap komunis dibantai di sana. Anehnya semua yang dibunuh itu adalah masyarakat biasa yang tak tahu apa-apa. Lebih aneh lagi yang melakukan pembantaian terhadap mereka adalah tentara yang sama. Mana yang PKI dan yang bukan orang-orang kala itu termasuk kakekku bingung.
Ketika aku lahir komunis sudah tak ada meskipun orang-orangnya masih bertahan di kursi pemerintahan. Jaman itu jaman orde baru yang sering orang singkat ORBA. Gebrakan baru juga diadakan untuk sebuah program pembangunan jangka panjang. Maka tanah lapangpun digusur, tanah warga diambil secara paksa buat pemukiman militer. Saat itulah kakekku jadi korban, dimakan peluru militer. Nenekku mati seminngu kemudian karena tekanan batin yang hebat. Mereka semua senasib dengan orang tua dari ibuku dan orang-orang di sekitar tanah lapang itu.
Sejak itu tanah lapang seperti tanda kehadiran hantu yang menakutkan. Orang-orang yang diculik dibawa ke sana dan tak kembali-kembali lagi. Ke mana mereka menjadi misteri sampai hari ini. Kisah ini terus berlanjut ketika rezim orba itu mencapai titik klimaksnya. Tengah malam segerombolan tentara membawa paksa ayahku yang saat itu menjabat sebagai Kades dibawah todongan senjata. Aku baru saja menginjak bangku SMA tapi tak ada yang dapat kami buat. Aku, ibu dan kakakku dipaksa diam oleh senjata yang menancap di dahi kami.
Saat pagi kudapati ibu tak sadarkan diri di samping jasad ayah yang tergeletak begitu saja dengan tubuh penuh lubang peluru, di depan teras. Ia pergi begitu saja tanpa pesan selain duka yang dalam bagi keluarga. Hampir saja perjuanganku pupus di tengah jalan seperti abangku. Untung aku hidup dengan seorang ibu yang tabah dan tegar yang selalu menyokong perjuanganku dengan keterampilan menjahit dan membuat kue.
Tanah lapang itu baru mulai berubah ketika gema reformasi meruntuhkan kelaliman rezim orba. Tiada aktifitas di sana selain bekas bangunan yang ditinggalkan oleh orang-orang militer. Entah ke mana mereka pergi sama misterimya dengan orang-orang kampung yang hilang saat mereka berkuasa di sana. Meski demikian orang masih belum berani untuk mendirikan rumah di sana. Barulah kemudian ketika ada pemugaran pada bangunan Mesjid orang mulai ramai-ramai kembali menempati lahan mereka yang dahulu direbut.
Namun bukan berarti kisah tanah lapang berakhir begitu saja. Mengingat Ainun aku merasa akrab dengan tanah lapang. Seolah hasratku mangajakku untuk senantiasa kembali ke tanah lapang. Cinta pertama justru hadir dan membawaku mengenal cinta sejati di tanah lapang itu. Ainun kukenal ketika kami mengadakan malam minggu bersama di tanah lapang. Mudika paroki berdialog dengan remaja mesjid dalam rangka membina persaudaraan. Justru lewat ajang ini terbina suatu ikatan hati.
Memang sejujurnya aku katakan padanya bahwa aku akan menikahinya bila aku menyelesaikan kuliahku. Sayang ketika aku ke Australia pristiwa itu terjadi. Ainun didapati tak bernyawa di tanah lapang. Seluruh pakayannya koyak dan dari hasil visum ia diperkosa. Pelakunya misterius dan polisi masih mengusutnya. Kudapati informasi itu dari ibu yang menelponku dengan terisak. Aku benar-benar terpukul, hampir saja aku meninggalkan masa praktekku untunglah Haji Rusman ayah Ainun senantiasa menelponku untuk menguatkanku.
Selepas kuliahku aku kembali. Di rumah tinggal ibu sendiri, kakakku telah mengadu nasib ke kota. Tak ada lagi Ainun yang selalu megajakku ke tanah lapang setiap malam minggu.  Tak ada pesan, tak ada senyuman, hampa kurasakan. Kuayunkan langkahku menuju tanah lapang sambil menggenggam erat lilin bernyala di tanganku. Tanpa kata aku duduk di sana hingga dingin meremukkan kesendirianku tanpa Ainun. Air mataku menetes melewati batas-batas ketegaranku sebagai lelaki. Sepi kurasakan, senyap tiada cakap. Entah mengapa tanah lapang masih menghadirkan kisah pahit bagi keluargaku.
“Randi!!” Aku tersentak dari lamunanku, sadar bahwa aku sedari tadi Cuma melamun. Bergegas aku tingalkan tanah lapang dengan separuh lilin bernyala. “Ada polisi di dalam” kata ibu setibanya aku di rumah. Di ruang tamu dua perwira polisi menunggu kami. “Malam pak, benar ini rumahnya saudara Amir Salifudin?” Seorang polisi bertanya. “Benar” aku mengiyakan “tapi ia tak di sini” lanjutku agak gugup “kenapa mencarinya malam-malam begini?” Lajutku lagi bertanya.
“Maaf ia terlibat dalam kasus pemerkosaan terhadap Ainun beberapa waktu lalu...” “Apa?!” Ibuku menyela dengan tubuh langsung ambruk. Aku kelalapan, dua polisi membantu aku membawa ibu ke kamar, ia tak sadarkan diri. “Baiklah. Ia telah kami tangkap, sekarang ada di kantor polisi kalau mau melihatnya besok kami tunggu”. “Oh ya pak bisa sore hari?” Aku bertanya. Polisi itu menarik napas sebentar lalu mengangguk.
Setelah polisi pergi barulah ibuku siuman. Ia menangis sejadi-jadinya, akupun turut terisak-isak di sampingnya. Batinku merasa tak percaya dengan berita yang baru saja kudengar. Dadaku menyentak-nyentak dihajar degup jantung yang tak karuan. Pikiranku kalut membawaku tertidur hingga pagi dalam emosi dan gelisah yang menyatu.
Esok sorenya kami ke kantor polisi. Di sana sudah menunggu ayah dan ibu Ainun. Mereka tak tersenyum sedikitpun. Wajah mereka menunjukkan kebencian yang sangat. Kamipun dibawa ke sel sementara yang ditempati kakakku. Aku tak yakin kalalu itu kakakku. Ia yang alim dan taat beribadah sekarang benar-benar berubah menjadi penjahat. Ia menubruk tubuhku dan ibu menangis sejadinya sambil mengucapkan kata-kata maaf yang hampir saja tak terdengar olehku. Aku menyambutnya dalam pelukanku dengan hati yang berlipat emosi dan wajah tanpa senyuman.
Setelah semuanya selesai dalam pertemuan yang singkat itu aku dan ibu meminta diri. Kembali ke rumah saat senja telah menjemput malam. Kudapati rumahku yang sunyi, seakan-akan keceriaan itu termakan emosi perasaan masing-masing. Ibu lebih memilih tidur. Aku mengambil se-pak lilin lalu menuju tanah lapang. Kupasang lilin itu arah timur barat untuk para kakek dan nenekku, ayahku, Ainun, juga buat kakakku yang mati nuraninya, serta ibu dan aku yang lagi sakit hati.
Setelah berdoa sejenak kucoba menatap langit yang hitam berpagar awan sekelam hati yang senatiasa berpagar kesusahan. Dengan langkah gontai seakan memikul seribu aral kumelangkah perlahan kembali ke rumah. Kudapati ibu terlelap bersama sejuta kesedihan dalam hidupnya di kamarnya. Aku melangkah menuju kamarku duduk di hadapan beberapa lembar kertas mengayunkan pena mulai menulis, yah menulis sebuah cerpen yang baru saja anda nikmati ini.

Di Penghujung Malam Menatap
Seberkas Cinta dari Ujung Langit
Kota Maumere.
Cerpen Dendy Sj.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar