Rabu, 29 September 2010

DIK NARTI



Pertemuan itu terjadi di pantai ketika aku dan beberapa sahabatku sedang outing (piknik) bersama. Mungkin saja ia sedang melakukan hal yang sama karena ketika di pantai itu kulihat ia berjalan bersama dengan seorang perempuan setengah tua, mungkin saja ibunya atau salah satu dari sanak familynya. Dalam keadaan tubuh yang basah, di tengah keasyikan mempermainkan buih ombak pantai tiba-tiba aku menubruk tubuhnya hingga membuatnya terjatuh.
Secepat kilat pula aku menjangkau tangannya, menariknya kembali dan berdiri tepat di hadapanku. Ia sama sekali tidak marah atau menunjukkan sikap benci atas perbuatanku yang sebetulnya tidak sengaja itu. Ia menatapku dengan senyum kecilnya yang merekah antara bibirnya yang ranum. Tetapi perempuan yang di sampingnya melototiku dengan tajamnya, mungkin saja dia marah. Tetapi bukan itu yang membuatku semakin tak mampu memejamkan seluruh mata rasaku di hari-hari kemudian.
Matanya…yah matanya. Mata itu seperti pernah kulihat dulu saat pertama kulihat diriku sendiri di dalamnya. Mata yang menulis rona wajah pemilik seribu rasa, saat pertama kukatakan cinta. Mata yang menyimpan seribu misteri dan selalu kudalami dalam waktu-waktuku dulu. Yah…mata kepunyaan mendiang istriku, Dini. “Namamu siapa?” tanyaku pelan waktu itu. “Narti” jawabnya hampir tak terdengar, tertelan desau angin dan debur ombak pantai. “Boleh kupanggil dik Narti? Aku Herdy” balasku sembari memperkenalkan diri disambut senyum dan anggukannya yang pelan.
Aku seperti merasa kehilangan di hari-hari setelah pertemuan itu. Telah dua tahun lebih istriku pergi tapi aku tak merasa kehilangan apa-apa. Mengapa justru dik Narti yang baru saja kujumpai lebih memperdalam rasa kekosonganku? Kekosongan bukan karena ditinggal mati istriku atau karena hari-hari sepi kulalui sendiri tanpa ciuman, pelukan, canda dan tawa mendiang istriku. Tetapi kekosongan itu lebih karena dik Narti.
Sebulan telah terlewati, hari pergi dan waktu berlalu tanpa disadari. Tetapi rasa kekosongan dan kerinduan akan dik Narti kian melumat seluruh lapisan eksistensiku. Aku mulai tak puas dengan angan, membenci mimpi, memaki harapan sebab semua itu justru memperparah kekosonganku. Setiap aku bangun dari hayalku, sadar dari tidurku aku mendapati diriku sendiri tanpa ditemani dia yang sempat menari-nari dalam sayaraf-syaraf ketaksadaranku. Di satu senja, tanpa sengaja kubelikan sekuntuk mawar merah di toko bunga “siapa tahu, satu saat aku bertemu dengannya” gumamku pelan.
Satu hari, di tengah penatnya diri menantang matahari, gerahnya raga menanggung panasnya aku mencari teduh di taman kota. Entah mengapa aku jadi ingin ke sana sebab aku tak pernah sedikitpun dalam hidup memiliki keinginan untuk ke sana. Tetapi justru di sanalah aku mendapati asal kerinduan dan kekosonganku. “Dik Narti” aku coba memanggilnya. Ia menoleh diikuti oleh perempuan setengah tua di sampingnya, perempuan yang kujumpai di pantai. Ia menatapku lama hingga aku semacam tergagap di sana, terpaku sejenak diam begitu saja. “Sudah lama di sini?” kucoba mengajukan cakap setelah kutenangkan diriku untuk beberapa saat. Ia hanya mengangguk lalu tersenyum lagi. Tiba-tiba hasratku untuk memeluk, mencium dan membelainya timbul begitu saja. Tetapi demi ramainya tempat itu dan bealalak mata perempuan setengah tua di sampingnya itu aku mengurungkan niat setengah busukku itu.
Setelah beberapa basa-basi yang tak kudapat tanggap selain anggukan dan senyuman, mereka pergi. Aku menatapnya sampai ia hilang di antara sesak hiruk massa, sampai ia tak dapat kupandang lagi meski aku memegang bayangnya, menekurnya dalam hayal. Namun sungguh, tak pernah kurasakan kebahagiaan seperti ini semenjak dulu. Dini seolah ada di sini, dalam matanya bercanda, tertawa, dan bercerita tentang masa muda kami dan saat-saat rindu kami yang dipertemukan dalam setiap perjumpaan dan perbincangan. Tetapi, ketika malam sampai dan mulai menjilat bumi aku kembali merasa hampa, dik Narti ataupun Dini tak di sini.
Akhirnya aku punya jadwal sendiri, setiap tengah hari mengunjungi taman kota. Bukan taman kota sebetulnya, dik Narti. Yah dik Narti. Bersamanya kami bercanda, bercerita, tertawa-tawa, saling melempar, bermain kejar-kejaran bahkan melompat-lompat tak peduli berpuluh pasang mata menatap kami heran. Tak peduli pula ganas langit mengirim panas kami terus menikmati kegembiraan kami. Tapi sungguhpun demikian aku tetap tak dapat memeluknya barang sedikitpun. Seolah jarak itu tercipta begitu saja dalam setiap permainan kami yang singkat itu, setiap tengah hari. Hanya aku sempat menyentuh ujung jemarinya saat kuberikan setangkai mawar merah yang kubeli beberapa waktu lalu. Sungguhpun selama itu ia tak layu dan dik Narti menerimanya dengan balasan senyum yang selalu diberikan setiap kali perjumpaan kami dan terekam dalam setiap mimpiku tentangnya.
Sehari kemudian aku kembali ke taman kota. Tak kudapati dik Narti di sana selain seorang lelaki yang mondar-mandir di bawah pohon ki hujan tempat kami biasanya bertemu. “Kamu lihat anak kecil yang biasa duduk di sini de….” “Oh…jadi kamu Herdi ya? Untuk apa kamu berikan ini, ha?” tiba-tiba lelaki itu berubah galak, mendorong-dorong tubuhku sembari melempar mawar merah yang pernah kuberikan pada dik Narti. “Kamu pikir kamu siapa? Kamu sadar siapa dirimu?” ia terus membentakku, mencecerkan sekian banyak pertanyaan hingga aku jadi ngeri sendiri.
Selesai dengan sekian banyak pojokan, marah, cercaan, bahkan makian ia pergi setelah meludahi wajahku. Aku memungut mawar yang dibuangnya. Dalam hati aku mulai meratap, sungguh ratapan itu kian panjang dalam hari-hariku seterusnya. Daras harapku pada langit menyatu dalam setiap kekosonganku, bawa dik Narti padaku. Aku kian merasa kehilangan lebih dari yang kurasa dulu. Tak kujumpai lagi dik Narti di taman kota, aku kian kesepian.
Suatu siang, orang ramai berkerumun di jalan kota. Dengan langkah gontai aku ke sana berusaha menembus kerumunan yang sesak. Aku terperanjat, terdiam dengan linang air mata turun menembus biji-biji keringat di wajahku. Tanpa peduli cakap dan desakan orang-orang yang berkerumun aku memapah dik Narti yang telah terbujur berlumur darah. Dilarikannya ia ke Rumah Sakit, mencoba memberinya harapan.
Beberapa jam kemudian keluarganya tiba. Seorang lelaki datang, menubruk tubuhku dan melayangkan satu pukulan keras ke wajahku. Aku tak sempat menghindar hingga benjolan besar bersarang di mata kiriku. “Kau tahu mengapa dia begini? Itu karena kamu!! Bajingan kau!” ia terus memakiku memberontak dari cengkeraman orang-orang yang melerai. “Kau buta! Kau tahu tidak kalau dia masih kecil. Dia itu masih SD, di mana kesadaranmu?” kali ini perempuan setengah tua yang adalah ibunya berkomentar. Tapi antara samar-samar indra pendengaranku aku berusaha merangkak dari sana ke ruang pengobatan.
Beberapa jam kemudian aku tersadar kembali. Tak peduli perban di mata kiriku aku berlari ke ruang UGD. Tetapi dik Narti tak ada di sana. “Mereka telah membawanya pulang ke jln.pahlawan” beberapa perawat menerangkannya padaku. “Apakah ia baik-baik saja” kucoba bertanya dengan isak yang tertahan. Mereka hanya mengeleng “Dia meninggal semenjak dalam perjalanan pak” kata seorang perawat pelan yang membuat seluruh diriku luruh.
Esoknya aku memberanikan diri pergi kerumahnya dengan menyertakan mawar yang pernah kuberikan padanya dulu. Banyak orang di sana, tetapi semua mereka melototiku tajam. Beberapa menunjuk-nunjuk ke arahku sambil mencibir. Dekat peti jenasah duduk ayahnya, lelaki yang mencerca dan memukulku dan ibunya perempuan yang kujumpai di pantai. Lebih tinggi dari tempat jenasah potret dik Narti mengenakan seragam merah hati terpampang seakan menatapku dengan senyumnya yang khas. Air mataku jatuh…terisak aku di sana lama.
Ketika kuangkat wajahku menatap tuk terakhir kalinya sosok kaku dalam peti jenazah aku terkejut. Bukan dik Narti yang berbaring di sana. Bukan sosok tubuh kecil umur belum sampai belasan yang kutatap. Tidak…tidak sama sekali. Ia justru Dini, mendiang istriku. Aku mulai sadar. Sesaat setelah meletakkan mawar dengan begitu saja dalam peti jenazah aku berbalik pulang. Kuayunkan langkahku yang mulai sungsang itu menuju pemakaman umum. Keterkejutanku timbul lagi saat kudapati setangkai mawar yang kuletakkan untuk dik Narti tergeletak begitu rapi di atas kubur istriku.
Aku berlari, terisak-isak di sana, di atas kubur istriku. Lama aku mendesah dengan serak kata yang tak kumengerti sendiri. “Aku sadar Din, selama ini aku banyak melupakanmu. Aku lupa akan janjiku sendiri untuk selalu mengunjungi dan berdoa untukmu. Tapi Din…mengapa kau gunakan dik Narti untuk ungkapkan kekesalanmu padaku hingga masa depannya dan orang tuanya berhenti begitu saja…” desahku pelan sembari meremas jemari tanganku kuat-kuat, memukul-mukul lantai makam, menyeimbangi penyesalan yang entah.


Cerpen: Dendy Sj.
Q.C,  Manila 2010.
For someone to whom i love.
Ikaw ang tanging buhay ko.
Mahal kita.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar