Senin, 11 Oktober 2010


KELUARGA:

KEKERASAN, SEBAB DAN CARA MENGATASINYA

(Sebuah Tawaran Di tengah Transformasi Global yang Mengancam Keluarga)
Oleh: Putra Golingkara

I. Pendahuluan

            Keluarga sebagai institusi terpenting dalam masyarakat memiliki kekhasan tersendiri. Dua dari kekhasan itu antara lain sebagai institusi yang melahirkan individu-individu ke dalam masyarakat sehingga amat menentukan kelangsungan hidup masyarakat serta merupakan agen penerus kebudayaan.1 Hal ini menjadi penting sebab keluarga merupakan potensi penting untuk membentuk suatu masyarakat yang sejahtera dan beradab. Sebagai penentu kelangsungan hidup masyarakat keluarga harus menyalurkan nilai-nilai yang baik serta memiliki wawasan luas dalam berelasi. Demikianpun halnya sebagai pewaris kebudayaan. Namun menjadi pertanyaan adalah begaimana jika keluarga itu rentan terhadap perilaku kekerasan dan tindakan imoral lainnya?
            Pertanyaan ini menjadi cocok untuk dewasa ini ketika fenomena kekerasan dalam keluarga menjadi hal yang lumrah dan dianggap biasa saja. Berbagai media elektronik maupun non-elektronik, lokal maupun nasional selalu menyertakan berbagai bentuk kekerasan dalam keluarga yang sering disebut Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di setiap lembaran dan halaman beritanya. Bagaimana kita mampu mewujudkan suatu masyarakat yang sejahtera, nyaman dan adil serta menjadi pewaris kebudayaan yang handal bila bermula dari keluarga yang diwarnai kekerasan? Mengapa terjadi kekerasan dan bagaimana mengatasinya? Berbagai pertanyaan ini menghantar kita pada pokok pembicaraan dalam karya tulis ini. Penulis coba melihat keluarga secara singkat dalam hubungannya dengan individu dan masyarakat serta mencoba menilik fenomena kekerasan dalam keluarga dan sebabnya serta sedikitnya memberikan solusi sebagai aspek pencegahan terhadap kekerasan dalam keluarga yang berkelanjutan.

II. Keluarga dan Fenomena Kekerasan dalam Keluarga

2.1. Keluarga
2.1.1. Pengertian
 Keluarga dapat berarti kelompok sosial yang terdiri dari dua atau lebih orang yang terikat karena hubungan darah, perkawinan atau karena adopsi dan yang hidup bersama untuk periode waktu yang cukup lama.2 Keluarga juga dapat berarti sebagai institusi sosial yang terdapat dalam masyarakat dan terdiri dari sepasang suami istri beserta anak-anak mereka yang belum menikah, tinggal bersama dalam satu rumah.3 Selain itu dalam piagam hak asasi keluarga dikatakan keluarga adalah tempat di mana pelbagai generasi bertemu dan saling menolong, tumbuh dalam kebijaksanaan insani dan mengaitkan hak-hak individu dengan tuntutan-tuntutan lain dalam hidup sosial. Atau keluarga juga diartikan sebagai komunitas orang-orang yang cara keberadaannya dan hidup bersama ialah persekutuan: communio persoarum.4
Dari berbagai pengertian di atas dapat dilihat bagaimana setiap orang dan institusi mencoba merumuskan pengertian keluarga. Keluarga dalam praktek hariannya dapat kita temukan pengertian secara tersendiri. Pengertian tentang keluarga dapat dirumuskan oleh masing-masing orang. Setiap peribadi memiliki pengertian berbeda tentang keluarga. Singkatnya keluarga selalu memiliki definisi yang begitu luas dan mencakup segala bentuk atau tipe keluarga yang mungkin ada.5
2.1.2. Keluarga dan Individu
         Individu apabila dilihat dari pengertiannya berasal dari bahasa Inggris yakni Individual. Namun kata ini sendiri berasal dari kata Latin Individuus yang berarti tidak dapat dibagi dari in yang berarti tidak dan dividuus yang berarti dapat dibagi. Merupakan terjemahan dari kata Yunani atonom yang berarti tidak dapat dibagi. Biasa juga diartikan sebagai suatu entitas, hal khusus, tunggal, pribadi, diri, dan ego.6 Sementara KUBI mengartikan individu sebagai orang atau seorang diri, atau perseorangan.7
 Keluarga tak akan ada tanpa individu. Keluarga terbentuk dari persatuan antara individu dengan individu (wanita dan pria). Atas suatu kesepakatan antar keduanya atau melibatkan kelurganya mereka mengikat diri dalam suatu institusi yang disebut perkawinan ataupun tidak. Misalnya dalam keluarga yang membuktikan adanya keterlibatan individu dapat kita lihat dalam pembagian keluarga yang terdiri dari keluarga inti dan keluarga luas. Keluarga inti terdiri dari keluarga inti orientasi yakni yang terdiri dari individu itu sendiri, orang tua dan saudara-saudarinya dan keluarga inti prokreasi yakni yang terdiri dari individu itu sendiri, istri atau suami dan anak-anaknya. Dari individu-individu dalam keluarga inti itu terbentuklah keluarga luas.8
2.1.3. Keluarga dan Masyarakat
         Sejauh ini kita telah melihat pengertian keluarga dan hubungannya dengan individu. Keluarga sebagai kumpulan individu-individu memiliki hubungan yang erat dengan masyarakat. Masyarakat dilihat dari pengertiannya dapat memiliki beberapa arti. Emile Durkheim melihat masyarakat sebagai suatu sistem yang dibentuk dari hubungan antara individu-individu sehingga menampilkan suatu realita tertentu yang mempunyai ciri-cirinya tersendiri. Maka keseragaman tingkah laku dalam suatu masyarakat tertentu haruslah dipandang sebagai produk masyarakat dan merupakan sifat asli dari setiap anggota masyarakat tertentu.9
Margareth Thatcher, mantan Perdana Mentri Inggris terkenal sebagai orang yang meragukan keberadaan masyarakat. Menurutnya tak ada yang dinamakan masyarakat. Yang ada hanyalah individu pria dan wanita, serta keluarga-keluarga. Sekilas pernyataan ini benar karena ada orang yang melakukan urusannya sendiri-sendiri. Namun bila diperhatikan secara baik ada sekelompok manusia yang berperilaku dalam cara yang sangat terorganisasi.10 Dilain pihak masyarakat dapat berarti keseluruhan kompleks hubungan manusia yang luas sifatnya. Disebut sebagai keseluruhan kompleks karena ia tersusun dari berbagai sistem dan subsistem seperti ekonomi, politik, pendidikan, keluarga, kesehatan dan lain-lain. Dalam setiap sub-sub sistem itu terdapat jalinan relasi dengan norma-norma dan peraturannya sendiri.11
Namun yang menjadi penting dari sekian banyak definisi ini adalah individu itu ada, tetapi mereka dibentuk secara sosial. Individu membentuk keluarga, keluarga membentuk kumpulan keluarga hingga terbentuklah kumpulan-kumpulan individu yang kemudian dinamakan masyarakat. Dalam masyarakat individu-individu serta keluarga-keluarga berbaur, bergaul hingga kemudian dari sekian banyak anggota masyarakat itu terbentuklah suatu desa, desa ke kecamatan dan seterusnya sampai meliputi kesatuan kosmos.

2.2. Keluarga dan Fenomena Kekerasan
2.2.1. Kekerasan dalam Keluarga
         Berbagai media komunikasi dewasa ini baik lokal maupun regional tak jarang menampilkan berbagai persoalan yang berhubungan dengan kehidupan keluarga. Kekerasan yang terjadi terkadang timbul karena alasan yang sepele bahkan ada yang sama sekali tidak jelas. Berbagai bentuk kekerasan yang terjadi selalu menghantar setiap pelaku baik anak, suami maupun istri harus menempuh jalur hukum. Terkadang juga setiap pelaku kekerasan dalam keluarga mesti mengakhiri kehidupan berkeluarga itu sendiri bahkan tak jarang harus kehilangan nyawa.
         Kasus pembunuhan misalnya, seperti yang terjadi pada Gaudensia Hermentina yang dibunuh suaminya sendiri Finilus F. Finandy di Kabupaten Sikka beberapa waktu lalu.12 Pembunuhan ini hanya diawali oleh pertengkaran kecil. Menurut pelaku yang sempat diwawancarai oleh wartawan ia membunuh istrinya karena tidak menuruti kemauannya untuk pergi bersama ke kantor Polisi. Kekuatan emosi yang tinggi dan tak terkontrol itulah yang mendorongnya menghabisi istrinya bahkan dirinya sendiri. Istrinya tak sempat tertolong sementara pelaku dapat ditolong oleh warga sekitar. Korban meninggalkan tiga orang anak.
         Pembunuhan lain misalnya yang dipengaruhi oleh dorongan emosional terjadi di Kewapante. Warga Dusun Lian Tahon, Desa Kokowahor, Kecamatan Kewapante, Kabupaten Sikka sekitar pukul 08.00 Wita, Selasa (20/8) geger, menyusul tewasnya satu keluarga karena dibantai JG. Ketiga korban yang dibantai itu bukan orang lain. Mereka justu orang-orang yang dicintainya yaitu istrinya Eutropia Selfina (33) sedang hamil enam bulan, Bernadina (60) mertua JG serta Esmario Konradus (29), ipar dari pelaku tersebut.13 Alasan pembunuhan sangat tidak jelas diduga dipicu oleh pertengkaran dalam keluarga.
         Selain kasus pembunuhan di atas kasus-kasus lain yang terjadi dalam rumah tangga adalah perselingkuhan. Perselingkuhan dewasa ini terkadang menjadi suatu hal yang lumrah bahkan biasa-biasa saja. Hal ini terbukti dengan laporan berbagai media masa yang setiap harinya menampilkan berbagai kasus perselingkuhan dalam kehidupan berkeluarga. Misalnya perselingkuhan yang terjadi antara Ny. Agustina dan Pratu Daud Manetde seorang tentara warga kelurahan Pasir Panjang. Perselingkuhan ini berakibat fatal karena tertangkap basah oleh sauaminya.14 Bukan tidak mungkin kasus-kasus seperti ini dapat juga mengakibatkan kekerasan dalam keluarga bila tidak segera diatasi secara baik.
         Kasus lain yang mempunyai hubungan erat dengan kasus kekerasan dalam keluarga adalah penelantaran terhadap istri oleh suami atau sebaliknya dan terhadap anak-anak. Salah satu contoh misalnya yang terjadi atas diri Maria de Fatima da Santos yang ditelantarkan suaminya Briptu Mariano da Santos, anggota Polres Belu. Kasus penelantaran ini telah berlangsung selama dua tahun. Mereka telah memiliki empat orang anak. Alasan yang disampaikan sehingga ia (Mariano) meninggalkan istrinya tidak jelas hanya diutarakan karena masalah sepele.15
         Ada banyak kasus sebenarnya yang terjadi dalam keluarga-keluarga dewasa ini. Namun yang menyedihkan adalah bahwa tak ada alasan yang jelas bagi setiap pelaku kekerasan dalam keluarga mengapa mereka melakukan tindakan-tindakan di luar batas moral itu. Lebih menyedihkan lagi setiap kekerasan yang terjadi tak jarang harus berakhir dengan korban nyawa. Akibatnya selalu berimbas pada anak-anak yang sebenarnya butuh tokoh panutan dalam perkembangan hidup mereka.
2.2.2. Mengapa Kekerasan?
         Salah satu amanat Sri Paus Yohanes Paulus II adalah tentang keluarga sebagai pelayan kedamaian. Keluarga mempunyai tugas yang penting yaitu memberikan sumbangan bagi tegaknya kedamaian. Atas dasar itu pada orang tua terletak tanggung jawab mendidik anak-anak menjadi insan kedamaian dengan terlebih dahulu memberi contoh yakni menjadi pelaku-pelaku kedamaian. Dasar dari kedamaian ini adalah korban Kristus di Kayu Salib yang telah lebih dahulu memberi manusia kedamaian.16
         Namun yang menjadi pertanyaan kita adalah mengapa terjadi kekerasan dalam keluarga? Ketegangan-ketegangan sering timbul dalam hubungan keluarga. Hal ini banyak di sebabkan oleh sulitnya menyerasikan kehidupan berkeluarga. Misalnya karena pekerjaan suami dan istri saling berjauhan atau karena ketiadaan pekerjaan sehingga mereka menjadi cemas akan masa depan. Ketegangan lain juga muncul akibat pola hidup yang banyak dipengaruhi oleh hedonisme dan konsumerisme yang lebih mementingkan kebutuhan pribadi daripada kebutuhan bersama.17
         Salah satu sebab penting lain dari kekerasan dalam keluarga yang terkadang dilupakan adalah kurangnya komunikasi dalam keluarga. Persoalan-persoalan yang muncul dalam keluarga sering timbul karena masalah komunikasi ini. Persoalan yang timbul itu antara lain disebabkan oleh pertama, komunikasi yang diwarnai oleh ketertutupan. Komunikasi yang lancar selalu muncul ketika ada persoalan hingga warna komunikasi selalu dibayangi ketegangan. Kedua, komunikasi yang diwarnai saling curiga. Ketiga, komunikasi yang diwarnai oleh saling mempersalahkan.18
         Selain itu ada beberapa faktor lain juga yang menyebabkan timbulnya kekerasan dalam keluarga. Salah satu yang dianggap penting yaitu ekonomi. Ekonomi berhubungan dengan pengaturan biaya hidup mulai dari makan minum sampai pemuasan oleh kebutuhan mulai dari yang primer ke yang sekunder bahkan tertier. Sudah tentu ini erat kaitannya dengan uang karena hidup dewasa ini tak bisa  dipisahkan dari uang. Tantangan terbesar dalam hidup berkeluarga terkadang timbul karena sulitnya mengolah ekonomi keluarga. Maka apa yang disebut KDRT yang banyak timbul dewasa ini juga disebabkan oleh faktor ekonomi ini.19
         Hal-hal di atas dapat menunjukkan beberapa sebab penting mengapa sering terjadi berbagai bentuk kekerasan dalam keluarga. Memang tidak menutup kemungkinan akan adanya berbagai sebab lain seperti cemburu, faktor kehidupan seksual, rantau, dan lainnya. Namun semuanya itu masih berhubungan dengan sikap tak adanya keterbukaan dalam keluarga yang disebabkan oleh lemahnya komunikasi antar pasangan dalam hidup berumah tangga.

III. Mengatasi Kekerasan dalam Keluarga
            Menghadapi berbagai situasi yang kurang menguntungkan dalam kehidupan berkeluarga dewasa ini timbul pertanyaan apakah semua ketimpangan, kekerasan dan kekacauan dalam keluarga dapat diatasi? Pepatah lama mangatakan hidup adalah perjuangan. Bukankah keluarga juga berada dalam kerangka kata dan pepatah ini? Keluarga bagaimanapun selalu membutuhkan perjuangan untuk mempertahankan bahtera rumah tangganya. Perjuangan dalam keluarga selalu meliputi usaha suami istri untuk mau membina hidup bersama menuju kesejahteraan dan menjadikannya sebagai Gereja rumah tangga atau Gereja mini.20
            Atas dasar itu ada banyak teori dimunculkan guna menyejahterakan keluarga. Hal ini mau membuktikan bahwa institusi keluarga sangatlah pemting dalam perkembangan hidup manusia baik dalam bidang pemerintahan, agama, kebudayaan maupun sosial politik. Demikianpun dalam tulisan ini penulis mencoba menampilkan berbagai solusi kecil bagaimana mengatasi berbagai kecendrungan akan perpecahan dalam keluarga. Solusi ini diharapkan dapat menjadikan keluarga benar-benar mencapai apa yang dinamakan kesejahteraan dan kebahagian abadi seperti yang dicita-citakan seluruh keluarga.
            Kekerasan dalam keluarga seperti yang telah diuraikan terkadang dipengaruhi oleh faktor ekonomi. Demikianpun dengan kebahagiaan. Berhadapan dengan hal ini keluarga mesti melihat uang sebagai sarana komunikasi cinta kasih suami istri secara terbuka, penuh kasih, dan tanggung jawab. Untuk itu dalam menata kehidupan ekonomi keluarga dianjurkan pertama, iman yaitu percaya dan berharap akan Allah. Kedua, doa yaitu secara bersama-sama sebagai satu keluarga. Ketiga, usaha yaitu giat bekerja tetapi selalu ada kesepakatan dengan duduk bersama untuk berunding tentang bagaimana mengembangkan ekonomi keluarga.21
            Dilain pihak ada juga rumus untuk menata ekonomi keluarga yang disebut 5 M. Pertama, mencari. Setiap manusia termasuk keluarga berusaha mencari nafkah. Kedua, menggali. Manusia mesti menggali berbagai SDA yang telah tersedia seperti melalui usaha pertanian dan perkebunan. Ketiga, mengelola. Demi kesejahteraan segala sesuatu tentu harus dikelola maka perlu ada yang mengatur, mencatat, dan mengaturnya. Keempat, mengembangkan. Orang tua harus terampil mengembangkan rejeki dengan jujur, bertanggung jawab dan jujur. Kelima, memanfaatkan. Tujuan ekonomi rumah tangga adalah kesejahteraan. Keadilan dan cintakasih pasti akan membuka pintu kebahagiaan keluarga sejauh Allah memperkenankan.22
            Dalam kehidupan berkeluarga juga, khususnya di daerah kita pesta selalu menjadi kebiasaan untuk merayakan keberhasilan, kematian atau ulang tahun dan lainnya. Pesta menjadi momen berkumpulnya setiap anggota kelaurga. Berkumpulnya anggota keluarga pada waktu-waktu tertentu seperti Lebaran, Natal, selain pada hari-hari ulang tahun, perkawinan dan kematian, menunjukkan pentingnya hubungan dalam keluarga.23 Untuk itu beberapa hal di bawah ini baik juga dianjurkan untuk kebaikan keluarga sebab tidak jarang pesa terkadang menjadi biang perpecahan dalam keluarga. Pertama, kita pesta sambil duduk bersama, untuk menyadari kedudukan kita dalam hidup bersama dan perjuangannya. Kedua, kita pesta sambil berkata-kata, untuk memberi arti bagi perjuangan hidup ini. Ketiga, kita berpesta makan dan minum bersama, sebagai tanda lahir batin kita terlibat dalam menayantap dan mengunyah kehidupan.24
            Di lain pihak keluarga harus selalu memancarkan hubungan cinta sebab keluarga adalah sebuah komunitas cinta triniter dalam Tuhan.25 Hal ini harus ditunjukkan pertama-tama dari orang tua yang kemudian diteruskan kepada anak-anak. Terhadap anak-anak orang tua tentu menunjukkan cinta mereka salah satunya melalui harapan. Banyak keluarga mengharapkan sesuatu dari anak-anak mereka khusunya yang berkaitan dengan keberhasilan. Perpecahan dalam keluarga justru muncul karena anak-anak yang kurang mendapat perhatian atau yang kurang sukses sesuai dengan harapan orang tua.
            Itulah sebabnya Gereja Katolik sangat menekankan pentingya kehidupan berkeluarga. Keluarga yang bahagia dan stabil memberikan ruang gerak di mana seorang anak belajar berelasi dengan orang lain: memperhatikan, membagikan, mencintai, dan memaafkan. Hal ini pertama-tama dimulai dari rumah sebab mulai dai rumahlah anak-anak belajar bahwa mereka diterima dan dicintai. Maka orang tua menjadi guru pertama yang paling penting bagi anak-anak mereka. Apa saja yang mereka perbuat dan ucapkan akan melekat erat pada anak-anak mereka baik itu yang positif maupun yang negatif. Cara orang tua dituntut dalam hal ini bagaimana mereka membina hidup berumah tangga yang baik hingga kebahagiaan keluarga tercapai secara baik.26
            Membahagiakan keluarga sudah tentu kita mesti menerapkan berbagai cara untuk mencapai kebahagiaan itu. Beberapa diantaranya seperti yang telah diuraikan di atas. Namun yang penting dari semua itu adalah begaimana menerapkan komunikasi dalam keluarga. Apa yang kita perjuangkan hendaknya menjadi sarana komunikasi kita dalam kelurga sebab hanya dengan komunikasi kita mampu berhubungan satu dengan yang lain. Untuk itu ada beberapa tips guna meningkatkan kebahagiaan hidup berkeluarga yang oleh para ahli sebut ten rules for happy mariage yaitu:27
a)      Jangan marah pada waktu bersamaan
b)      Tidak boleh berteriak-teriak khususnya jika sedang bertengkar kecuali kalau rumah sedang terbakar
c)      Bersedia kalah untuk menang
d)      Kritik diberikan dengan penuh rasa kasih sayang
e)      Jangan mengungkit kesalahan-kesalahan pada masa lampau
f)        Jangan melupakan pasangan anda khususnya bila sedang berpergian
g)      Katakan yang baik tentang pasangan anda paling kurang satu kali sehari
h)      Meminta maaf bila berbuat salah
i)        Jangan pergi tidur dalam keadaan marah
j)        Dalam pertengkaran yang paling banyak bicara itu yang salah. Berbicara banyak tidak ada gunanya.
           
IV. Penutup
            Kekerasan dalam keluarga tanpa disadari telah mewabah dewasa ini. Berbagai media informasi sering menampilkan pada tiap halamannya berbagai kasus kekerasan kecil maupun besar yang terjadi dalam keluarga. Berbagai alasan timbul dari berbagai tindakan kekerasan itu. Ada yang menampilkan rasa cemburu, faktor hidup seksual, pengangguran, dan lainnya ada juga karena faktor ekonomi, kurangnya komunikasi, dan ketertutupan antar individu dalam keluarga itu sendiri.
            Hal pokok sebenarnya yang menjadi alasan kuat berbagai kekerasan dalam keluarga adalah ketiadaan komunikasi dalam keluarga. Keluarga kita mengaktifkan komunikasi justru ketika ada konflik. Mereka jarang berifat terbuka dalam berbagai hal. Itulah sebabnya mengapa keluarga kita sangat rentan terhadap percekcokan hingga harus berurusan dengan hukum bahkan menimbulkan korban nyawa.
            Berbagai solusi ditawarkan khususnya dalam tulisan ini bagaimana mengatasi kekerasan dalam keluarga. Solusi, tips-tips, dan rumus-rumus menuju kebahagiaan keluarga itu kiranya dapat dinikmati sebagai bahan refleksi bagi keluarga kita bagaimana membina keluarga yang sejahtera. Hal ini menjadi penting karena keluarga menjadi tulang punggung perkembangan masyarakat kita baik sebagai anggota masyarakat maupun Gereja, dalam bidang pemerintahan maupun agama, politik maupun sosial budaya.




DAFTAR PUSTAKA


Badudu J. S. dan Zain Sutan. M. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Sinar

       Harapan, 2001.

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 2002.

Berita “Wawancara Eksklusif Suami Bunuh Istri”, Pos Kupang (Kupang), 2 Desember

       2008.

Berita “JG Bantai Satu Keluarga di Kewapante” Pos Kupang (Kupang), 21 Agustus 

       2002.

Berita “Suami Tangkap Basah Istri Berselingkuh”, Pos Kupang (Kupang), 27 Oktober

       2008.

Berita “Briptu do Santos Diduga Terlantarkan Istri”, Pos Kupang (Kupang), 6 November

Darmawijaya, St. Mengarungi Hidup Berkeluarga. Yogyakarta: Kanisius, 1994).

Dore Dae, Ansel. Sejarah Kebudayaan Indonesia (ms). Maumere: Ledalero, 2006.

Eminyan, M. Teologi Keluarga. Yogyakarta: Kanisius, 2005.

Hrom, T.O., (penyunt.). Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta: Obor, 1999. Seri

Mirsel, R. Pasanganku Seorang Katolik Sebuah Inspirasi bagi Pasangan Kawin Campur

       Katolik-NonKatolik. Maumere: LPBAJ, 2001.

Osborne, Richard & Van Loon, Born. Seri Mengenal dan Memahami Sosiologi. Jakarta:

       Scientific Press, 2005.

Raho, B. Keluarga Berziarah Lintas Zaman Suatu Tinjauan Sosiologis. Ende: Nusa 

       Indah, 2003.

Raho, B. Sosiologi Sebuah Pengantar. Maumere: Ledalero, 2004.

Raho, B. “Komunikasi (Sisi Lain Perjuangan dalam Keluarga)”, Kanal Majalah

       Keluarga, 008 (31 Agustus 2008).

Seri Dokumen Gerejawi No. 72, April 2006.

Seri Dokumen Gerejawi, No. 33, April 1994.

Suwito, P. Panduan Kesejahteraan dan Kebahagiaan Keluarga. Malang: Dioma, 2006.




       1B. Raho, Keluarga Berziarah Lintas Zaman Suatu Tinjauan Sosiologis (Ende: Nusa Indah, 2003), pp. 15&26.
       2B. Raho, Sosiologi Sebuah Pengantar (Maumere: Ledalero, 2004), p. 139.
       3T.O. Hrom (penyunt.), Bunga Rampai Sosiologi Keluarga (Jakarta: Obor, 1999), p. 67.
       4Keluarga dan Hak-hak Asasi dalam Seri Dokumen Gerejawi No. 72, April 2006, pp. 8&27.
       5B. Raho, Op. Cit., p. 25.
       6Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2002), pp. 236-237.
       7J. S. Badudu dan Sutan. M. Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Sinar Harapan, 2001), p. 532.
       8B. Raho, Sosiologi Sebuah Pengantar., Loc. Cit.
       9Ansel Dore Dae, MA, Sejarah Kebudayaan Indonesia (ms) (Maumere: Ledalero, 2006). pp. 3-4.
       10Richard Osborne & Born Van Loon, Seri Mengenal dan Memahami Sosiologi (Jakarta: Scientific Press, 2005), pp. 6-7.
       11B. Raho, Sosiologi Sebuah Pengantar, Op. Cit. p. 69.
       12Berita “Wawancara Eksklusif Suami Bunuh Istri”, Pos Kupang (Kupang), 2 Desember 2008, p. 1.
       13Berita “JG Bantai Satu Keluarga di Kewapante” Pos Kupang (Kupang), 21 Agustus 2002, p. 1.
       14Berita “Suami Tangkap Basah Istri Berselingkuh”, Pos Kupang (Kupang), 27 Oktober 2008, p. 5.
       15Berita “Briptu do Santos Diduga Terlantarkan Istri”, Pos Kupang (Kupang), 6 November 2008, p. 6.
       16Paus Yohanes Paulus II, “Kedamaian dan Keluarga, Beberapa Amanat Sri Paus Yohanes Paulus II Perihal Kedamaian, Perdamaian, dan Keluarga Tahun 1994”, Seri Dokumen Gerejawi, No. 33 (April 1994), pp. 14-15.
       17Ibid., p. 4.
       18B. Raho, “Komunikasi (Sisi Lain Perjuangan dalam Keluarga)”, Kanal Majalah Keluarga, 008 (31 Agustus 2008), pp. 16-17.
       19Ibid., pp. 10-11.
       20Ibid., pp. 6-8.
       21Ibid., pp. 10-11.
       22P. Suwito, Panduan Kesejahteraan dan Kebahagiaan Keluarga (Malang: Dioma, 2006), p. 189.
       23T. O. Ihrom (penyunt.)., Op. Cit., p. 90.
       24St. Darmawijaya, Mengarungi Hidup Berkeluarga (Yogyakarta: Kanisius, 1994), pp. 149-150.
       25M. Eminyan, Teologi Keluarga (Yogyakarta: Kanisius, 2005), p. 49.
       26R. Mirsel, Pasanganku Seorang Katolik Sebuah Inspirasi bagi Pasangan Kawin Campur Katolik-NonKatolik (Maumere: LPBAJ, 2001), p. 125.
      27B. Raho, “Komunikasi (Sisi Lain Perjuangan dalam Keluarga)”, Loc. Cit.

Love Poem/Puisi Cinta


Ketika Aku Merindumu

Aku buatkan melodi rindu
Menitipnya kepadamu melalui angin musim tak tentu
Bergesek-gesek antara derit cemara bukit ini
Berderak-derak antara riak laut pantai kami

Aku sempatkan sepucuk surat kalbu
Melayang-layang di kelambanan sepoi hari sendu
Mengabarkan kepadamu bagaimana di sini
Aku yang merindumu setengah mati

Aku mendaraskan kidung syahdu
Di waktu mengirim bunga-bunga layu
Memberimu pasti
Tunggu aku dengan satu hati

Aku tahu bagaimana sulitnya menunggu
Tapi ketahuilah namamu warisan kalbu
Menyeru tentang janji
Hari-hari kita di suatu nanti

Q. C. Manila, October 2010.

Minggu, 10 Oktober 2010

Poems/Puisi

Kota Tua

Ringkik jengkrik mengalung malam di musim tak tentu. Mengangkat kuduk menebar takut melewati kelam tiada cahaya. Alunan histeris serak burug hantu meneriaki waktu. Sepoi angin menembus tembok meruntuh hangat mengukung kota tua di bulan yang tak terang.

Guguk anjing meronta di bawa gaung angin. Eak bayi merengek mimi di terbang senyap sayup. Merobek hitam tak tembus mata di hari yang layu.

Sobekan nurani tercecer di setapak-setapak makam. Kucing meloncat di antara nisan pejuang yang urak. Lampu rumah jaga berkelok mengudung tuan lelap menanti fajar.

Lengang nian jalan antara rumah bekas zaman lalu. Rontok tembok berlubang peluru di masa dahulu. Coretan masa menoda pagar di tikungan buntu. Menanda insan kota tua hampir punah.

Rubuh malam, pergi hitam, mentari menimpa antara dahan-dahan cemara. Menembus celah tebing harta idaman. Hidup tetap merayap setengah napas. Kota tua dikenang setengah orang.

Q. C. Manila October 2010


Cerita Tentang Musim tak Tentu

Hujan datang mengirim panas badai gerah melontar dingin. Hiruk orang berlari memayung. Panas bumi mengurak sungai. Kocak waktu dikacau angin. Sobek massa dihalau musim. Korban hidup mematung mati.
Sayup-sayup maut menebar hambus. Kolam-kolam memerah menutup teratap dataran. Sepi senyap sambutan malam. Kelam mendung rampas topan.
Ini dosa awal tahun di musim tak tentu milik iblis. Kita terlampau foya antara harta yang bukan milik, merampas rakus-merobek keji antara waktu yang lalu seolah pencipta.
Waktu...waktu...menuai mampus di teriak laut. Memohon tolong, langit meruntuh ejek. Akhir bahagia hanya keabadaian saat indah menutup mata di musim tak tentu

Q. C. Manila October 2010

Rabu, 06 Oktober 2010

MARIA DALAM GEREJA DEWASA INI (Menilik Peran Maria Sebagai Pengantara dalam Hubungan dengan Kristus Sebagai Satu-satunya Pengantara)



I. Pendahuluan
            Maria dalam Gereja dewasa ini tidak sekedar menjadi ikon atau lambang baik itu berupa patung atau lukisan tetapi justru menjadi sandaran bagi umat beriman dalam meletakkan harapan mereka. Melalui Bunda Maria orang yakin segala doa dapat dengan cepat dikabulkan. Namun dewasa ini timbul berbagai persoalan seputar Maria baik itu mengenai keperawanan maupun kepengantaraannya.
            Menilik soal kepengantaraan Maria (yang menjadi tema pembahasan tulisan ini) KV II dengan jelas memasukkannya dalam dekrit utama konsili. Dekrit tentang Maria terdapat dalam dekrit tentang Konstitusi Dogmatis Mengenai Gereja LG (21 November 1964) dalam bab tersendiri yakni bab 8. Penempatan ini penting karena banyak orang menghendaki dekrit terpisah mengenai Maria, namun pembahasannya tetap dalam konteks Gereja sebagai model panutan dan tipe dasarnya.1

II. Maria Dalam Gereja
2.1. Kepengantaraan Maria dalam Hubungan dengan Kristus Sebagai Pengantara
            KV II telah memahkotai konstitusi dogmatik tentang Gereja dengan satu bab yang bagus tentang Maria citra dan model Gereja. Gereja tak mungkin mencapai pengertian yang lengkap tentang persatuannya dangan Kristus dan pelayanan kepada Injil Kristus tanpa memiliki kasih dan pengetahuan yang mendalam tentang Maria Bunda Tuhan kita dan Bunda kita sendiri.2
Satu persoalan paling urgen masa ini adalah kontroversi seputar kepengantaraan Maria yang terbentur dengan kepengantaraan Kristus sebagai satu-satunya pengantara. Ada tiga hal yang sebenarnya menjadi latar belakang Yesus di sebut pengantara. Pertama, misteri inkarnasi yang menunjukkan persatuan sempurna Allah di satu pihak dan manusia di pihak lain. Yesus sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia. Kedua, korban-Nya di salib yang merupakan usaha untuk memulihkan hubungan Allah dan manusia yang terputus oleh dosa. Ketiga, aplikasi penebusan Yesus pada manusia, manusia mengambil sikap beriman pada misteri Kristus.3
            Atas dasar itu hanya perawan Maria sebagai satu-satunya ciptaan yang dapat mangambil bagian secara lengkap dalam ketiga hal tersebut. Hal ini nampak dalam gelar Mediatrix yang diberikan pada Maria. Gelar ini sebenarnya sudah dipakai St. Ephraem († 373) yang kemudian dipromosikan lagi oleh Kardinal Marcier tahun 1913.4 Namun yang terpenting dalam kepengantaraan Maria adalah Maria menjadi pengantara dalam dan oleh pengantaraan Yesus Kristus. Kepengantaraan Maria terjadi di dalam Kristus antara Allah dan manusia.
            Kepengantaraan Maria dapat dilihat melalui dua peristiwa, pertama, kabar sukacita. Maria mengungkapkan kesepakatannya atas nama seluruh umat manusia, dalam hal ini Maria berdiri antara Allah dan manusia. Kedua, Kalvari. Di sini Kristus mewakili seluruh keperluan manusia. Korban Kristus mencakup korban bundaNya sebab Maria termasuk dalam kepengantaranNya. Bagi Maria dengan melaksanakan perannya ia berdiri pada pihak dan mewakili manusia.5
            Selain itu peran Maria mendapat pengukuhannya dalam dokumen KV II yang juga melihat peran kepengataraannya dalam hubungan dengan kepengantaraan Kristus.
Adapun peran keibuan Maria terhadap kepada umat manusia sedikitpun tidak menyuramkan atau mengurangi pengantaraan Kristus yang tunggal itu, melainkan justru menunjukkan kekuatannya. Sebab segala pengaruh Santa Perawan yang menyelamatkan manusia tidak berasal dari keharusan obyektif, melaikan dari kebaikan Ilahi, pun dari kelimpahan Kristus.6
Penekanan itu mendapat perhatian juga dalam Katekismus Gereja Katolik,
Sebab sesudah diagkat ke surga, ia tidak meninggalkan peran yang membawa keselamatan itu, melainkan dengan aneka perantaraannya ia terus menerus memperolehkan bagi kita karunia-karunia yang menghantar kepada keselamtan kekal… Oleh karena itu di dalam Gereja Santa Perawan disapa dengan gelar: pengacara, pembantu, penolong, dan perantara.7


2.2. Kepengantaraan Maria Dalam Gereja Dewasa ini
Berkat rahmat Allah Maria telah diangkat di bawah Puteranya, di atas semua malaikat dan manusia, sebagai Bunda Allah yang tersuci…tepatlah bahwa ia dihormati oleh Gereja dengan kebaktian yang istimewa…Meskipun kebaktian itu, seperti selalu dijalankan dalam Gereja, memang bersifat istimewa, namun secara hakiki berbeda dengan bakti sembah sujud, yang dipersembahkan kepada Sabda yang menjelma seperti juga kepada Bapa dan Roh Kudus, lagi pula sangat mendukungnya.8

            Dalam berbagai perdebatan sering orang memunculkan persoalan tentang kepengantaraan Maria seperti pernyataan “Maria bukan perantara sebab Kitab Suci tidak menyatakannya”. Menjawabi persolan itu kita berpaling pada tradisi-tradisi, keputusan bapa-bapa Gereja dan hasil-hasil konsili ekumenis Gereja. Khusus KV II memberi kesegaran pemahaman baru bagi kita untuk mengerti kepengantaraan Maria sebab konsili menyediakan satu bab khusus tentang peran Maria dalam Gereja termasuk kepengantaraanya.
            Kepengantaraan Maria merupakan suatu tugas istimewa yang dianugerahkan kepadanya yang melebihi segala makhluk baik di surga maupun di bumi. Karena itu secara istimewa pula kita menghormatinya dalam Gereja. Hal ini dibicarakan secara teliti pada dokumen KV II dalam hubungannya dengan kepengantaraan Yesus Kristus. Meski Maria dihormati secara istimewa, penghomatan ini tetap berbeda dengan bakti sembah sujud kepada Yesus. Maria dipersatukan dengan Kristus di dunia dan di surga, rahmat Kristus, tubuh mistik dicurahkan atasnya dengan cara yang istimewa.
            Berdasarkan keadaan istimewa itu dalam mariologi tradisional mereka menggelar perbedaan antara penebusan obyektif dan penebusan subyektif. Obyektif berarti karya penyelamatan manusia dari dosa oleh Yesus sendiri, sedangkan subyektif berarti kepemilikan oleh orang Kristen sendiri secara pribadi sehingga dapat menerima keselamatan. Namun yang menjadi persoalan dewasa ini beberapa kalangan mariolog menganggap Maria mempunyai peran bersama Kristus dalam penyelamatan obyektif. Penekanannnya justru mengarah pada subordinasi Maria pada Kristus. Bahkan penegasan lain mengatakan bahwa peranan Maria selalu sekunder, relatif, subordinatif, dan hanya perlu secara situasional. Demikianpula dengan soal Maria Mediatrix yang sering mengandung implikasi bahwa Maria menentukan siapa bakal dirahmati dan rahmat macam apa yang akan diberikan. Rahmat yang ada pada Maria seolah-olah dilihat sebagai balas jasa Yesus karena telah melahirkan, mengasuh, dan mendampingiNya selama hidup. Akhirnya Marialah yang membagiratakan rahmat Allah pada tiap-tiap orang.9 
            Membedah masalah ini kita bisa berpegang pada peranan subyektif Maria. Maria menjadi cermin dan contoh bagi umat beriman dalam menggapai rahmat dan penebusan Kristus. Kepengantaraan Maria (Maria Mediatrix) mesti dilihat sebagai peran Maria yang mendoakan Gereja. Lebih dari itu keterlibatan Maria dalam membagikan rahmat merupakan suatu kepengantaraan aktual meski “penganugerahan” rahmat itu terjadi melalui kesatuannya dengan setiap orang beriman dalam kehidupan Yesus Kristus sendiri. Akhirnya peran Maria dalam tata rahmat terus berlangsung sepanjang waktu. Dalam kurun waktu itu umat Allah hidup sebagai musafir. Kebutuhan umat Allah akan keselamatan abadi diungkapakan bersama Maria kepada Bapa dengan pengantaraan Yesus Kristus Putranya dan saudara para beriman.10

3. Penutup
            Mempersoalkan Maria terkadang membedah suatu permasalahan yang tak akan pernah selesai. Persoalan yang paling urgen sudah tentu tentang keperawanan dan kepengantaraannya. Berkaitan dengan kepengantaraannya kita tak perlu merasa rendah dan kalah di hadapan orang-orang yang mempersoalkannya. Gereja Katolik memiliki dekrit tersendiri tentang Maria sejak jaman bapa-bapa Gereja awal hingga penyempurnaannya dalam KV II. Penting bagi kita atas dasar dekrit dan konsili-konsili itu adalah menempatkan kepengantaraan Maria sebagai penganugerahan rahmat yang berlangsung terus menerus melalui kesatuannya dengan umat beriman dalam kehidupan Kristus sendiri sebab Kristus adalah satu-satunya pengantara. Melalui kepengantaraan Maria kita berani berucap bersama Maria kepada Allah dengan perantaraan Yesus Kristus.

*Mahasiswa STFK Ledalero Semester VIII
Kampus Scalabrinian



       1Norman P. T., Konsili-konsili Gereja Sebuah Sejarah Singkat (Yogyakarta: Kanisius, 2007), p. 126.
       2Bernard Häring, Maria dalam Hidup Kita Sehari-hari (Ende: Nusa Indah, 1992), p. 9.
       3Eddy Kristianto, Maria dalam Gereja Pokok-pokok Ajaran KV II Tentang Maria dalam Gereja Kristus (Yogyakarta: Kanisius, 1987), p. 69.
       4Ibid., pp. 70-72.
       6Konsili Vatikan II, art. 60, p. 152.
       7Katekismus Gereja Katolik, art. 969, p. 251.
       8Ibid, art. 66, pp. 156-157.
       9Edd Kristiyanto, Op. Cit., pp. 75-77.

MIGRASI DAN TRAFFICKING DI INDONESIA: PROBLEM DAN UPAYA PENYELESAIANNYA (Sebuah Kajian Atas Berbagai Kasus Perdagangan Manusia-Perempuan dan Anak-anak di Indonesia Serta Langkah-langkah Antisipatifnya)



3.1. PENGANTAR
            Sejauh manakah persoalan trafficking terjadi di Indonesia? Penelitian ICMC seperti yang dinyatakan Kery Lasmi menyatakan bahwa isu trafficking di Indonesia baru terungkap pada awal tahun 2000. 
Trafficking discourse in Indonesia started growing in the early of 2000s primarily fuelled by the plight of the Indonesian women abused abroad – in domestic work and in prostitution.1 
            Persoalan human trafficking yang terjadi di Indonesia sebenarnya berada pada tempat ketiga (3) sebagai negara terendah dalam melakukan upaya penanggulangan trafficking perempuan dan anak-anak. Negara yang masuk dalam peringkat teratas adalah negara yang memiliki korban dalam jumlah besar. Akan tetapi di Indonesia pemerintah belum menentukan standar minimum para korban trafficking untuk menanggulanginya. Kasus human trafficking menjadikan kebanyakan perempuan (kebanyakan gadis) sebagai pelayan bar dan restoran, penari plus, pelacur, isteri musiman dan eksploitasi sebagai tenaga kerja murah atau kerja murah.2
3.2. PROBLEM MIGRASI DAN TRAFFICKING DI INDONESIA
3.2.1. Migrasi dan Trafficking Di Indonesia Dalam Kacamata Kelalaian
         Para TKI dan Politik Migrasi Pemerintah
Persoalan trafficking tak pernah lepas dari migrasi sebab pola migrasi terjadi dalam dua pola yakni legal dan illegal. Banyak dari antara warga negeri ini yang bekerja di luar negeri lebih memilih melalui jalur pekerja illegal daripada legal. Hal ini ditunjukkan oleh satu laporan berikut ini:
Some districts (Deli Serdang and Serdang Bedagai) in North Sumatra have developed into supply areas for migrant workers to Malaysia. The number of registered migrant workers going to Malaysia from or through North Sumatra increases every year. In 2004, the number stood at 11,955. In 2005, the number totaled 15, 845 – an increase of 3,890. These numbers exclude those who migrate without proper documents, underscoring the fact that the actual number may be considerably higher. For example, it is widely said that many women from the area migrate without being document.3

3.2.1.1. Persoalan-Persoalan Seputar TKI yang Menyebabkan Trafficking
3.2.1.1.1. TKI dan Proses Perekrutan
            Proses perekrutan untuk menggaet tenaga kerja menjadi hal yang penting untuk seorang perekrut. Manipulasi tempat kerja, biaya dan gaji berbaur dengan kenyataan dan fakta yang sebenarnya. Akan tetapi, ini tidak menjadi soal bagi perekrut maupun tenaga kerja. Segala sesuatu dianggap wajar dan normal bahkan untuk suatu penipuan dalam proses perekrutan.
Berangkat dari kenyataan sosial, dalam kehidupan sehari-hari seringkali manusia selalu menganggap wajar hal-hal yang ada di sekelilingnya dan seringkali pula dengan sengaja mengabaikan bukti-bukti yang dapat sampai pada kesimpulan bahwa hal-hal tersebut sebenarnya tidak seperti apa yang sepintas nampak. Hal ini mungkin merupakan sebab mengapa seorang penipu dapat mengelabui korbannya untuk menerima defenisi dari situasi yang salah. Bila peristiwa semacam ini dimuat dalam koran tentu akan timbul pertanyaan mengapa korban itu begitu mudah percaya, mengapa tidak meminta surat-surat bukti? Suatu penipuan menunjukkan bahwa definisi situasi dapat dimanipulasi sehingga satu hal dapat nampak berbeda dari apa yang sebenarnya. Terkadang sesuatu dimanipulasi sedemikian sehingga semua hal nampak sebagai sesuatu yang normal.4

3.2.1.1.1.1. Keluarga, Teman-teman (friends), Calo atau Tekong
Teman-teman (friends) merupakan informan terbesar bagi para TKI untuk mengetahui seluk beluk migrasi dibandingkan dengan para tekong dan sanak famili. Tetapi sanak famili dan para tekong bisa juga menjadi aktor penting di belakang usaha perekrutan ini. Para tekong berusaha melakukan pendekatan kepada teman-teman (friends) untuk menjelaskan proses migrasi termasuk pembiayaan dan dokumen-dokumen yang diwajibkan. Ketika para migran berusaha mencari para perekrut mereka tidak begitu memperhitungkan bagaimana mencari para perekrut legal. Dalam kenyatan mereka lebih memilih jalur illegal karena murah, mudah dan cepat, seperti yang dianjurkan oleh teman-teman (friends) atau sanak famili. Ini berarti mereka tidak memiliki secuil informasi apapun dari perekrut legal. Kenyataan tersebut ditunjukkan oleh laporan berikut ini.
Tekongs or taikongs are middlemen facilitating migration. In Malaysia taikongs more often refer to boatmen who smuggle the migrants across the straits. Calos and tekongs operate at different levels. Some are linked to large companies; those who are based in the cities are entrepreneurs who may have other business interest. Others are sub-agents who usually operate at the village level; they may be farmers or officials. In general, calos or tekongs are largely male and are usually former migrant workers. Not all calos or tekongs are unauthorized agents, but most probably are.5
            Sebagai contoh, di Bilitar Jawa Timur, orang yang memfasilitasi perekrutan ilegal juga disebut tekong. Mereka biasanya pernah menjadi migran hingga memiliki pengalaman dan pengetahuan tentang proses/cara untuk memperoleh pekerjaan di luar negeri. Para tekong biasanya memiliki teman dan kontrak yang dapat memperkenalkan seorang migran kepada calon majikannya di Malaysia. Mereka dibayar Rp. 1. 250,000 (US$ 139.11, pada tahun 2000) untuk pelayanan termasuk transportasi, makanan juga komisi untuk teman-temannya di Malaysia yang mencari pekerjaan untuk para migran. Para migran dapat membayar secara berangsur. Tugas perekrut hanya mengirimkan surat ke Malaysia jika merasa pasti bahwa di sana lapangan pekerjaan menanti para migran. Jika pengaturan rencana kerja para migran telah selesai mereka kembali ke daerah asal. 6
            Di daerah-daerah lain seperti di Nusa Tenggara Barat, terdapat ratusan calo (tekong) tenaga kerja yang beraktivitas secara ilegal. Akan tetapi bentuk percaloan tenaga kerja tersebut hampir dapat dikatakan dilegitimasi secara sosial oleh masyarakat setempat sehingga ruang geraknya begitu leluasa. Calo atau tekong menarik simpati terutama dari kelompok ekonomi masyarakat kelas bawah. Calo menciptakan ketergantungan-ketergantungan calon migran yang menyebabkan migran bersangkutan tidak dapat menghindar dan kemudian masuk di dalam “perangkap” jaringan mereka melalui beberapa cara, pertama, melalui pendekatan keluarga. Tekong melalui keluarga calon migran memberikan informasi kesempatan kerja di daerah tujuan yang telah dimanipulasi sedemikian rupa sehingga tampak sebagai satu wilayah yang sempurna, sebagai tempat menggantungkan hidup dan meningkatkan taraf hidup keluarga. Pendekatan ini memiliki harapan dari tekong yakni keluarga memberikan dorongan kepada calon migran agar mau diberangkatkan ke daerah tujuan (Malaysia). Kedua, melakukan pendekatan langsung kepada calon migran potensial. Tekong memberikan langsung informasi kepada calon migran berbagai hal menarik tentang pekerjaan di daerah tujuan terutama berkaitan dengan upah yang tinggi, biaya perjalanan yang relatif murah dibanding jalur resmi dan waktu perjalanan yang relatif singkat. Tekong terkadang memberikan pinjaman kepada migran dengan sistem ijon. Artinya migran meminjam kepada tekong dengan jaminan dirinya tanpa menyadari bahwa ia telah masuk dalam satu siklus yang sangat rumit. Dengan demikian, selama migran menjadi tenaga kerja illegal di negara tujuan dirinya adalah milik tekong sampai hutangnya dapat dilunasi. 7
Adapun keberhasilan tekong menggaet calon tenaga kerja (migran) sangat dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, kelompok yang dijadikan sasaran adalah kelompok migran yang tidak memiliki pekerjaan tetap atau kelompok yang memiliki pekerjaan tetap di sektor pertanian tetapi penghasilannya rendah. Kedua, sebagian besar calon migran yang dijadikan sasaran merupakan kelompok yang sudah memiliki status kawin, tetapi tidak memiliki penghasilan tetap atau tidak memiliki lahan garapan memadai atau bahkan tidak memiliki lahan sama sekali.


3.2.1.1.1.2. PJTKI dan Jalur Kepemerintahan
            Kebanyakan orang berpikir bahwa bekerja di luar negeri adalah hal yang sangat menguntungkan. Begitu banyak orang tergiur dengan berbagai tawaran untuk bekerja di luar negeri. Laki-laki maupun perempuan berlomba-lomba mengurus keperluan mereka untuk pergi ke luar negeri yang dianggap sebagai “tanah terjanji” bagi kehidupan mereka terutama dalam hal ekonomi. Sayangnya, mereka tak pernah berpikir bahwa ada begitu banyak hal yang menyakitkan tengah menanti mereka di “tanah terjanji”, kantong harapan mereka tersebut, terutama bila mereka pergi ke luar negeri secara illegal. Oleh karena itu pemerintah menganjurkan kepada para TKI untuk mengurus kelengkapan mereka secara tuntas melalui jalur yang legal seperti melalui PJTKI dan jalur kepemerintahan.
            Akan tetapi menjadi pertanyaan, apakah prosedur melalui PJTKI para TKI dijamin tanpa persoalan? Kasus pemberangkatan TKI memang beragam persoalannya, mulai dari calling visa yang belum turun atau belum tersedianya jenis pekerjaan yang cocok atau majikan tidak menyukainya. Selain itu adanya unsur kesengajaan memperdaya calon pekerja seperti penipuan dengan kedok PJTKI yang membawa keuntungan bagi pihak PJTKI karena hanya membayar denda Rp. 100.000,- atau kurungan selama-lamanya tiga (3) bulan bila melakukan kejahatan. Di lain pihak konspirasi politik antara PJTKI dan pemerintah sering terjadi. Misalnya tentang pungutan yang dikenakan kepada TKI yang tidak sesuai antara PJTKI yang satu dengan PJTKI lainnya hingga terkesan akan adanya pemerasan. Hal ini dipengaruhi oleh tiadanya standarisasi pembiayaan yang dikenakan kepada para TKI. Sampai saat inipun persoalan ini belum juga dibenahi. Baik pemerintah maupun PJTKI enggan untuk melakukan transparansi mengenai hal ini. Hal ini menjadi strategi untuk mengeruk uang TKI.8
            Politik kerja pemerintah dan PJTKI ini mengakibatkan suatu penderitaan baru bagi para TKI. TKI yang diberangkatkan terkadang, meskipun berada di bawah pengawasan PJTKI ataupun pemerintah, tidak memiliki dokumen. Sistem agensi ini berarti memberi peluang pada orang yang bermodal untuk melakukan perdagangan tenaga kerja, karena kemudian pihak PJTKI yang menentukan hubungan kerja para tenaga kerja.9 Akan tetapi bagi pihak PJTKI ini bukanlah satu persoalan hingga merasa tidak melakukan kesalahan sama sekali. Pemerintah sendiri pun selalu berjalan sendiri untuk menentukan kebijakan. Tidaklah mengherankan jika peraturan baru kemudian banyak menekankan berbagai pembinaan, seperti pelatihan bagi PJTKI yang diselenggarakan oleh DEPNAKER dengan konsultan yang ditetapkan DEPNAKER.
            Persoalan lain adalah menyangkut izin operasional yang semestinya diberikan oleh pemerintah melalui Dinas Sosial, Kependudukan, Catatan Sipil, Tenaga Kerja dan Transmigrasi (SKCT). Izin operasional ini sebenarnya diberikan dari DEPNAKERTRANS. Misalnya pemberian izin oleh SKCT Nagekeo bagi empat (4) PJTKI yang akan merekrut NAKER (tenaga kerja) di Kabupaten tersebut. Akan tetapi izinan ini diberikan jika PJTKI tersebut mengantongi izin operasional dari DEPANAKERTRANS Propinsi.10 Sistem birokrasi yang terstruktur ini mengakibatkan kelalaian bagi para PJTKI sendiri dengan mengabaikan izinan operasional tersebut. Di lain pihak meskipun PJTKI bekerjasama dengan pemerintah secara legal kasus kelalaian mengurus TKI dapat melibatkan pemerintah baik secara individual maupun organisasi.

3.2.1.1.2. Pekerja Ilegal
Persoalan TKI ilegal sebenarnya adalah persoalan semua masyarakat Indonesia karena para TKI adalah sesama warga negara Indonesia. Maka perhatian terhadap TKI ilegal bersifat terbuka untuk semua orang terutama pemerintah Indonesia.
Perhatian masyarakat atas TKI illegal di Malaysia, kini sudah menjadi masalah multidimensional yang melibatkan berbagai pihak. Kalau mau jujur, persoalan TKI illegal sebenarnya muncul sejak masa rekrutmen, cara masuk ke Malaysia, sampai ketika kembali ke tanah air.11
Persoalan TKI ilegal mengemuka dengan meletusnya peristiwa kekerasan oleh sekelompok TKI di Johor Bahru dan Nilai, Desember 2001 dan Januari 2002. Peristiwa ini memicu Pemerintah Malaysia mengeluarkan UU Keimigrasian Maret 2002. Namun sebelum memberlakukan UU ini, pemerintah Malaysia memberi tenggang waktu pengampunan hingga 31 Juli 2002 bagi TKI ilegal yang bersedia pulang ke negara asal atas kemauan sendiri, tanpa diambil tindakan hukum. Diperkirakan terdapat 75% atau 480.000 orang Indonesia dari 650.000 orang asing tanpa izin  yang tinggal di Malaysia. Sejak dikeluarkan UU itu seluruh perwakilan Indonesia di Malaysia bergerak mengunjungi semua lokasi di mana ada konsentrasi besar TKI tanpa izin dan kepada mereka diserukan agar bersiap untuk pulang sebelum UU itu diberlakukan. Mulai akhir Maret hingga akhir Juli 2002 lebih dari 200.000 TKI ilegal datang untuk meminta SPLP (Surat Perjalanan Laksana Paspor) dan bantuan pengurusan tiket serta transportasi. Sejak itu sekitar 75% dari jumlah total TKI ilegal (sekitar 330.000) telah kembali ke tanah air tanpa insiden berarti. Diperkirakan sekitar 170.000 orang tertinggal di Malaysia dan kembali pada saat terakhir.12
Kemudian pada 1 Maret 2005 pemerintah Malaysia secara resmi memulai langkah koersif dalam menegakkan Akta Imigresen 1154A Tahun 2002 untuk mengusir ratusan ribu buruh migran tak berdokumen yang masih ada di Malaysia. Langkah koersif ini diimplementasikan dalam Ops Tegas dengan tahapan operasi tegas (razia), penangkapan dan penahanan untuk mereka yang terbukti tidak memiliki kelengkapan dokumen. Menurut catatan Kedutaan Besar RI (KBRI) Kuala Lumpur, dari sekitar 1,1 juta buruh migran Indonesia tidak berdokumen, sekitar 385.000 yang telah pulang memanfaatkan masa amnesti. Artinya mereka yang kini menjadi warga buron dari RELA (ujung tombak Ops Tegas) berjumlah 750.000 orang. Kenyataan ini menunjukkan, masih banyak buruh migran Indonesia bersikap bertahan di Malaysia karena problem upah yang belum dibayarkan. Bahkan mereka berani “pasang badan” untuk ditangkap RELA dengan berdiam di kongsi-kongsi.13
Menurut Pemerintah Malaysia sendiri, kini (2005) sedikitnya 800.000 tenaga kerja ilegal masih tinggal di sana. Sekitar 450.000 orang diperkirakan dari Indonesia. Jumlah ini setelah dikurangi tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal yang pulang pada masa pengampunan (amnesti) 29 Oktober 2004–31 Januari 2005 dan Operasi Nasihat 1–28 Februari 2005. Pasca-amnesti dan Operasi Nasihat pekerja ilegal harus menghadapi Operasi Tegas yang diberlakukan mulai 1 Maret 2005. Untuk itu Malaysia menyiapkan 500.000 petugas yang siap memburu pekerja ilegal.14

3.2.2. Menilik Fenomena Trafficking Di Indonesia
3.2.2.1. Sebab-sebab Traficking
             Perdagangan perempuan dan anak di Indonesia umumnya bermula dari kegiatan migrasi. Perkembangan teknologi dan komunikasi telah menyebabkan arus migrasi besar-besaran dewasa ini. Beratus-ratus bahkan beribu-ribu orang desa beramai-ramai ke kota, ke negara tetangga bahkan menembus seluruh dataran Eropa dan Amerika. Mereka berduyun-duyun untuk mencari pekerjaan, studi atau juga sekedar untuk menikmati perjalanan. Akan tetapi peluang bermigrasi ini, baik yang terjadi di dalam negeri maupun di luar negeri dimanfaatkan dan dieksploitasi sedemikian rupa oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk berbagai kegiatan perdagangan manusia. Namun perlu dicatat perdagangan perempuan yang terjadi bukan karena kemauan sendiri dari korban tetapi melalui berbagai tindakan represif atas cara yang ilegal. Umumnya korban terekrut atas modus penipuan termasuk perkawinan selanjutnya dibawa ke negara lain dan kemudian dijual.
             Perdagangan perempuan ke luar negeri umumnya dilakukan melalui dua pola yakni pola dua langkah dan pola satu langkah. Pola pertama adalah dengan merekrut perempuan dari desa untuk selanjutnya dibawa ke kota untuk bekerja dan selanjutnya dijual ke luar negeri. Sementara pada pola kedua perempuan diambil dari desa dan kemudian langsung diperdagangkan ke luar negeri. Negara-negara yang menjadi tujuan di antaranya Timur Tengah seperti Arab saudi, Uni Emirat Arab, Kuwait dan negara-negara di Lautan Pasifik, seperti Jepang, Korea Selatan, Hong Kong, Taiwan, serta negara-negara tentangga seperti Malaysia, dan Singapura.15
             Berbagai kalangan cenderung melihat faktor kemiskinan dan pengangguran sebagai penyebab utama. Akan tetapi hemat penulis pengangguran yang terjadi, khususnya di Indonesia sering diakibatkan oleh kemiskinan dan tiadanya pemerataan pembangunan. Trafficking terjadi melalui berbagai cara terutama dalam modus penipuan. Perempuan-perempuan desa dengan pendidikan rendah dan tidak berpendidikan sama sekali menjadi calon pertama yang terjebak dalam trafficking. Oleh karena itu lemah dan kurangnya pendidikan para calon TKI dan kekerasan dalam masyarakat merupakan faktor yang mempengaruhi terjadinya trafficking.

3.2.2.1.1. Faktor Kemiskinan dan Pengangguran
Kemiskinan adalah kondisi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, yang tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Kemiskinan dan ketidakmerataan merupakan masalah serius yang dihadapi bangsa Indonesia dan merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, antara lain: tingkat pendapatan, kesehatan, pendidikan, akses terhadap barang dan jasa, lokasi, geografis, gender, dan kondisi lingkungan. Dalam hubungan ini, kemiskinan bukan sekadar ketidakmampuan ekonomi tetapi juga tidak terpenuhinya hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi orang atau sekelompok orang dalam menjalani kehidupan secara bermartabat.
Upaya penanggulangan kemiskinan merupakan salah satu prioritas pembangunan nasional Bangsa Indonesia sebagaimana termuat dalam (Draft) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2005-2009. Selama kurun waktu 5 tahun, jumlah penduduk miskin diharapkan dapat berkurang menjadi 8,2 % pada tahun 2009 serta terciptanya lapangan kerja yang mampu mengurangi pengangguran terbuka menjadi 5,1 % pada tahun 2009 dengan didukung oleh stabilitas ekonomi yang tetap terjaga.16
Indonesia menjadi negara yang cukup menderita di antara negara-negara lain ketika krisis ekonomi melanda dunia pada tahun 1998. Nilai Rupiah turun sampai 70% sejak dimulainya krisis dengan laju inflasi meningkat sampai 80%. Akibat krisis ini diperkirakan terdapat sekitar 20 juta penganggur dari jumlah seluruh jumlah tenaga kerja yang berjumlah 90 juta. Kemudian ditambahkan, 37% dari populasi (75 juta) telah berada di bawah garis kemiskinan dan jumlah ini bertambah menjadi 66% di tahun 1999. Kondisi ekonomi ini memperburuk catatan akhir kekuasaan Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun. Krisis ekonomi dan politik kemudian mengisi kegelisahan masyarakat Indonesia. Di sinilah kemudian etnik terkecil dengan ekonomi yang kuat yakni China (Tionghoa) menjadi target kejahatan dan kekerasan politik.17
Banyak pihak mengklaim bahwa motivasi emigrasi bahkan yang menyebabkan berbagai persoalan seperti trafficking adalah ekonomi. Bagaimanapun faktor ekonomi turut ditentukan oleh berbagai faktor lain dalam suatu negara. Faktor-faktor lain tersebut adalah keadaan religius dan adanya pelanggaran dalam bentuk penataan sistem politik dan lainnya.18 Hal ini dapat dibenarkan dengan membandingkan kenyataan ekonomi di Indonesia yang banyak dipengaruhi oleh situasi politik. Terkadang kemiskinan bukan semata diakibatkan oleh kemunduran ekonomi tetapi juga oleh permainan politik di tingkat pusat. Misalnya korupsi, politik uang, politik kepartaian dan politik lainnya yang mengakibatkan kemunduran sistem ekonomi hingga membawa kemiskinan bagi rakyat.
             Sebagai akibatnya, kemiskinan dan pengangguran yang terjadi di Indonesia memaksa banyak perempuan, termasuk yang masih anak-anak terjebak dalam berbagai bentuk mafia perdagangan manusia. Penelitian Solidaritas Perempuan menjelaskan bahwa 83% buruh migran mencari kerja karena alasan ekonomi, hanya 17% bukan karena alasan ekonomi. Sementara itu laporan GAATW (Alliance Against Trafficking in Women) tahun 1999 menunjukkan bahwa salah satu indikator perdagangan perempuan di Indonesia adalah maraknya perpindahan perempuan dari satu tempat ke tempat lain baik terjadi di dalam negeri maupun luar negeri yang bukan karena keinginan bebas perempuan melainkan karena terpaksa atau tekanan situasi berupa kemiskinan dan pengangguran sehingga timbul keinginan untuk memperbaiki nasib.19

3.2.2.1.2. Faktor Pendidikan
Pendidikan adalah salah satu pilar terpenting dalam meningkatkan kualitas hidup manusia, karena dia merupakan alat yang tak tergantikan, yang memungkinkan individu mendapatkan pengetahuan sebagai prakondisi untuk mampu mengatasi masalah, sebagaimana dibutuhkan bagi setiap orang dalam kehidupan dunia yang kompleks. Tugas “mencerdaskan kehidupan bangsa” adalah amanat UUD 1945 yang dipertegas dalam pasal 28B Ayat (1) dan Pasal 31 Ayat (1).20
Di lain pihak pendidikan merupakan hak setiap insan suatu bangsa dalam mengembangkan diri (aspek internal) dan membangun masyarakatnya (aspek eksternal). Karena itu proses pendidikan harus bersifat pedosentris yaitu anaklah menjadi pusat segala usaha atau pangkal haluan guru dalam mengajar dan mendidik. Maka implikasinya, materi pendidikan harus ditentukan oleh lembaga pendidikan berdasarkan kebutuhan anak didik. Pendidikan juga harus dibedakan dari arogansi kekuasaan, jabatan, lembaga, struktur, kepangkatan dan senioritas.21 Akan tetapi cukup lama pendidikan di Indonesia dilakukan secara sentralistis, semua diatur dari atas (dari pusat) mulai dari soal policy sampai dengan kurikulum, seragam bahkan sepatu. Dewasa ini mulai ditekankan pada desentralisasi dan otonomi di mana daerah atau kabupaten dan sekolah lokal menentukan policy tertentu dalam bidang pendidikan. Daerah lebih otonom misalnya punya wewenang untuk menentukan kurikulum muatan lokal, melaksanakan akreditasi evaluasi, penentuan guru, dan lainnya.22
Namun kebijakan mengenai otonomi daerah dalam hal pendidikan justru dapat menimbulkan persoalan. Ketakutan bila otonomi hanya pada kabupaten adalah jika di beberapa kabupaten tidak banyak ahli pendidikan yang dapat memberikan masukan dan pemikiran tentang mutu pendidikan dan tahu banyak tentang perencanaan, proses dan persoalan pendidikan yang lebih menyeluruh. Bila para pejabat itu tidak tahu secara menyeluruh persoalan pendidikan, padahal mempunyai kekuasaan untuk menentukan policy, dapat terjadi bahwa mereka dapat memaksakan idenya sendiri kepada pihak sekolah.
Kenyataan seperti di atas sebenarnya terjadi di Indonesia. Segala sesuatu mengenai pendidikan diatur oleh pejabat pusat. Peran guru diminimalisir bahkan ditiadakan sedemikian rupa dengan pelbagai aturan yang terangkum dalam UU Sisdiknas. Tidak mengherankan jika ketidaklulusan semakin besar yang mengakibatkan tingginya angka pengangguran di Indonesia.
Pengaruh birokrasi, politik dan manipulasi sistem kepemerintahan cukup mempengaruhi mutu dan kualitas pendidikan di Indonesia. Akan tetapi di lain pihak mahalnya biaya pendidikan juga merupakan salah satu sebab banyak orang-orang miskin lebih memilih untuk tidak mengenyam pendidikan. Didukung oleh kemiskinan, korupsi, sistem pemerintahan yang labil, dan keburukan sistem birokrasi, sebagian masyarakat Indonesia yang menjadi kelas bawah berusaha melakukan apapun untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Salah satu cara itu adalah dengan menjadi buruh migran di negara asing baik secara legal maupun ilegal. Umumnya banyak perempuan dan anak-anak menjadi korban manipulasi dalam perekrutan hingga kemudian terjebak sebagai korban perdagangan manusia. Mereka hanya bisa menurut sebab bagaimana mereka mengerti jika tak berbekal pendidikan dalam otak mereka agar mereka bisa membaca, menulis apalagi mengerti?

3.2.2.1.3. Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Stigmatisasi Masyarakat
Rumah tangga atau keluarga selalu dipandang sebagai tempat yang nyaman bagi seorang individu. Karena dalam keluarga seorang individu biasanya mendapat perlindungan dan cinta dari anggota keluarganya. Namun keluarga yang selalu dipandang  sebagai tempat berlindung  justeru terkadang rawan akan kekerasan. Keluarga  mampu membuat orang terluka, ketika terjadi penindasan, penyiksaan dan derita.23 UU N0.23 Tahun 2004 tentang penghapusan KDRT  pasal 1 ayat 1, mendefinisikan kekerasan dalam rumah tangga sebagai berikut:
Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.24
                 Pengertian UU di atas lebih memfokuskan kekerasan secara fisik sementara dalam kenyataannya ada bermacam-macam kekerasan yang terjadi dalam masyarakat khususnya keluarga. Kekerasan itu antara lain: 2525
Pertama, Kekerasan Fisik: Bentuk dari kekerasan fisik adalah memukul, menampar, menjambak, menendang, membunuh, dan lain sebagainya. Kekerasan ini  dapat mengakibatkan luka dan memar pada tubuh korban. Yang selalu menjadi korban kekerasan fisik dalam rumah tangga adalah kaum perempuan dan anak-anak. Hal ini disebabkan karena mereka dinilai terlalu lemah dan tidak mampu berbuat apa-apa.
Kedua, Kekerasan Seksual:   Kekerasan seksual selalu dipahami tindakan dari seorang atau sekelompok orang untuk berhubungan seks dengan wanita secara paksa. Dalam kehidupan keluarga seorang suami bisa saja memaksakan hubungan seksual kepada isteri, atau memaksakan selera seksualnya kepada isteri, bersetubuh dengan anak perempuannya sendiri atau bentuk lain adalah seorang saudara kandung memperkosa saudari kandungnya sendiri. Ini merupakan bentuk dari kekerasan seksual yang sering ditemukan dalam kehidupan keluarga. Dalam kekerasan seksual seorang korban sering kali mendapat ancaman dari para pelaku jika menolak permintaan mereka atau mencoba melaporkan aksi bejatnya  kepada orang lain.
Ketiga, Kekerasan Psikis: Kekerasan psikis nampak dalam bentuk ancaman-ancaman, mengisolasi isteri di rumah, mengawasi anak yang berlebihan. Semua ancaman atau pengawasan yang berlebihan dari otoritas tertentu dalam keluarga  mampu  merusak mental dari si korban. Dia akan menjadi pribadi yang takut, mudah marah, tidak mampu mandiri.
Keempat, Kekerasan Ekonomi: Bentuk dari kekerasan ekonomi adalah memakai uang isteri sampai habis, menggunakan uang isteri untuk berjudi, tidak memberi uang belanja kepada isteri, dan merampas harta warisan isteri.
            Perempuan dalam kenyataan selalu rentan terhadap kekerasan karena kodratnya yang lemah. Akan tetapi egoisme diri terkadang menyempitkan segala cara terutama untuk melakukan kejahatan seperti mengeksploitsi perempuan untuk diperdagangkan dengan memanipulasi dan menipu perempuan. Bagi perempuan yang sudah tidak tahan terhadap pelbagai kekerasan dalam keluarga maupun masyarakat, menjadi tenaga kerja terkadang dijadikan sebagai pilihan satu-satunya untuk menutupi modus pelariannya dari kekerasan yang dialaminya.
            Lebih jauh, perdagangan perempuan dan anak di Indonesia baik melalui penipuan, penculikan, maupun kekerasan lainnya selalu menempatkan posisi korban pada penderitaan ganda. Selain menjadi korban mereka juga mendapat hukuman di lingkungan sosial mereka, seperti diberi stigma, dikucilkan bahkan dipandang sebagai pelaku tindakan kriminal oleh masyarakat bahkan juga oleh negara. Kondisi yang demikian disebabkan adanya relasi gender yang timpang di masyarakat karena posisi perempuan masih subordinat dan belum menjadi mitra sejajar laki-laki. Ketimpangan gender berakar pada budaya patriarki yang begitu kuat mewarnai pola relasi laki-laki dan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan seperti politik, ekonomi, dan sosial. Fatalnya lagi bahwa budaya patriarki itu diperkuat oleh adanya interpretasi agama yang bias sehingga perilaku diskriminatif terhadap perempuan sering kali mendapat pembenaran dari ajaran agama.26

3.2.2.2. Pelaku (trafficker)
            Pelaku dapat digolongkan dalam:27
Pertama, perusahaan perekrut tenaga kerja dengan jaringan agen/calo-calonya di daerah adalah trafficker manakala mereka memfasilitasi pemalsuan KTP dan paspor serta secara ilegal menyekap calon pekerja migran di penampungan dan menempatkan mereka dalam pekerjaan yang berbeda atau secara paksa memasukkannya ke industri seks.
Kedua, agen atau calo yang bisa orang luar tetapi bisa juga seorang tetangga, teman, atau bahkan kepala desa, yang dianggap trafficker manakala dalam perekrutan mereka menggunakan kebohongan, penipuan, atau pemalsuan dokumen.
Ketiga, aparat pemerintah adalah trafficker manakala mereka terlibat dalam pemalsuan dokumen, membiarkan terjadinya pelanggaran dan memfasilitasi penyeberangan melintasi perbatasan secara ilegal.
Keempat, majikan adalah trafficker manakala mereka (dia) menempatkan pekerjanya dalam kondisi eksploitatif seperti tidak membayar gaji, menyekap pekerja, melakukan kekerasan fisik atau seksual, memaksa untuk terus bekerja, atau menjerat pekerja dalam lilitan utang.
Kelima, pemilik atau pengelola rumah bordil, berdasar Pasal 289, 296, dan 506 KUHP, dapat dianggap melanggar hukum terlebih jika mereka memaksa perempuan bekerja di luar kemauannya, menjeratnya dalam lilitan utang, menyekap dan membatasi kebebasannya bergerak, tidak membayar gajinya, atau merekrut dan mempekerjakan anak (di bawah 18 tahun).
Keenam, calo pernikahan adalah trafficker manakala pernikahan yang diaturnya telah mengakibatkan pihak isteri terjerumus dalam kondisi serupa perbudakan dan eksploitatif walaupun mungkin calo yang bersangkutan tidak menyadari sifat eksploitatif pernikahan yang akan dilangsungkan.
Ketujuh, orang tua dan sanak saudara adalah trafficker manakala mereka secara sadar menjual anak atau saudaranya baik langsung atau melalui calo kepada majikan di sektor industri seks atau lainnya. Atau jika mereka menerima pembayaran di muka untuk penghasilan yang akan diterima oleh anak mereka nantinya. Demikian pula jika orang tua menawarkan layanan dari anak mereka guna melunasi utangnya dan menjerat anaknya dalam libatan utang.
Kedelapan, suami adalah trafficker manakala ia menikahi perempuan tetapi kemudian mengirim isterinya ke tempat lain untuk mengeksploitirnya demi keuntungan ekonomi, menempatkannya dalam status budak, atau memaksanya melakukan prostitusi.

3.2.2.3. Tujuan Trafficking                                                                                              
3.2.2.3.1. Bekerja Domestik di Luar Negeri
Kisah para pekerja domestik Indonesia di luar negeri banyak diwarnai oleh penderitaan terutama di kalangan kaum perempuan. Banyak pekerja domestik perempuan asal Indonesia mencari kerja ke negara-negara Timur Tengah, Malaysia, Singapura, Hong Kong, dan juga banyak yang ke Taiwan. Salah satu contoh adalah berikut:
Lilis Juleha, dari Indonesia pergi ke Kuwait untuk bekerja sebagai pekerja domestik (pembantu rumah tangga/PRT) dengan gaji 40 KD/bulan (120 USD). Ketika ia tiba di Kuwait, semua dokumen kerja dirampas oleh majikan. Ia disekap dalam rumah, tidak diperkenankan keluar, serta dilarang mengirim surat kepada keluarganya. Ia bekerja hampir 20 jam setiap hari. Ia sering dipukul, ditendang, bahkan disiram air panas. Ia menderita luka yang cukup parah, hingga tak mampu bekerja. Majikannya memulangkannya ke Indonesia akhir Oktober 1999 dengan tubuh penuh luka dan menggunakan kursi roda karena tak dapat berjalan. Gajinya selama sembilan bulan tak dibayar. Ia menjalani perawatan selam 20 hari di RS sebelum pulang ke kampungnya di Majalengka, Jawa Barat. Telinga kanannya rusak (tuli) dan ia mengalami stres berat akibat penganiayaan tersebut.28
            Berdasarkan laporan pemerintah Malaysia, pada tahun 2004 terdapat 240.000 pekerja domestik wanita di Malaysia dan 90% dari mereka berasal dari Indonesia. Sedangkan A Human Rights Watch melaporkan adanya konspirasi antara perekrut dengan majikan dalam penempatan tenaga kerja perempuan. Mereka bahkan ditempatkan di tempat di mana mereka harus menerima berbagai tindakan represif, dibayar tidak sesuai standar pembayaran, dan perlakuan kasar lainnya. Setidaknya masalah yang banyak dialami para wanita yang kembali dari Malaysia adalah kehamilan dan kekerasan seksual di tempat mereka bekerja. Demikianpun dengan mereka yang bekerja di Timur Tengah terutama di negara-negara Arab. Isu yang tidak kalah beratnya adalah persoalan di bidang kerja. Para pekerja mesti bekerja dalam tuntutan jam kerja yang irasional dengan paksaan waktu sampai di atas 14–16 jam setiap hari. Mereka juga mengalami kekerasan lainnya baik verbal maupun non verbal.29
            Di pihak lain kasus yang mendera kebanyakan perempuaan pekerja domestik adalah hutang. Banyak perempuan jatuh ke dalam lilitan hutang karena mereka meminjam uang dengan tingkat bunga yang luar biasa tingginya dari agen perekrut dan dipaksa bekerja bagi majiikan mereka meskipun kondisinya tidak dapat ditolerir. Perempuan yang diperdagangkan sebagai pekerja domestik, juga dipaksa untuk bekerja di tempat usaha majikan mereka seperti restoran, atau pabrik. Bentuk-bentuk kekerasan yang berlangsung meliputi penahanan paspor, penyekapan, dan pelarangan komunikasi dengan pihak luar, penahanan gaji, jam kerja yang panjang dan penyerangan seksual.30
            Kondisi-kondisi di atas sebenarnya banyak terjadi di berbagai negara tujuan para migran. Meskipun kondisi ini selalu mewarnai kehidupan para pekerja tetap saja jumlah migran tiap tahun terus meningkat. Tuntutan hidup dan ketergiuran mereka oleh upah dan gaji di negeri tujuan terkadang menyeimbangi alasan lain yakni faktor ekonomi di daerah asal.


3.2.2.3.2. Prostitusi dan Bekerja Di Dunia Hiburan
            Banyak perempuan yang bermigrasi, mengetahui bahwa mereka akan bekerja di industri seks. Namun banyak di antara mereka yang tidak menyadari kondisi kerja tersebut dan kehilangan kontrol atas kerja dan pendapatan mereka. Perempuan lainnya mendapatkan diri mereka berada dalam industri seks di luar kemauan mereka melalui penipuan atau paksaan. Masalah yang mereka hadapi adalah lilitan hutang, penahanan dokumen perjalanan dan gaji, pemukulan, penyerangan seksual, penyekapan dan kekerasan psikologis. Ketika para pekerja seks berusaha mengajukan tuntutan kepada para pedagang perempuan, mereka mungkin menghadapi kenyataan bahwa mereka justru ditahan dengan tuduhan prostitusi. Beberapa petugas hukum terlibat di dalam perdagangan ini, dan bisa saja memberikan dokumen perjalanan dan perlindungan bagi agen dan pedagang perempuan.31 Salah satu contoh adalah kasus berikut ini:
Pung datang ke Jepang setelah menandatangani kontrak dengan pabrik pengalengan. Pertama-tama ia curiga terhadap tawaran yang diberikan, tetapi merasa lebih pasti dengan adanya kontrak formal. Ia dibawa ke sebuah snack bar di Yamanashi Perfecture, di mana seorang Taiwan menyatakan bahwa Pung berhutang kepadanya sebesar 3,8 juta Yen (USD 38,000) dan satu-satunya cara untuk membayar kembali adalah dengan bekerja sebagai pelacur. Pung didenda 15.000 Yen bila bekerja tanpa make up, 1.500 Yen untuk setiap gelas yang pecah, dan 10.000 Yen untuk setiap menit keterlambatannya kembali dari melayani pelanggan. Semua ini ditambahkan pada beban hutangnya.32
            Pola trafficking untuk prostitusi di luar negeri yang banyak menimpa banyak perempuan dari Tanah Air haruslah dipandang dalam konteks penipuan dan kecurangan para perekrut pada waktu perekrutan. Para perekrut dapat saja melampirkan tempat, keadaan kerja, tempat tinggal, gaji dan lainnya hanya untuk menarik minat para migran meskipun kemudian para migran di tempatkan di tempat berbeda dengan majikan yang berbeda bahkan kemudian menjadi korban trafficking. Pola trafficking dalam kasus seperti ini biasanya mengakibatkan para migran perempuan dijebak dalam manipulasi hutang hingga menghantar mereka ke tempat prostitusi.
            Dua negara yang sering menjadi negara tujuan trafficking untuk exploitasi sex komersial dari para perempuan Indonesia adalah Malaysia dan Jepang meskipun ada beberapa laporan yang menampilkan beberapa persen dari korban sex trafficking juga banyak di Singapura. Akan tetapi perlu dibedakan antara cara perekrutan untuk sex traffiking ke Malaysia dan singapura dengan perekrutan untuk ke Jepang. Perekrutan para perempuan dengan negara tujuan Malaysia dan Singapura diimbangi dengan janji untuk dipekerjakan sebagai pekerja di tempat karaoke, bar, restaurant sebagai penyanyi, pelayan, bahkan juga sebagai pekerja domestik. Sedangkan perekrutan untuk negara tujuan Jepang diiming-imingi dengan janji untuk menjadi duta penari tradisional. Akan tetapi dalam kenyataannya mereka menjadi pelayan sexual di negara tujuan itu.33

3.2.2.3.3. Menikah dengan Orang Asing
            Kurang lebih sepuluh tahun lalu terdapat kesaksian yang berkaitan dengan meningkatnya perkawinan lintas batas antara penduduk Asia Selatan dengan Asia Timur. Perkawinan ini menampilkan dua karakteristik. Pertama, faktor gender dan ketidakseimbangan geografik. Faktor ini umumnya terjadi di kalangan laki-laki dari negara-negara kaya dan perempuan dari negara-negara yang mengalami kemunduran dalam perkembangan ekonomi. Kedua, mayoritas para pengantin dalam pernikahan model ini diperkenalkan dengan intensi utama dari perkawinan mereka dan bagaimanapun termasuk dengan masa untuk bermesraan. Di lingkungan masyarakat dan dalam berbagai diskusi pernikahan model ini hanya menempatkan perempuan sebagai komoditi. Demikianpun yang terjadi di kalangan perempuan Indonesia yang menikah dengan pria dari negara asing. Awal tahun 1993 terhitung 34,000 perempuan berumur 14-18 tahun dikirim ke Hong Kong. Sebelumnya pada tahun 1990 banyak perempuan dan gadis dari Kalimantan Barat dikirim ke Taiwan untuk dijadikan sebagai istri orang Taiwan.34 Kenyataan tersebut diperkuat oleh sinyalemen berikut ini:
Penculikan dan penjualan perempuan sebagai istri di beberapa daerah pedesaan meningkat dalam skala yang besar. Banyak perempuan dipukul dan diperkosa ketika mereka berada dalam tangan penjual budak. Setelah mereka dijual mereka banyak menderita kekejaman dan tindakan yang tidak manusiawi dari pria yang membeli mereka sebagai istri, dan tindakan kekerasan yang sangat kejam untuk mencegah mereka tidak melarikan diri atau mencegah mereka untuk melakukan hal itu. Praktek istri pesanan sendiri tidak dianggap sebagai perdagangan perempuan meskipun operasi ini telah memberikan banyak peluang kepada para pedagang untuk mengeksploitasi perempuan yang ingin memperbaiki hidup melalui perkawinan. Kerentanan perempuan sebagai istri pesanan meningkat karena status hukum mereka sebagai imigran dengan ijin tinggal sementara yang tergantung pada kelanjutan hubungannya dengan pasangannya. Dalam keadaan demikian sang istri tidak berada dalam posisi untuk memperoleh bantuan dari petugas atau meninggalkan suami mereka yang kejam karena takut dideportasi.35
Dalam kasus seperti ini biasanya para perempuan dari lingkungan hidup yang tidak mendukung (kemiskinan, broken home, dll) akan mudah terpengaruh oleh janji dan iming-iming para perekrut. Berkaitan dengan perekrutan para perempuan untuk perkawinan di luar negeri ada juga pedagang perempuan yang menempatkan diri sebagai perantara perkawinan, dan menjanjikan para perempuan untuk diperkenalkan kepada calon suami yang sukses. Beberapa orang asing datang ke desa untuk bertemu dengan para perempuan, menikahi mereka dan menjanjikan mereka untuk pergi ke luar negeri. Perempuan-perempuan ini pergi untuk tinggal di negeri yang baru, tanpa banyak mengetahui tentang budaya dan bahasa, dan menjadi budak dalam arti yang sesungguhnya. Suami mereka mungkin telah menikah atau juga sebagai mucikari. Perempuan-perempuan ini kemudian dipaksa untuk menjaja seks, buruh tanpa bayar, atau berakhir dalam perkawinan palsu. Beberapa suami berlaku semena-mena. Di banyak negara status tinggal perempuan tergantung pada perkawinan sebagaimana halnya dengan haknya atas warisan dan harta benda.

3.2.2.3.4. Bekerja Di Bidang Bangunan dan Perkebunan
            Kebanyakan orang-orang dari desa-desa berkeinginan untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Ketika tawaran untuk bekerja ke luar negeri sampai ke telinga mereka biasanya sangat sedikit yang berusaha menolaknya. Pria, wanita maupun remaja yang kebetulan hanya menganggur di kampung atau juga memiliki pekerjaan tetapi dengan penghasilan rendah dan tidak tetap menjadi orang pertama yang kemudian terjerat dalam arus migrasi. Pernyataan dan persyaratan dari para perekrut bukan menjadi tuntutan dan informasi yang mesti dicerna tetapi fakta yang seharusnya diakui dan diterima. Mereka hanya berpikir bahwa dengan bekerja di luar negeri mereka mendapat upah yang tinggi, memperolah pekerjaan yang baik dan lainnya meskipun dalam kenyataanya tidaklah demikian.
            Berdasarkan data dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, setidaknya terdapat 244,624 migran yang ditempatkan di luar negeri pada tahun 2004. Sembilan persen atau sekitar 47, 333 pekerja dari jumlah tersebut adalah laki-laki. Terdapat tiga negara besar yang menerima para pekerja ini yakni Malaysia (22, 669), Saudi Arabia (11, 248), dan Yordania (9, 708). Di Saudi Arabia dan Yordania mayoritas pekerja laki-laki bekerja di sektor pembangunan dengan profesi sebagai buruh bangunan. Hal berbeda terjadi di Malaysia di mana pekerja dari Indonesia bekerja di sektor perkebunan dan sebagai pejaja keliling. Akan tetapi perlu dilihat secara jeli bahwa di Malaysia jumlah pekerja ilegal melampui pekerja legal. Mereka yang tidak berdokumen ini banyak yang bekerja sebagai buruh perkebunan. Akibatnya mereka tidak mendapat perlindungan dan status hukum yang jelas dari pemerintah. Umumnya mereka menjalani pekerjaan tersebut karena penipuan dari perekrut maupun kontraktor hingga mereka kemudian menjadi korban trafficking. Mereka dijual untuk dipekerjakan sebagai buruh di perkebunan-perkebunan dengan sistem asrama dan gaji yang tidak menentu. Pola kerja seperti ini tidak mendapat pembedaan antara pekerja pria maupun wanita.36

3.2.2.3.5. Bekerja Domestik di Indonesia
Arus migrasi dengan berbagai masalah dan persoalan yang ditimbulkannya tidak saja bergerak dari negara asal (penyuplai tenaga kerja) ke negara tujuan (penerima tenaga kerja) tetapi dapat juga terjadi di negara asal maupun tujuan itu sendiri. Di Indonesia misalnya ada begitu banyak orang berurbanisasi dari desa ke kota. Proses ini kemudian turut mempengaruhi berbagai perubahan sosial  dalam  masyarakat. Pada tahun-tahun sebelumnya para sosiolog Amerika cenderung didominasi oleh pandangan bahwa perubahan sosial sedikit banyak merupakan akibat dari perubahan-perubahan normatif. Menurut pandangan ini penyimpangan dalam bentuk penolakan terhadap norma-norma yang ada dan pembentukan norma-norma yang baru adalah kekuatan pendorong utama dari perubahan sosial.37      
Tidak menyangkal konsep ini, di pihak lain seiring dengan perkembangan teknologi dan komunikasi yang kian mengglobal dewasa ini, perubahan sosial dapat dipengaruhi oleh berbagai hal. Oleh karena itu arus migrasi dan urbanisasi yang terjadi dewasa ini dapat dikatakan turut mempengaruhi  laju perubahan sosial. Dalam kacamata yang lebih luas, perubahan sosial sebenarnya dipengaruhi oleh berbagai hal dalam konteks dan dan situasi tertentu di mana masyarakat dipengaruhi oleh berbagai pola pikir, tingkah laku dan lainnya. Dalam konteks ini faktor ekonomi, politik, religius dan lainnya turut menyebabkan migrasi yang kemudian mengakibatkan perubahan sosial.
Di Indonesia berdasarkan perhitungan dari UI (Universitas Indonesia) dan ILO-IPEC (International Program on the Elimination of Child Labor) terdapat 2, 6 juta pekerja domestik (PRT) meskipun ada berbagai perhitungan lain yang sangat bervariasi terutama dengan Badan Pusat Statistik. Berdasarkan jumlah ini hampir 35% dari 2,6 juta pekerja domestik berusia di bawah 18 tahun dengan 93% darinya adalah perempuan. Umumnya mereka bergerak dari daerah-daerah yang kurang meguntungkan baik dari segi ekonomi maupun pemerataan pembangunan ke kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Yogyakarta, Samarinda, Pontianak, dan Makasar. Misalnya Surabaya banyak didatangi pekerja domestik dari Jawa Timur dan Jawa Tengah, Jakarta dari Jawa Tengah dan Jawa Barat serta Lampung, Medan dari Sumatra Utara, Aceh dari Sumatra Barat dan Sumatra Utara. Beberapa penelitian yang dibuat menemukan perdagangan tenaga kerja untuk menjadi pekerja domestik jutsru dapat dan sering terjadi. Korban umumnya sering terjerat utang dan penipuan hingga kemudian dipekerjakan secara paksa seperti budak.38
Isu berkembangnya perdagangan orang sebagai pekerja domestik dalam negeri saat ini hendaknya perlu diwaspadai. Hal ini mungkin disebabkan oleh lemahnya hukum di negara Indonesia khususnya tentang penindaktegasan para pelaku trafficking. Selain itu masalah pendidikan, keterampilan dan lainnya yang dibutuhkan para TKI masih rendah. Jika yang terpikirkan hanya uang dan bagaimana bekerja di tempat yang baik maka bukan mustahil menjadi perantau adalah hal yang mudah meski seribu kesulitan sedang menanti mereka. Di sinilah kemudian mereka mudah ditipu dan dimanipulasi. Misalnya kasus terlibatnya Staf Depag TTU dalam kasus penjualan tenaga kerja ke Sumatra (Tapanuli Utara) untuk dijadikan sebagai Pembantu Rumah Tangga (PRT). Mereka dibohongi akan dipekerjakan di tempat yang baik, bagi yang berijasah SMA bisa bekerja sambil kuliah. Dalam kenyataanya mereka justru dipekerjakan secara paksa seperti budak di perkebunan Kelapa Sawit.39

3.2.2.3.6. Perdagangan Narkotika
            Pola perdagangan perempuan dalam mata rantai bisnis narkotika banyak dikendalikan oleh berbagai pihak. Pihak-pihak tersebut dapat berupa para calo, mucikari, majikan, sampai dengan suami dan kekasih. Umumnya para perempuan selalu terjebak dalam berbagai tindakan kekerasan yang jelas-jelas merupakan pelanggaran hak asasinya. Seiring kemajuan teknologi dan komunikasi serta tingginya mobilitas manusia antardaerah dan antarnegara dewasa ini mengakibatkan berbagai peristiwa mengerikan dan cukup fatal bagi perempuan. Mereka bisa dihukum mati karena berbakti kepada suami atau pacar. Mereka dapat dijadikan pemakai maupun pelaku atas dasar paksaan dari suami ataupun kekasih mereka.
            Bisnis perdagangan perempuan ini sendiri sebenarnya memiliki ketegorisasi tersendiri yakni:40
Pertama, diawali dengan rekrutmen perempuan dengan menggunakan penipuan dalam berbagai bentuk (pacaran, perkawinan, hidup bersama, dan hubungan personal lain antara wanita dengan pengedar narkotika yang sesungguhnya yang biasanya adala laki-laki asing). Umumnya pelaku (laki-laki) selalu berkebangsaan asing keturunan Afrika, dan perempuan yang melakukan itu adalah mereka yang tertekan secara ekonomi, psikologis, dan tidak mengetahui tentang apa yang dilakukannya.
Kedua, ada orang yang mendapat keuntungan dari bisnis ini. Merekalah para pelaku sesungguhnya, sedangkan perempuan hanya sekadar mendapat upah (dijanjikan) yang tidak seberapa dibandingkan dengan risiko menghadapi hukuman mati.
Ketiga, adanya unsur migrasi (dalam maupun luar negeri). Ada upaya untuk memigrasikan perempuan dari satu tempat ke tempat yang lain, bahkan melintasi batas negara. Semua terpidana mati kasus narkoba tertangkap di bandara, dan adanya perempuan berkewarganegaraan asing yang tertangkap di Indonesia.
Keempat, adanya unsur kekerasan. Kisah hidup perempuan-perempuan yang terjebak dalam kasus ini umumnya yang mengalami ancaman, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan, kekerasan dalam rumah tangga bagi mereka yang dikawini oleh para pelaku. Termasuk adanya penyekapan dan pemasungan kebebasan yang dialami korban.

3.2.2.3.7. Penjualan Bayi
            Penjualan bayi terkadang dibicarakan dalam pengertian sebagai cara untuk mengelak berbagai persyaratan dalam mengadopsi anak secaca legal yang meliputi pemaksaan atau membujuk dalam proses pemindahan anak-anak, atau situasi di mana penipuan atau kompensasi tak semestinya digunakan untuk membujuk pelepasan dan pemindahan anak-anak. Penjualan bayi tidak dapat dibenarkan dalam konteks adopsi anak dan digolongkan dalam trafficking. Penjualan bayi atau pemindahan bayi dari ibunya untuk diadopsi dewasa ini telah menjadi isu penting dalam persoalan yang berkaitan dengan trafficking. Para pembela hak asasi anak dan pro-adopsi percaya bahwa anak memiliki hak asasi dan kesempatan yang menjamin masa depan mereka. Oleh sebab itu, apapun bentuk penjualan bayi dengan kedok adopsi mesti ditentang karena termasuk dalam kegiatan trafficking.
            Isu penjualan bayi mulai dibicarakan di Indonesia sejak 1998. Pada 12 November 2002 The Jakarta Post menampilkan berita yang berjudul “Putusnya Jaringan Perdagangan Bayi”, yang melaporkan bahwa kepolisian Tanjung Pinang berhasil membongkar sindikat penjualan bayi yang diperoleh dari Batu 15, Pulau Bintan pada tahun 1998. Jaringan penjualan bayi juga ditemukan di Kalimantan Barat-Indonesia, dan Serawak-Malaysia. Batam menjadi tempat transit bayi-bayi yang yang berasal dari berbagai tempat di Indonesia dan akan dijual kepada pasangan dari Singapura dan Malaysia. Pada tahun 2005 sekurang-kurangnya diidentifikasi sekitar 34 kasus perdagangan bayi di Indonesia. Laporan dari berbagai Propinsi seperti Sumatera Utara, Kalimantan Barat, dan Kepulauan Riau menunjukkan kasus penjualan bayi menjadi isu terbesar saat ini.41
            Penjualan bayi sebenarnya telah lama terjadi di Indonesia namun banyak pihak belum begitu menyadarinya. Meskipun dengan modus pengadopsian anak, seharusnya masyarakat perlu jeli mengidentifikasi serta waspada terhadap berbagai tawaran pengadopsian anak. Isu pengadopsian anak telah berkembang menjadi isu trafficking karena adanya berbagai laporan yang menyatakan adanya sindikat penjualan bayi. Ditangkapnya sindikat penjualan bayi oleh kepolisian Tanjung Pinang menjadi nyata bahwa jaringan penjualan bayi dengan kedok pengadopsian anak benar-benar nyata dan masyarakat mesti waspada atasnya.

3.2.2.3.8. Membentuk Jaringan Pengemis Anak.
            Sejumlah taksiran dari berbagai propinsi menyatakan bahwa sejumlah anak-anak miskin direkrut oleh sekelompok orang dan dibawa ke tempat lain untuk mengemis demi kebutuhan orang lain yang membangun profit dari pendapatan anak-anak. Dalam beberapa kasus, anak-anak ini dipindahkan dan dipekerjakan dalam provinsi bersangkutan (seperti di Bali) atau juga ke provinsi yang lain seperti dari Sulawesi Selatan ke Kalimantan Timur, dan Kepulauan Riau. Dua LSM  yang beroperasi di Tanjung Pinang di Kepulauan Riau, dan Bontang di Kalimantan Timur melaporkan bahwa rata-rata usia anak-anak yang dijual untuk mengemis ini berkisar antara 10-15 dan diorganisasikan oleh rumah yatim piatu di Gowa-Sulawesi Utara. Orang tua mereka diberikan beberapa lembar uang oleh pengorganizir agar mengijinkan anak mereka meninggalkan rumah. Anak-anak ini bekerja sejak pagi hingga petang, mengumpulkan sedekah. Umumnya hasil dari kerja anak-anak ini digunakan untuk kebutuhan dari sekelompok orang atau orang tertentu di mana mereka dipekerjakan. Di Bali misalnya anak-anak dari daerah sekitar Karang Asem dan Buleleng dibawa ke Denpasar untuk mengemis. Pendapatan dari usaha dan keringat mengemis anak-anak ini dikumpulkan untuk orang yang mengorganisasikan mereka.42

3.2.2.3.9. Perkawinan Kontrak
            LSM-LSM dari Banten melaporkan perkawinan kontrak dalam praktiknya lebih menjurus ke bentuk trafficking. Menurut mereka, terdapat sejumlah pekerja asing di pabrik-pabrik yang tinggal di sekitar Kragilan yang mengambil perempuan setempat sebagai istri untuk beberapa waktu selama mereka masih tinggal di Indonesia (kurang lebih tiga tahun). Di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat ditemukan kasus yang sama dan juga di daerah puncak Jawa Barat. 43
            Fenomena perkawinan kontrak umumnya menyangkut juga pola tempat tinggal di mana pria asing menikahi beberapa wanita dan gadis-gadis. Biasanya exploitasi sexual dan pekerjaan reproduktif menjadi hal yang biasa dalam perkawinan seperti ini. Perempuan-perempuan dan gadis-gadis tersebut dijadikan “istri kontrak” yang diharapkan dapat menyedikan layanan seksual kepada laki-laki yang kemudian meninggalkan mereka setelah jangka waktu tertentu di samping melakukan tugas rumah lainya (memasak, membersihkan rumah dan lainnya). Ketika beberapa LSM di Banten menanyakan status bayi sebagai hasil dari pernikahan mereka para wanita dan gadis-gadis menyatakan bahwa umumnya para pria yang menikahi mereka hanya menikahi mereka tanpa berkeinginan untuk memiliki anak.

3.2.2.4. Jalur Trafficking
3.2.2.4.1. Jalur Nasional
            Fatimana Agustinianto dan Sally I. Kalola dalam When They Were Sold, memberikan laporan tentang perdagangan perempuan dan anak di Indonesia sebagai berikut:
Wu Ping (26) dan Shen Hong Xia (25), 2 perempuan asal Cina mengadukan Yang Fang alias Yang Xiao Hui (34) ke Sentra Kepolisian Khusus Perempuan atas kasus penipuan yang terjadi pada diri mereka. Keduanya dijanjikan untuk dipekerjakan sebagai pelayan di sebuah tempat karaoke di Jakarta dengan gaji USS 55 per malam. Setibanya di Jakarta mereka justru dijadikan sebagi pelayan seksual dengan pendapatan jauh di bawah standar seperti yang dijanjikan. Keduanya merasa tertekan dan akhirnya memutuskan untuk kabur.44
            Di dunia internasional, Indonesia dikenal sebagai daerah sumber perdagangan orang. Selain menjadi negara sumber, baru-baru ini muncul indikasi bahwa Indonesia mungkin juga menjadi negara penerima dan atau transit untuk perdagangan orang lintas Internasional. The Jakarta Post pada 13 Desember 2002 melaporkan bahwa 150 pekerja seks asing beroperasi di luar hotel-hotel di Batam, Propinsi Riau. Para perempuan itu kabarnya berasal dari Thailand, Taiwan, Cina, Hong Kong dan beberapa negara Eropa termasuk Norwegia. Media Indonesia pada 11 Maret 2004 kembali melaporkan ditangkapnya warga negara Republik Rakyat China yang diduga sebagai otak penyelundupan dan perdagangan manusia. Dia menyelundupkan ratusan orang China ke Indonesia dengan iming-iming gaji besar namun ternyata hanya dijadikan pedagang barang-barang buatan China.45
            Laporan dari propinsi-propinsi di Indonesia menyatakan indikasi perdagangan orang khususnya perempuan terdapat hampir di setiap propinsi. Perempuan-perempuan yang diperdagangkan umumnya dilakukan demi kebutuhan prostitusi. Penelitian dan data yang diajukan ICMC memperlihatkan jumlah perempuan yang terjerat prostitusi pada tahun 2004. Jawa Timur menempati urutan pertama dengan total jumlah 10,733 perempuan dan diikuti oleh DKI Jakarta (9,515), Jawa Tengah (9,018), Jawa Barat dan Banten (7,293), Riau dan Kepulauan Riau (6,874), dan daerah yang terendah adalah Nangro Aceh Darusalam (193). Sedangkan Nusa Tenggara Timur (NTT) pada tahun 2004 menyuplai perempuan untuk prostitusi sebesar 567 orang.46
            Akan tetapi di Indonesia sendiri tidak terdapat laporan yang resmi dan pasti tentang jumlah korban trafficking untuk prostitusi. Hal ini disebabkan oleh adanya begitu banyak jaringan yang beroperasi secara gelap dengan sistem mata rantai yang sulit diendus. Berdasarkan catatan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (MABES POLRI),  setidaknya 600 pekerja seks asing ditangkap dalam razia yang diadakan selama lima tahun terakhir. Meski demikian tak semua mereka yang ditangkap tergolong dalam korban trafficking sebab ada di antara mereka yang dengan kemauan mereka sendiri mau menjadi pelayan seksual dan datang ke Indonesia. Beberapa perempuan asing yang terjebak dalam prostitusi akibat trafficking rata-rata berusia 18 tahun ke bawah. Mereka kemudian ditempatkan di tempat-tempat hiburan malam atau pusat kebugaran di kota-kota besar di seluruh Indonesia. 47
            Di pihak lain perdagangan perempuan di Indonesia dapat terjadi dari satu daerah ke daerah lain, dari satu kabupaten atau propinsi yang satu ke kabupaten atau propinsi yang lain. Utang keluarga atau juga penipuan dapat dijadikan sebagai instrumen yang digunakan untuk memaksa gadis-gadis muda ke dalam perbudakan. Terkadang para trafficker tidak mempedulikan jarak dalam proses perdagangan perempuan. Misalnya, para gadis dari Indramayu dijual ke Jakarta dan gadis-gadis dari Jawa Timur dijual ke Semarang dan Surabaya. Atas cara yang sama para perempuan dari Lampung dan beberapa daerah di Jawa Barat dibawa ke Cilegon dan Banten. Beberapa rute yang digunakan misalnya perempuan Jawa Timur yang dijual ke Kalimantan Timur selalu melalui jalur Surabaya dan Balikpapan ataupun sebaliknya dari Kalimantan Timur ke Surabaya.48

3.2.2.4.2. Jalur Internasional
            Perdagangan manusia dewasa ini telah menembus batas dan budaya internasional. Meski demikian Indonesia setidaknya menjadi daerah penyuplai bahkan tujuan trafficking di dunia internasioanal. Proses migrasi yang terkadang sangat kompleks dengan berbagai persoalan legal dan ilegalnya para pekerja turut mempengaruhi persentasi jumlah korban perdagangan orang. Malaysia misalnya menjadi jalur internasional yang cukup besar di Asia Tenggara. Akan tetapi pencegahan trafficking dengan negara tujuan Malaysia menjadi sangat sulit karena adanya sejumlah besar jalur yang legal mapun ilegal.
            Perdagangan manusia ke Malaysia biasanya melalui dua koridor utama yang sering disebut koridor barat dan koridor timur.49 Koridor barat meliputi dua titik sebagai jalur keberangkatan yakni Batam dan Entikong. Seseorang mesti melewati Entikong bila hendak pergi ke Serawak dan kemudian menggunakan jalur udara dari Kuching ke Kuala Lumpur. Para trafficker dari kebanyakan daerah di Sumatra dan sebagian Jawa Barat selalu mengunakan jalur ini. Untuk menjangkau Batam biasanya para perempuan pertama-tama dibawa ke Kualatungkal di Jambi melalui jalur darat dari sebagian besar wilayah Sumatra, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Dari Kualatungkal mereka pergi ke Batam menggunakan kapal. Jalur terpopuler lain sebagai rute menuju Batam dari bagian tengah dan timur Jawa dan Nusa Tenggara adalah dengan menggunakan kapal laut langsung dari Surabaya dan Kupang berturut-turut. Sedangkan jalur yang kurang terkenal dan sangat relatif digunakan untuk menuju Entikong adalah melalui Jakarta dan Pontianak. Sedangkan korridor terpendek ke Dumai dan tanjung Balai Asahan biasanya digunakan oleh para trafficker dari Sumatra dan orang-orang dari Jawa bagian barat dan timur.
            Stasiun keberangkatan ke Malaysia (dan Brunei) disediakan di koridor timur yakni Nunukan. Koridor timur berkoneksi dengan daerah di Sulawesi ke Nunukan melalui pelabuhan Pare Pare Sulawesi Utara, dan hampir seluruh Jawa Barat melalui pelabuhan Surabaya dan Balikpapan atau Surabaya dan Pare Pare. Kapal dari pelabuhan-pelabuhan di barat dan timur Nusa Tenggara berlayar ke Nunukan. Koridor ini sangat populer dengan persoalan migran (TKI) legal dan ilegal. Makasar merupakan salah satu stasiun keberangkatan dari Sulawesi meskipun kurang populer yang digunakan oleh mereka yang berkeinginan untuk berpergian ke Hong Kong, Jepang, Taiwan atau juga Timur Tengah. Bagaimanapun semua migran harus melewati Jakarta.

3.3. TRAFFICKING DAN MIGRASI: ANTARA TKI DAN POLITIK
      MIGRASI PEMERINTAH
3.3.1. Kelalaian TKI dan Lesunya Hukum       
3.3.1.1. Hukum Orde Baru
Di Indonesia juga terdapat berbagai hukum yang mengatur ketenagakerjaan. Sayangnya berbagai bentuk hukum ini banyak yang merupakan produk hukum Orde Baru. Akibatnya dapat dilihat bahwa hukum-hukum ini hanya menguntungkan kelompok tertentu dan banyak merugikan para tenaga kerja. Misalnya beberapa hukum ketenagakerjaan berikut:50
Pertama, UU 14/1969 UU Pokok Ketenagakerjaan.51 UU ini lebih dilihat sebagai strategi kebijakan ORBA yang lebih memihak penguasa ketimbang pekerja sehingga domestika buruh dilakukan secara sistematis. UU ini juga tidak mengatur secara khusus tentang pengeksporan tenaga kerja tetapi ketenagakerjaannya secara umum.
Kedua, Kepmenaker 149/183 (tata cara pengerahan tenaga kerja ke Arab Saudi), Permenaker 01/1984 (kewajiban PPTKI/PJTKI untuk memiliki balai latihan tenaga kerja), dan berbagai aturan lainnya. Berbagai aturan ini banyak memperlihatkan dominasi negara baik kepada PPTKI ataupun pekerja. Dominasi negara ini semakin diperketat oleh sistem politik birokrasi pemerintah hingga menyulitkan bagi rakyat (pekerja) untuk menembusnya khususnya dalam upaya perolehan dokumen dan lain sebagainya.
3.3.1.2. Hukum Sebagai Tembok KKN
            Para Tenaga Kerja Indonesia khususnya TKW yang hendak ke luar negeri umumnya yang tidak tersentuh pendidikan dan sosialisasi pemerintah tentang hukum perburuhan sehingga banyak yang buta hukum. Dalam kondisi seperti ini, tidak mengherankan bila para TKI ini menjadi sasaran eksploitasi aparat pengerah. Hampir di seluruh komponen administrasi ada peluang KKN antara PJTKI dan aparat yang didukung dengan kenyataan hukum yang tidak tegas.
            Posisi para migran (TKI) memang lemah dan sulit (entah itu dipersulit secara sengaja), karena perlindungan hak-haknya diserahkan secara bulat kepada PJTKI. Ironisnya justru hampir seluruh produk hukum yang ada tidak mencantumkan hak-hak para pekerja secara utuh berdasarkan standar internasional. Calon atau TKI lebih merupakan obyek hukum daripada sebagai subyek yang memiliki keinginan. Faktor inilah yang menimbulkan berbagai macam penipuan, pengingkaran, pemerkosaan, pelecehan, pemberian fasilitas buruk dan sebagainya yang dialami oleh para calon TKI. Akan tetapi para TKI tidak mampu berbuat apa-apa. Sekalipun mereka malapor ke pihak yang berwenang justru yang terjadi adalah sering adanya saling lempar tanggung jawab antaraparat (baik PJTKI maupun DEPNAKER).
            Kelemahan hukum ini dimanfaatkan oleh berbagai pihak yang terlibat dalam pengerahan TKI untuk menipu para TKI dengan menunda keberangkatannya lebih dari tiga bulan sampai tidak diberangkatkan sama sekali padahal semua biaya telah dibayar oleh calon atau TKI. Keberanian ini dilakukan karena bila PJTKI melakukan pelanggaran hanya akan didenda Rp.100.000 atau penjara 3 bulan padahal mark-up biaya seorang TKI bisa lebih dari Rp.100.000 apalagi dengan jumlah TKI yang memadai dan uangnya dibungakan dengan keuntungan yang besar.52

3.3.1.3. Hukum Sebagai Legitimasi      
            Hukum di Indonesia (pada Orde Baru bahkan sekarang) bila diamati secermat mungkin lebih mengedepankan legalitas dan otoritas kaum elit yang membuat hukum. Sebagai contoh adalah UU Sisdiknas dan UU Pornografi yang menuai banyak kontroversi di lapisan masyarakat. Produk-produk hukum ini lebih menyuarakan kepentingan segelintir orang daripada segenap warga dalam satu bangsa. Pada akhirnya produk hukum itu menjadi begitu mengikat dan sangat represif dalam arti harus dipatuhi bila tidak akan dikenai sanksi.
            Demikian pula dengan produk hukum ketenagakerjaan yang dibuat berdasarkan kondisi penguasa tertentu. Di Indonesia sebagian besar hukumnya berasal dari jaman Belanda yang lebih menguntungkan kelompok penguasa dan pengusaha. Itulah sebabnya berbagai bentuk hukum ini tetap dipertahankan. Dalam hukum ketenagakerjaan hukum digunakan hanya sebagai alat legitimasi kepentingan negara yang mengakibatkan adanya eksploitasi sumber daya manusia. Hukum mendukung penghisapan martabat manusia oleh pengusaha yang ingin mengeruk keuntungan dari investasinya dan menggunakan tenaga kerja atau buruh migran di perkebunannya dengan upah murah. Sumatra Timur dan Suriname misalnya membuat peraturan hukum yang disebut Koeli Ordonantie, sebuah peraturan yang hanya memberikan sanksi pada buruhnya saja. 53
            Peran negara begitu lemah bahkan sangatlah represif ketimbang responsif. Produk hukum sejak ORBA hingga sekarang tidak mengalami perubahan seperti hukum tentang perlindungan bagi para buruh yang sangat terbatas. Berbagai realitas di atas menunjukkan bahwa negara telah melakukan dua kesalahan mendasar yakni peluang secara hukum terjadinya berbagai tindakan korupsi, eksploitasi dan kriminal lainnya serta  tidak menciptakan mekanisme perlindungan yang memadai dan memberikan toleransi bagi pelaku PJTKI yang tidak melindungi buruh migran.

3.3.2. Trafficking sebagai Bukti Kegagalan Negara
3.3.2.1. Trafficking Dari Segi Hukum
            Penguatan komitmen Bangsa Indonesia diwujudkan dalam bentuk Keputusan Presiden No. 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN-P3A) serta pembentukan Gugus Tugas Lintas Sektoral untuk implementasinya. RUU Tindak Pidana Perdagangan Orang berada di urutan 22 dari 55 prioritas RUU yang akan dibahas Tahun 2005.54
            Kemudian pemerintah menerbitkan lagi UU RI No. 21 Tahun 2007 yang khusus mengatur berbagai tindak pidana perdagangan orang yang terdiri dari sembilan bab.55 Menilik dari segi isi, Undang-Undang ini cukup menunjukkan kepedulian dan rasa kemanusiaan negara terhadap korban perdagangan orang yakni warga negara Indonesia itu sendiri. Dalam Bab II Pasal 2 tertulis bahwa setiap pelaku yang melakukan tindakan perdagangan orang akan dikenai pidana paling singkat tiga (3) tahun dan paling lama lima belas (15) tahun dengan paling sedikit 120 juta rupiah dan paling banyak 600 juta rupiah. Hukuman ini berlaku sama untuk tindak pidana perdagangan orang (perempuan dan anak) dari dan ke luar negara Indonesia. Akan tetapi jika tindak pidana ini mengakibatkan korban menderita luka, ganguan jiwa, penyakit menular dan lainnya ancaman pidana ditambah 1/3 dari ancaman sebelumnya. Kemudian jika korban sampai meninggal pelaku dipenjara 5 (lima) tahun dan paling lama seumur hidup dengan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 5 miliar rupiah.56
            Memang terdapat beberapa perbedaan hukuman antara pelaku perorangan dengan pelaku yang teroganisir dalam satu perkumpulan atau organisasi. Akan tetapi hukuman itu berkisar antara lima belas tahun atau ditambah 1/3 dengan denda ratusan juta dan miliaran (lima mililar). Bahayanya adalah ketika pelaku yang terorganisir justru menyanggupi sekian besar jumlah uang tersebut ketika ia terjerat kasus perdagangan orang. Ada baiknya denda dengan jumlah sekian itu tidak mengurangi masa kurungan pelaku. Di Indonesia justru hukum bisa dibeli dengan uang tebusan meskipun pelaku melakukan kesalahan seberat apapun. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai rumusan hukum yang justru lebih banyak merugikan korban daripada melindungi korban. Hemat penulis rumusan kata “atau” dalam rumusan hukuman yang mesti diterima serta jumlah denda yang mesti dibayar mesti diganti dengan kata “dan”. Sebab kata “atau” lebih merujuk pada pilihan sementara kata “dan” mencangkup keseluruhan sanksi yang mesti diterima oleh pelaku. Misalnya membayar denda (uang)“dan” dipenjara.
            Dengan demikian pelaku tidak saja memilih atas kesanggupannya untuk dipenjara atau membayar uang tebusan. Uang tebusan tidak membuat orang jera tapi justru membuat ia kembali ke ladang kejahatan yang sama dengan tingkat kejahatan yang lebih tinggi dan terorganisasi. Semestinya pelaku dihukum dengan masa tahanan yang ditentukan “dan” membayar dengan jumlah yang ditentukan pula. Hukum berfungsi bukan untuk memanjakan pelaku kejahatan tetapi membuat ia jera dan menanggung segala apa yang dilakukannya.
            Indonesia telah cukup berperan dalam berperang melawan kejahatan perdagangan orang melalui UU pemberantasan perdagangan orang. Ironisnya, meskipun sekian UU itu diterbitkan bahkan disosialisasikan kepada masyarakat melalui dinas sosial dan lainnya persentasi tingkat kasus perdagangan orang di Indonesia bukannya mengalami penurunan tetapi malah meningkat. Misalnya selama tahun 2008 LSM Pusaka Indonesia telah menemukan dan memberikan pendampingan terhadap 34 kasus trafficking (perdagangan wanita) yang dijadikan pekerja seks komersial (PSK) selama tahun 2008. Sedangkan korbannya berjumlah 70 orang yang umumnya berusia muda, berumur sekitar 13-22 tahun.57
            Di lain pihak pada tahun 2004-2005 terdapat 120 korban trafficking di Indonesia yang berhasil didata tanpa memasukkan korban yang belum berhasil di data. Jumlah ini meningkat di tahun 2006 dengan jumlah kasus trafficking untuk keperluan dalam negeri sebanyak 242 dan ke luar negeri sebanyak 989.58 Menurut data International Labour Organization tahun 2005-2008, 89 persen korban perdagangan manusia di Indonesia adalah perempuan. Jumlah tertinggi berasal dari Kalimantan Barat disusul dengan Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sekitar 80 persen di antaranya dijual ke Malaysia. Sebanyak 16 persen dijual sebagai pekerja seks.59 Hal ini menanandakan bahwa hukum tak lagi punya nyawa hingga ia gagal memberantas berbagai tindakan kejahatan yang berbau trafficking.

3.3.2.2. Trafficking dan Bobroknya Institusi Pemerintah
Perlu diakui bahwa penanganan perdagangan manusia di Indonesia masih lemah. Ribuan warga negara Indonesia telah diperdagangkan di dalam maupun luar negeri setiap tahunnya. Namun pemerintah tidak memiliki data pasti mengenai jumlah manusia yang diperdagangkan. Hal ini disebabkan karena jual beli dilakukan secara ilegal sehingga tidak terpantau. Pemerintah telah melakukan upaya pencegahan melalui peraturan hukum dan lembaga-lembaga terkait. Akan tetapi dalam kenyataannya penegakan hukum masih lemah.60
            Hal ini memperlihatkan bahwa tanggung jawab pemerintah sebagai otoritas tertinggi dalam satu negara sangatlah rendah. Negara lebih memperhatikan uang ketimbang insan pekerja yang menghasilkan uang tersebut. Lemahnya hukum guna mengatur legalitas jalur migrasi para TKI dalam mencegah adanya trafficking menandakan bobroknya istitusi dan sistem birokrasi negara. Hukum dengan segala otoritasnya berfungsi hanya sebagai bentuk penjajahan baru dengan korban adalah masyarakat kelas bawah dan membawa keuntungan bagi pihak tertentu (perumus dan pengusul UU).
            Terkadang berbagai kasus perdagangan yang terjadi bukan karena semata kesalahan pemerintah dalam negeri. Terkadang pemerintah sulit melacak kasus seperti ini karena masalahnya sangat kompleks, tidak hanya berhubungan dengan jenis pekerjaan saja tetapi juga pola pengiriman tenaga kerja yang terkadang berada di luar kendali pemerintah. Misalnya pengiriman tenaga kerja ke negara-negara yang sudah mempunyai hubungan kerjasama dengan pemerintah terkadang bisa dipindahkan ke negara-negara yang tidak pernah membuat nota kesepahaman tentang penempatan tenaga kerja dan kemudian tidak dipekerjakan serta digaji dengan layak. Terkadang mereka ditransfer ke negara yang tidak membuat MoU dengan pemerintah sehingga TKW itu menjadi tenaga kerja yang tidak terdaftar atau ilegal di negara tersebut. Mereka sangat rentan menjadi korban kekerasan dan ketidakadilan majikan.61
Selain itu, pengumpulan data tentang kasus perdagangan manusia di Indonesia selama ini belum bisa dilakukan secara optimal karena belum adanya perangkat hukum yang memberikan definisi jelas tentang terminologi kasus perdagangan orang itu sendiri. Data tidak bisa dikumpulkan dengan mudah karena perdagangan orang memang belum ada dalam terminologi hukum atau bahasa hukum Indonesia. Jadi pihak-pihak yang berwenang seperti kepolisian juga sulit untuk mengklasifikasikan berbagai bentuk perdagangan orang. Peraturan perundangan tentang pemberantasan perdagangan orang sendiri hingga saat ini drafnya masih dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat.62
Di lain pihak, di Indonesia ada semacam kebiasaan wajib bagi para TKI yang pulang dari luar negeri untuk mengambil tempat khusus di bandar udara. Misalnya setiap tenaga kerja Indonesia yang baru tiba di Bandara Soekarno-Hatta hanya boleh keluar melalui terminal tiga (III). Untuk menuju ke terminal tiga dari terminal II (dua) para TKI harus mengantre dua atau tiga jam. Antrean yang sama juga terjadi di terminal III sebelum keluar dari kawasan tersebut. Anehnya para TKI diwajibkan menggunakan angkutan yang disediakan oleh pengelola terminal III dengan dalih keamanan dan kenyamanan. Akan tetapi mereka justru harus membayar sekian banyak uang baik waktu mengambil barang maupun setelah beberapa penegasan oleh polisi.63 Hal ini menyebabkan banyak TKI lebih memilih jalur ilegal yang kemudian tak jarang membuat mereka terjerat dalam trafficking.
Menjadi catatan besar adalah kejahatan trans-internasional atau yang dikenal dengan trafficking. Banyaknya kasus yang berada di wilayah hukum Kalimantan Barat sebagai kawasan yang berbatasan langsung dengan Negeri Jiran Malaysia merupakan salah satu contoh lemahnya pengawasan imigrasi dalam mengeluarkan ijin pembuatan paspor kepada masyarakat. Hal ini diperparah dengan adanya 64 jalan tikus yang berada di perbatasan antara Indonesia –Malaysia yang menjadikan Propinsi Kalimantan Barat sebagai sasaran empuk bagi tindak pidana yang dilakukan trafficker. Selama ini oknum petugas imigrasi, Kelurahan dan Kecamatan serta Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil banyak mengeluarkan ijin yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Misalnya seperti pemalsuan ijazah SMA yang dilakukan PJTKI ternyata tidak diperiksa oleh oknum petugas tersebut. Hal ini berakibat  pada jumlah TKI ilegal bakal semakin tinggi. Pemerintah seharusnya melakukan pembenahan dari jajaran yang terbawah dalam institusinya jika mau memberantas trafficking dari Indonesia122

3.3.3. Munculnya LSM/Ornop (NGO) Beserta Organisasi Lainnya         
            Ornop merupakan entitas yang sangat beragam. Sebuah daftar yang dikeluarkan oleh PBB, misalnya mencantumkan lembaga penelitian, organisasi profesi, serikat buruh, kamar dagang dan industri, organisasi pemuda, organisasi keagamaan, perkumpulan orang lanjut usia, lembaga promosi pariwisata, yayasan swasta, partai politik dan lain-lain sebagai Ornop. Ada banyak pendapat tentang bagaimana munculnya LSM atau Ornop. Berdasarkan beberapa kajian, terbentuknya NGO dipengaruhi oleh tanggapan masyarakat terhadap faktor-faktor sosio-ekonomi (politik), revolusi informasi, dan atau kemunduran negara.64
            Perlu diakui bahwa alasan di atas bukanlah alasan yang begitu akurat mengingat ada begitu banyak motivasi dan latar belakang setiap kemunculan Ornop. Berbagai pihak dapat saja mengemukakan alasan berdasarkan latar belakang politik, tinjauan sosiologis dan kultural maupun religius. Oleh karena itu penulis hanya mengemukakan pendapat berdasarkan kajian di atas ini sebagai alasan dasar dalam tulisan ini. Hemat penulis alasan yang dikemukakan di atas dapat berlaku terutama berkaitan dengan berbagai ketimpangan dalam sistem kepemerintahan baik politik, ekonomi, sosial, budaya maupun religius di suatu negara. Ketimpangan inilah yang menyebabkan munculnya berbagai tanggapan masyarakat yang ingin menyuarakan berbagai ketimpangan itu seperti munculnya berbagai organisasi yang berbau non-pemerintah ini.
Dalam pelaksanaannya terdapat beberapa pandangan LSM terhadap negara.65
Pertama, pandangan yang menyebutkan bahwa negara itu otonom dan mempunyai peran sentral dalam politik. Oleh karena itu negara harus mengatur masyarakat. Namun pandangan ini berasal dari LSM yang menganggap diri sebagai bagian integral dari masyarakat dan mediator antara masyarakat dan pemerintah. Walaupun memberi perhatian pada demokrasi, tetapi sebetulnya ia tetap pincang oleh ideologi pembangunannisme dan percaya pada politik birokrasi serta tidak memiliki wawasan perubahan struktural dan pergeseran kontrol dari sistem yang ada.
Kedua, pandangan yang menyebutkan bahwa negara adalah dependent variabel, sehingga negara harus berbagi peran dan kebebasan dalam politik (Liberalist-Pluralist). Pada masyarakatlah kekuasaan dimiliki untuk mengatur negara.
Ketiga, pandangan yang menyebutkan bahwa negara dan masyarakat merupakan segi-segi dari supra struktur, sehingga saling berhadapan dalam kontradiksi. Negara awalnya muncul sebagai alat paksaan yang diperlukan ketika terjadi pembagian kerja dan pada gilirannya menjadi alat penindas sampai dengan terbentuknya masyarakat nir kelas. Setelah pemilikan pribadi dihapus dan perbedaan kelas hilang, kebutuhan akan negara tidak ada lagi karena pada dasarnya secara internal masyarakat bisa mengatur dirinya sendiri. Oleh karena itu LSM haruslah menyatu dengan kelompok basis dan melakukan pendekatan penguatan masyarakat akar rumput. Demokratisasi bukanlah dilakukan dengan memperkuat masyarakat sipil, melainkan diletakkan dalam perjuangan kelas yang tertindas.
Menilik berbagai pandangan di atas dapat dilihat bahwa LSM yang berkembang terkadang tidak seluruhnya benar-benar memperjuangkan kebutuhan masyarakat. Keterikatan dengan pemerintah dan sisten birokrasi yang ada dalam satu negara dapat menjadi penghalang untuk kemajuan perjuangan dan pemihakan terhadap msyarakat kecil. Hemat penulis pandangan dua dan tiga bila secara riil-kontekstual dilaksanakan oleh segenap LSM bukan tidak mungkin harapan masyarakat seluruhnya yang diperjuangkan melalui jalur Non-Pemerintah ini mampu terselesaikan.
Sebenarnya terdapat begitu banyak tinjauan tentang LSM. Tetapi penulis membatasi sedemikian saja untuk membandingkannya dengan keterlibatan berbagai LSM dalam menentang dan menggugat peran pemerintah atas berbagai kasus trafficking yang terjadi di Indonesia. Tak dapat disangkal bahwa begitu banyak LSM dan organisasi lainnya berusaha terlibat dalam menentang setiap bentuk perdagangan manusia di Indonesia. Akan tetapi bahwa tak jarang berbagai LSM itu memiliki latar belakang dan tujuan tertentu. Demikianpun halnya dengan apa yang terjadi dengan berbagai LSM yang terlibat dalam memerangi trafficking.
            Di Indonesia keterlibatan LSM dalam memerangi trafficking sungguh intens dan sangat aplikatif. Namun keterlibatan mereka masih di bawah kontrol dan atas kerjasama dengan pemerintah. Misalnya Pemerintah Indonesia bersama dengan LSM nasional dan internasional, badan-badan internasional, serta partisipasi aktif seluruh unsur masyarakat telah melakukan upaya-upaya penghapusan perdagangan orang secara terkoordinatif sejalan dengan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, selama lebih dari dua tahun sejak ditetapkannya rencana aksi tersebut melalui Keputusan Presiden RI No. 88 Tahun 2002.66  
            Selain itu ICMC, ACILS, Terre des Hommes, Save the Children US, IOM, adalah beberapa di antara LSM internasional yang selama ini telah erat bekerjasama dengan pemerintah Indonesia dalam membina hubungan dan penguatan LSM lokal untuk kegiatan pencegahan dan perlindungan korban perdagangan orang. Di lain pihak di kabupaten dan daerah-daerah telah dibentuk berbagai organisasi untuk menentang trafficking. Misalnya, Propinsi Kalimantan Timur dalam rangka mengkoordinasikan penghapusan perdagangan orang, membentuk Koalisi Anti-Trafficking Kalimantan Timur (KAT KALTIM) yang beranggotakan Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur, LBH-APIK, dan LSM. Koalisi ini telah menyusun prosedur tetap sehingga setiap unsur telah mengetahui tugas, fungsi dan kewenangannya masing-masing. Sedangkan di Batam terdapat Forum 182 Batam. Forum ini adalah suatu forum yang merupakan koalisi dan jaringan kerja yang beranggotakan individu dan lembaga/organisasi yang ada di Pulau Batam, untuk membangun kesadaran bersama dalam kampanye melawan kejahatan perdagangan manusia (counter trafficking).67
           
3.4. SIKAP PEMERINTAH DAN UPAYA MENGATASI TRAFFICKING
3.4.1. Sikap Pemerintah
3.4.1.1. Melalui Upaya Hukum         
Upaya penghapusan perdagangan orang meliputi tindakan-tindakan pencegahan (prevention), menindak dan menghukum (prosecution) dengan tegas pelaku perdagangan orang (trafficker), serta melindungi (protection) korban melalui upaya repatriasi, rehabilitasi, konseling, pendidikan dan pelatihan keterampilan, termasuk menjamin hal-hal yang berkaitan dengan HAM-nya agar mereka bisa mandiri dan kembali berintegrasi ke masyarakat. Mengingat bahwa perdagangan orang berkaitan dengan kejahatan terorganisir lintas negara, maka kerjasama antar negara baik secara bilateral maupun regional serta kerjasama dengan badan-badan dan LSM internasional akan terus dibina dan dikembangkan. Sejak Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945, perbudakan dan penghambaan telah dinyatakan sebagai tindakan yang melanggar hukum dan dinyatakan sebagai kejahatan terhadap kemerdekaan orang, sebagaimana termaktub dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Wet boek van Strafrecht yang terakhir diubah dengan Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1946).68
Di dunia internasional terdapat berbagai konvensi yang digalakkan dalam rangka penghapusan perdagangan orang. Meski hasil konvensi itu berlaku hanya bagi negara-negara peserta konvensi akan tetapi jika dilihat pada pasal satu (1) nampak bahwa pasal ini secara manusiawi mewajibkan. Konsekuensinya adalah jika pelaku perdagangan perempuan berasal dari negara bukan peserta konvensi tetapi ditangkap di negara peserta konvensi, hukuman tetap berlaku bagi pelaku. Tidak diperhitungkan bahwa negara tersebut mengikuti konvensi atau tidak. Hukum kesepakatan konvensi yang berlaku di negara tersebut memberi jaminan bagi pemerintah untuk menghukum pelaku kejahatan perdagangan orang.69

3.4.1.2. Badan Kepemerintahan
Di Indonesia terdapat lembaga khusus yang mengatur keimigrasian yakni Direktorat Jenderal Imigrasi. Lembaga ini merupakan struktur bagian dari Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia yang memiliki tugas pokok merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis di bidang imigrasi. Keimigrasian di Indonesia sudah ada sejak jaman Kolonial Belanda namun secara historis pada tanggal 26 Januari 1950 untuk pertama kalinya diatur langsung oleh pemerintah Republik Indonesia. Organisasi Imigrasi sebagai lembaga dalam struktur kenegaraan merupakan organisasi vital sesuai dengan Sasanti Bhumi Pura Wira Wibawa yang berarti penjaga pintu gerbang negara yang berwibawa. Sejak ditetapkannya Penetapan Menteri Kehakiman Republik Indonesia, maka sejak saat itu tugas dan fungsi keimigrasian di Indonesia dijalankan oleh Jawatan Imigrasi atau sekarang disebut Direktorat Jenderal Imigrasi dan berada langsung di bawah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.70
Seiring dengan perkembangan jaman dan pengaruh globalisasi saat ini dengan berbagai kepentingan kerjasama internasional antar negara serta berbagai kepentingan pelaksanaan tugas-tugas keimigrasian, maka dibentuklah Direktorat Kerjasama Luar Negeri Keimigrasian untuk menunjang tugas-tugas keimigrasian dalam bekerjasama dengan negara lain. Hal ini tidak berhenti sampai di situ saja bahkan dengan semakin meningkatnya kejahatan internasional atau yang dikenal dengan istilah Transnational Organization Crime (TOC) akhir-akhir ini seperti terorisme, penyelundupan manusia (people smuggling), perdagangan manusia (human trading), dan lain sebagainya, Direktorat Jenderal Imigrasi memandang perlu untuk membentuk Direktorat yang ruang lingkup tugas dan fungsinya adalah  untuk mengantisipasi terjadinya kegiatan-kegiatan kejahatan tersebut.
            Selain itu di Indonesia masih terdapat badan lain yang mengatur keberangkatan TKI. Badan-badan itu diantaranya adalah DEPNAKER yang berada di bawah koordinasi langsung Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (MENAKERTRANS). Di era Orde Baru MENAKER begitu berperanan terutama dalam menerbitkan UU ketenagakerjaan seperti Permen 02/1994; Kepmen 44/1994; Kep. 15/bp/95 dan berbagai peraturan lainnya yang sarat akan muatan politis dan berbagai kepentingan sepihak dari pemerintah.71 Sedangkan berhubungan dengan pelaksanaan tugas lapangan, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi meminta asosiasi pengerah jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) untuk segera menertibkan anggotanya yang tidak baik sebelum diambil tindakan oleh Pemerintah. Sejak Oktober 2004, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi telah mencabut ijin operasi 28 perusahaan PJTKI yang empat diantaranya kasusnya diajukan ke pengadilan.72

3.4.1.3. Kerjasama Antar Negara
Negara Indonesia telah menggalakkan bentuk kerjasama di dunia Internasional dalam mengatasi problem migrasi terutama trafficking. Kerjasama ini digalakkan dalam tingkat Internasional, Regional dan Nasional. Usaha pemerintah ini merupakan bagian dari usaha peningkatan kerjasama antar negara terutama dalam usaha membatasi tingkat kejahatan perdagan orang antarnegara yang kian marak sepanjang tahunnya. Melalui kerjasama ini pula negara-negara bersangkutan mampu secara bersama-sama menyikapi fenomena perdagangan manusia khusus anak-anak dan perempuan terutama melalui perkawinan antarnegara.
            Pada tahun 1885 isu tentang perdagangan perempuan dikemukakan pertama kali pada sebuah konferensi Internasioanal di Prancis. Kemudian berbagai pertemuan lain diadakan secara rutin guna merumuskan ketentuan hukum bagi pencegahan perdagangan perempuan di antara negara-negara peserta konvensi. Berbagai ketentuan yang dikemukakan memperlihatkan kepedulian masyarakat Internasioanal terhadap isu trafficking sebab trafficking merupakan masalah setiap negara termasuk Indonesia.73 Sebagai contoh kerjasama Indonesia di tingkat internasional adalah diangkatnya isu perdagangan manusia dan perlindungan pekerja sektor domestik pada Konferensi Dunia mengenai Rasisme dan Diskriminasi Rasial di Jenewa. Pertemuan Durban Review Conference (DRC) ini dihadiri sebagian besar negara anggota PBB, organisasi regional dan internasional serta ratusan organisasi civil society. Dalam pertemuan ini ditegaskan mengenai pentingnya perlindungan pekerja migran terutama pekerja sektor domestik. Hal ini juga memberikan transparansi mengenai mekanisme pengaduan terhadap majikan dan menghimbau untuk menginvestigasi berbagai perlakuan buruk terhadap pekerja domestik, menghukum pelakunya serta menghindari segala bentuk praktik dan kebijakan yang diskriminatif.74
            Di lain pihak dalam kerjasama antarnegara di tingkat regional terdapat banyak kendala terutama mengenai hubungan antarnegara di Asia yang terkadang kurang stabil. Akan tetapi dinamika yang menarik dari hubungan antar negara tingkat regional ditunjukkan lewat pertemuan Asian Regional Initiative Against Trafficking in Women and Children (ARIAT) yang diselenggarakan di Filipina pada 29-31 Maret 2000. Pertemuan ini dihadiri hampir oleh semua negara-negara di Asia termasuk Indonesia serta wakil dari Australia dan organisasi-organisasi internasional. Sementara itu di tingkat nasional Indonesia telah merumuskan UU berdasarkan hasil konvensi regional maupun internasioanl dengan meratifikasinya dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita. Masih ada banyak peraturan lain dalam UU anti-trafficking di Indonesia yang diratifikasi berdasarkan hubungan Indonesia baik secara Internasioanl, Regional maupun dalam level Nasional.75

3.4.2. Upaya Mengatasi Trafficking
3.4.2.1. Upaya Nasional
3.4.2.1.1. Perbaikan Sistem Pendidikan
            Salah satu faktor yang menyebabkan adanya trafficking adalah kurangnya pendidikan di pihak tenaga kerja. Mereka tidak lagi menggunakan kemampuan analisanya untuk membaca setiap kemungkinan yang terjadi ketika mereka direkrut. Salah satu fenomena yang cukup umum di Indonesia adalah persoalan putus sekolah. Banyak anak didik “kabur” dari bangku sekolah dan memilih untuk bekerja. Mereka inilah yang kemudian menjadi sasaran utama para perekrut. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia telah gagal membentuk manusia Indonesia yang berguna bagi nusa dan bangsa.
            Fenomena kegagalan pendidikan ini semestinya ditinjau dari atas sebab seperti yang di katakan pada bagian sebelumnya bahwa pendidikan di Indonesia sedikitnya masih membawa pola pendidikan Orde Baru yang tersistematisasi dari atas. Sentralisasi pendidikan berada pada otoritas tertinggi dan mengabaikan peran guru. Hal ini kemudian berpengaruh pada distribusi mata pelajaran yang kadang di luar batas kemampuan belajar siswa dan mengajar guru. Pendidikan dilihat sebagai instrumen kurikulum untuk mengejar target akreditasi nasional di tingkat internasional. Hemat penulis hal ini ditunjukkan lewat kenaikan standar UN demi peningkatan mutu sekolah. Sebenarnya yang terjadi adalah pemaksaan “mutu” tanpa diimbangi kemampuan siswa yang tidak saja dinilai secara sebagian kemampuannya tetapi secara keseluruhan sebagai satu bangsa.
            Oleh karena itu diperlukan suatu managemen tingkat perolehan nilai dari semua siswa setiap tahunnya dan atas dasar itu dibuat kajian ulang atas dasar nilai tersebut. Misalnya, standar 4,0 ditetapkan sebagai standar untuk tahun 2007. Standar ini akan dinaikkan apabila tingkat kelulusan menunjukkan persentasi yang maksimum untuk menunjang kenaikan standar misalnya ke 5,0. Akan tetapi jika persentasi kelulusan menunjukkan bahwa dengan angka 4,0 ada begitu banyak siswa yang tidak lulus maka standar nilai tersebut tidak pantas dinaikkan tetapi dipertahankan sampai ada penigkatan kualitas dan tingkat kelulusan sebab dengan banyaknya persentasi ketidaklulusan akan menyebabkan meningkatnya tingkat pengangguran.
            Selain itu fenomena lain yang sedang dialami rakyat Indonesia adalah persoalan seputar mahalnya biaya sekolah. Sebenarnya biaya sekolah turut menentukan mutu sekolah sebab dengan tunjangan biaya sekolah mampu menyediakan fasilitas yang lengkap untuk siswa. Akan tetapi menjadi pertanyaan justru adalah benarkah demikian ataukah sekolah hanya menjadi lahan bisnis? Sebab terkadang sekian sekolah yang mahal hanya diperuntukkan bagi orang-orang kaya, konglomerat dan penguasa. Oleh karena itu, proses pengelolaan dan bisnis sekolah yang hanya menguntungkan para konglomerat dan penguasa serta orang beruang mesti dikritisi dalam sistem pendidikan. Maka pertanyaan yang tepat diajukan adalah sipakah yang beruntung dalam pendidikan di Indonesia?76
            Di lain pihak sangat dianjurkan untuk mengurangi dominasi pemerintah dalam sistem pendidikan di Indonesia. Mesti ditingkatkan peran guru terhadap siswa untuk menunjang unsur harapan dan impian para siswa sebab dalam banyak praktik pendidikan baik dari TK sampai PT, unsur harapan dan impian kadang hilang dan tidak dikembangkan. Unsur ini sangat berpengaruh terhadap kemajuan pendidikan anak. Justru pada saat situasi politik, sosial, ekonomi, yang tidak menguntungkan harapan dan impian perlu mendapat tempat sehingga orang tidak mudah putus asa dan jatuh dalam pragmatisme murahan. Dengan dikembangkannya harapan dan impian dunia ide anak-anak Indonesia tetap maju. Ini berarti pendidikan filosofis, nilai, kemanusiaan, meski tidak langsung menunjang pembangunan mesti mendapat tempat yang utuh. Di sini kebebasan manusia terutama berpikir dan berangan mendapat tempatnya.77

3.4.2.1.2. Perbaikan Sistim Politik
               Sejak reformasi digulirkan duabelas (12) tahun yang lalu sistem politik Indonesia menunjukkan kinerja yang buruk. Ketidakmampuan sistem politik tampak dalam mendayagunakan sumber-sumber material dan sumber daya manusia yang melimpah. Sekalipun Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah yang bisa digunakan untuk menyelesaikan persoalan kemiskinan dan pengangguran misalnya, tetapi sistem politik tidak mempunyai komitmen yang sungguh-sungguh dalam menyelesaikan persoalan kemiskinan. Sumber daya alam tetap menjadi monopoli kelompok masyarakat tertentu dan kemiskinan tetap menjadi persoalan yang tetap tidak pernah diselesaikan dari waktu ke waktu.78
               Hal ini sebenarnya menjadi gambaran sekian banyak persoalan yang terjadi di Indonesia. Para pemimpin cenderung memanipulasi politik ketimbang berpolitik secara sehat. Kemudian politik yang telah dimanipulasi diserap oleh masyarakat bawah untuk berpolitik. Hal ini terus berlanjut meskipun gema reformasi telah sekian lama berlangsung. Format hukum hanya menjadi barisan kata-kata tanpa ”nyawa” dalam pelaksanaanya hingga tak jarang berbagai bentuk pelanggaran seakan dibiarkan saja terutama di kalangan para birokrat dan konglomerat negara. Sementara rakyat yang kebingungan terus merasa tertekan dalam kehampaan baik struktural, kultural, sosial, religius, ekonomi maupun politik itu sendiri.
               Hingga saat ini, masalah kesenjangan dalam distribusi pendapatan dan kekayaan tidak pernah mendapatkan perhatian secara serius. Biaya pendidikan semakin mahal sehingga hanya kelompok tertentu saja yang mampu mengakses, demikian pula dalam pelayanan kesehatan. Semakin mahalnya biaya kesehatan membuat masyarakat miskin tidak lagi memperoleh pelayanan kesehatan yang layak, sementara kelompok yang kaya dapat memilih jenis pelayanan kesehatan apapun, termasuk pelayanan standar internasional.79 Para elite politik tetap hidup dengan gaji dan gaya hidup yang sangat berlebihan, sementara pada waktu yang sama, sebagian besar masyarakat hidup dalam serba kekurangan dan penderitaan yang mengenaskan.
               Kegagalan sistem politik di Indonesia sebenarnya terasa juga dalam urusan keimigrasian. Berbagai persolan seputar ketenagakerjaan mandek begitu saja tanpa penyelesaian yang akurat dan jelas. Manipulasi, penipuan, kekerasan, trafficking, TKI ilegal dan lainnya masih saja terjadi bahkan kian marak menghiasi kepala berita di setiap media komunikasi. Meskipun pemerintah telah menerbitkan berbagai peraturan untuk memerangi trafficking, tetap saja persoalan yang sama muncul kembali di hadapan publik. Hal ini dibuktikan dengan adanya isu trafficking yang kian marak dewasa ini dan menjadi ancaman terbesar bagi integritas manusia. Singkatnya, negara telah gagal untuk melindungi warga negaranya sendiri sebagi akibat buruknya kinerja dan sistem politik yang ada. Lantas ke mana lagi negara ini dibawa?
               Melalui tulisan ini penulis ingin menganjurkan suatu perubahan sistem politik. Akan tetapi jalan menuju perubahan poltik itu mesti datangnya dari rakyat. Rakyat menjadi penggerak utama dalam menyuarakan kebobrokan sistem yang ada. Maka sangat penting rakyat membentuk gerakan kerakyatan tanpa campur tangan pemerintah. Misalnya demonstrasi, wacana publik, dialog kerakyatan dan gerakan lainnya mesti menjadi sarana penyampaian aspirasi dalam gerakan kerakyatan. Hanya saja dibutuhkan suatu tanggung jawab pribadi dan komitmen yang berbasis kerakyatan guna menyukseskan perubahan politik yang hendak dicapai. Sebab lontaran kritik dan argumen teoretis telah tak punya nyawa lagi untuk meruntuhkan keburukan sistem yang ada maka tiba saatnya rakyat menyuarakan secara langsung melalui gerakan kerakyatan.

3.4.2.1.3. Pengentasan Kemiskinan dan Penyediaan Lapangan Kerja          
            Kebijakan penanggulangan kemiskinan diarahkan untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak dasar masyarakat miskin, meliputi: kecukupan pangan yang bermutu dan terjangkau, pelayanan kesehatan yang bermutu, pelayanan pendidikan dasar yang bermutu dan merata, terbukanya kesempatan kerja dan berusaha, terpenuhinya kebutuhan perumahan dan sanitasi yang layak dan sehat, terpenuhinya kebutuhan air bersih dan aman, terjamin dan terlindunginya hak perorangan dan hak komunal atas tanah, terbukanya akses terhadap pemanfaatan sumber daya alam dan terjaganya lingkungan hidup, terjaminnya rasa aman dari tindak kekerasan, serta meningkatnya partisipasi dalam perumusan kebijakan publik.80
            Kerangka teoretis ini sering dilontarkan ketika setiap program pembangunan pemerintah diluncurkan. Hal yang terpenting adalah kinerja pemerintah dalam mendata jumlah rakyat miskin di Indonesia. Jumlah yang didata mesti akurat dan dalam hal ini dibutuhkan keterbukaan dari pemerintah. Dengan data tersebut pemerintah mampu mencanangkan program kerja untuk mengentas kemiskinan dengan sasaran yang tepat. Kecenderungan yang ada menunjukkan bahwa pemerintah hanya memprediksi jumlah rakyat miskin di Indonesia tanpa ada kejelasan data. Oleh karena itu sangat penting pemerintah sendiri melakukan survei dan pendataan jumlah rakyat miskin secara berkala.
            Hal ini mempengaruhi pendistribusian barang-barang kebutuhan pokok, kenaikan harga dan peningkatan mutu pendidikan sebab berbagai hal ini akan berpengaruh terhadap lapangan kerja yang tersedia di suatu negara. Dari uraian sebelumnya kebanyakan data menunjukkan alasan orang bermigrasi adalah faktor ekonomi. Jika negara asal tidak mampu melakukan perbaikan ekonomi dengan menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai bagi rakyatnya maka tidak mustahil bahwa banyak warga negara ini berusaha mencari kerja di negara-negara yang ekonominya maju yang menyediakan lapangan pekerjaan bagi mereka.

3.4.2.1.4. Penguatan Dasar Hukum        
            Beberapa tahun terakhir ini, pihak yang berwajib telah banyak melakukan tindakan hukum kepada para trafficker dan memproses mereka secara hukum serta mengajukannya ke pengadilan. Namun pengaturan tentang perdagangan orang dalam perundang-undangan Indonesia dinilai sangat kurang memadai dikaitkan dengan luasnya pengertian tentang perdagangan orang sehingga tidak dapat digunakan untuk menjaring semua perbuatan dalam batasan yang berlaku sekarang.
            Beberapa pasal itu antara lain: 81
Pertama, Pasal 297 KUHP secara khusus mengatur perdagangan perempuan dan anak laki-laki di bawah umur. Dilihat dari sudut korbannya, hampir dalam seluruh kasus korbannya adalah perempuan dan anak-anak di bawah umur, termasuk bayi. Melihat kondisi yang terjadi sekarang ini, yaitu dengan adanya korban laki-laki dewasa maka selayaknya peraturan ini diperluas dan tidak membatasi korbannya hanya pada wanita dan anak laki-laki di bawah umur saja. Selain itu pasal ini baru dapat menjaring perdagangan manusia apabila korbannya digunakan untuk kegiatan yang bersifat eksploitasi seksual, padahal ada bentuk-bentuk eksploitasi lain yang menjadikan korbannya sebagai tenaga kerja, pembantu rumah tangga, bahkan untuk adopsi ilegal anak dan bayi. Dalam pasal ini juga dipersoalkan tentang batas usia belum dewasa (di bawah umur) bagi anak laki-laki yang diperdagangkan. Seperti diketahui, dalam KUHP tidak ada satu ketentuan pun yang secara tegas memberikan batasan usia belum dewasa ataupun usia dewasa. Mengenai batasan usia ini harus ada satu ketentuan yang tegas agar hanya ada satu pengertian.
            Kedua, Pasal 24 KUHP juga dapat dipergunakan untuk menjaring sebagian perbuatan perdagangan orang karena pasal ini melarang perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai perdagangan manusia, namun obyeknya disebutkan secara khusus yaitu budak belian sehingga keberlakuan pasal ini menjadi sempit sekali. Selain KUHP, Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga dapat dipergunakan untuk menjaring trafficker sebagaimana diatur dalam Pasal 83 dan Pasal 88. Pasal 83: “Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000 (enam puluh juta rupiah).
            Ketiga, Pasal 88 KUHP: “Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah). Tetapi dalam undang-undang ini, cakupannya hanya terbatas pada anak sehingga pelaku perdagangan orang dengan korban yang bukan anak-anak, tidak dapat dikenakan Undang-undang ini. Menurut analisis para pengamat hukum, dengan tidak adanya definisi resmi tentang perdagangan orang baik dalam KUHP, Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia maupun Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, maka di dalam praktek pasal-pasal tersebut sulit untuk digunakan. Pihak kepolisian juga melaporkan, bahwa pelaku perdagangan orang sering kali terdiri dari orang-orang yang berbeda pada setiap tahapan perdagangan orang seperti misalnya orang yang merekrut berbeda dengan orang yang mengantar atau membawa korban, dan lain lagi orang yang menampung atau menyerahkan korban kepada pengguna sehingga jika ia tertangkap oleh pihak berwajib, paling hanya bisa dikenakan tuduhan penipuan atau perlakuan tidak menyenangkan yang ancaman hukumannya ringan dan tidak sepadan dengan penderitaan dan kerugian korban.
            Keempat, Upaya penuntutan kepada para germo yang sering berlaku sebagai trafficker menggunakan Pasal 333 KUHP tentang ‘merampas kemerdekaan seseorang’ juga sulit dilakukan, karena ‘anak asuhan’-nya bersedia ‘memberikan’ pernyataan tertulis bahwa mereka datang atas kemauan sendiri dan seiijin orang tua. Penuntutan terhadap trafficker yang menjual dan mengeksploitasi tenaga kerja sebagaimana banyak terungkap dari kasus pemulangan Tenaga Kerja Indonesia bermasalah dan keluarganya dari Malaysia dari sejak Oktober 2004 sampai dengan Maret 2005, sesungguhnya dapat menggunakan Pasal 324 KUHP, walaupun mungkin menimbulkan perdebatan karena adanya penafsiran analogi tentang pengkategorian tenaga kerja sebagai budak belian atau karena memperluas arti kata yang disesuaikan dengan perkembangan.
            Banyak kalangan menghendaki adanya dasar hukum yang kuat untuk pendukung penghapusan perdagangan orang khususnya perempuan dan anak. Tak disangkal bahwa pemerintah telah menerbitkan UU sejak tahun 2004-2007. Akan tetapi persoalan rumusan bahasa dalam UU tersebut dinilai sangat kontroversial. Oleh karena itu sangatlah perlu rumusan hukum perdagangan orang mesti dirangkai sedemikian sehingga tidak terdapat adanya bentuk diskriminasi dalam hukum.

3.4.2.1.5. Kontrol Yang Berkesinambungan Terhadap Perusahaan-perusahaan
                Tenaga Kerja dan Instansi Terkait
            Dalam rangka pencegahan perdagangan orang yang salah satu kedoknya mengatasnamakan pekerja migran, pemerintah meningkatkan pengawasan terhadap operasional Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) dalam merekrut, menampung, melatih, menyiapkan dokumen dan memberangkatkan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi meminta asosiasi  pengerah jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) untuk segera menertibkan anggotanya yang tidak baik sebelum diambil tindakan oleh Pemerintah. Sejak Oktober 2004, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi telah mencabut ijin operasi 28 perusahaan PJTKI yang empat diantaranya diajukan ke pengadilan. Selain itu, sejumlah 40 perusahaan lainnya juga akan ditindak dan 10 di antaranya akan diajukan ke meja hijau. Menteri mengatakan kalau asosiasi PJTKI tidak mau menertibkan anggotanya maka Pemerintah akan mengambil tindakan tegas.82
            Dalam konteks teoretis pemerintah telah menerbitkan perundang-undangan untuk mencegah terjadinya trafficking. Akan tetapi secara praktikal tugas pemerintah menjalankan perundang-undangan itu belum maksimal. Kasus migran ilegal, trafficking dan lainnya malah semakin marak terjadi di seantero negeri ini. Maka siapa yang mesti disalahkan dan siapa yang mesti bertanggung jawab?
            Pertanggungjawaban dan kesalahan mesti dilimpahkan kepada semua pihak. Mulai dari pemerintah pusat, propinsi, kabupaten sampai RT/RW juga lembaga swasta (PJTKI) bahkan anggota keluarga dari korban sendiripun mesti bertanggung jawab. Dalam banyak kasus para pekerja ilegal dengan mudah berangkat ke luar negeri dan memilih jalan tikus untuk menembus batas negara. Mestinya pemerintah bisa mencegah kasus-kasus seperti ini mulai dari lapisan paling bawah. Pemerintah mesti lebih serius dan gencar turun ke desa-desa untuk memberikan penjelasan kepada warga bagaimana mencari kerja ke luar negeri. Selain itu pemerintah mesti tegas mengontrol setiap perusahaan tenaga kerja seperti PJTKI yang menjamur dewasa ini sebab terkadang untuk mendapatkan calon TKW sebanyak-banyaknya PJTKI merentangkan tangannya hingga ke desa-desa. Dari sinilah kasus-kasus trafficking dimulai jika perusahaan Jasa Tenaga Kerja tersebut berstatus ilegal.83
            Pemerintah semestinya serius menangani status berbagai perusahaan jasa tenaga kerja di Indonesia. Ketegasan ini dimulai dari pemberian ijin kepada perusahan-perusahan tersebut serta membuat seleksi melalui test khusus untuk menguji kelayakan mereka secara hukum. Pemerintah mesti mengijinkan PJTKI yang memiliki tempat pelatihan kerja, sistem organisasi yang jelas dan mapan, satatus hukum yang akurat, managemen yang valid dan punya integritas tanggunjawab yang baik terhadap para TKI/TKW yang mereka rekrut. Hal ini berarti tugas pemerintah tidak sekedar memberikan izin tetapi melakukan kontrol secara berkesinambungan terhadap berbagai instansi dan perusahaan-perusahaan yang mengurus para TKI/TKW.

3.4.2.1.6. Penyediaan Tempat Pelatihan Tenaga Kerja
            Pelaksanaan pelatihan kerja telah diatur dalam keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. Kep 229/Men/2003 tentang Tata Cara Perizinan dan Pendaftaran Lembaga Pelatihan Kerja. Pelatihan kerja tersebut digolongkan dalam: Pertama, kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah melalui balai latihan kerja dan kursus latihan kerja. Tujuannya untuk meningkatkan keterampilan dan keahlian dalam mempersiapkan tenaga kerja yang akan masuk pasar kerja. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan antara lain adalah pelatihan teknik otomotif, pelatihan komputer, pelatihan teknik bangunan, pelatihan teknik listrik, pelatihan tata niaga, dan pelatihan jahit menjahit. Kedua, kegiatan yang dilakukan perusahaan swasta yang mempunyai izinan. Tujuan untuk meningkatkan keterampilan calon tenaga kerja dalam memasuki pasar kerja dengan pemberian sertifikat sebagai tanda kelulusan yang telah teruji. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan antara lain kursus setir mobil, kursus memperbaiki mobil, kursus menjahit, kursus komputer, dan lainnya.84       
            Meninjau program pemerintah di atas seharusnya para pekerja yang dikirim telah memiliki keahlian dan kemampuan yang cukup untuk bekerja di luar negeri. Akan tetapi rumusan program di atas tidak menyertakan lamanya waktu pelatihan yang diberikan, tenaga profesional yang dibutuhkan dan kebutuhan lainnya. Kebutuhan penunjang ini sangat dibutuhkan sebab para TKI membutuhkan pembimbing yang bukan asal-asalan tetapi mampu memberikan pelatihan dan arahan yang efisien dan terarah.
            Persoalannya adalah meski peraturan dan lembaga pelatihan telah ada tetap saja banyak para TKI yang dikirim mengalami kekurangan jenis keterampilan. Hal ini dipengaruhi oleh lemahnya hukum pengontrol atas lembaga pelatihan kerja swasta. Bisa saja perusahaan-perusahaan perekrut hanya merekrut dan mengirim tenaga kerjanya tanpa memberikan pelatihan kerja. Oleh karna itu kontrol pemerintah seperti yang termuat dalam poin di atas mesti dinomorsatukan. Sementara itu kegagalan pelatihan yang diberikan oleh pemerintah disebabkan oleh rusaknya sistem politik yang ada. Korupsi, kolusi dan nepotisme masih menjadi musuh utama sistem pemerintahan kita. Jika uang dan harta serta kekayaan pribadi mejadi impian utama bagaimana pemerintah memberikan perhatian utama bagi tenaga kerja?

3.4.2.2. Upaya Internasional
Kejahatan perdagangan manusia terutama yang terjadi atas perempuan dan anak (umumnya perempuan) tidak saja menjai persoalan nasional tetapi juga internasional. Maka salah satu hal yang penting adalah perlunya penguatan dasar hukum internasional untuk memerangi kejahatan trafficking. Akan tetapi dasar hukum ini menjadi kuat apabila setipa negara di dunia bersatu melalaui kerjasama antarnegara.
Selain itu negara-negara di dunia perlu menjamin keamanan lintas batas antar negara yang lebih ketat di bawah perlindungan pihak keamanan internasional. Penjagaan perbatasan dan jalur keluar masuk bagi para TKI semestinya tidak saja menjadi tanggung jawab negara penyalur tenaga kerja tetapu juga negara penerima. Dengan demikian persoalan TKI dan trafficking menjadi tanggung jawab bersama negara-negara penyalur dan penerima tenaga kerja.
Selain itu salah satu harapan yang mesti dilakukan oleh pihak internasional umumnya adalah koordinasi bersama dalam mencekal usaha trafficking sejak perekrutan dari daerah asal, pentransferan di tempat transit serta ketika sampai di daerah tujuan. Pada dasarnya terdapat beberapa fakta yang menyatakan bahwa sebenarnya para korban trafficking terutama perempuan mengetahui bahwa mereka akan dijual. Akan tetapi karena ketidakberdayaan mereka terutama akibat desakan ekonomi atau depresi karena tindakan represif sejak masa perekrutan mereka tak mampu berbuat apa-apa. 85
Oleh karena itu sangat penting negara-negara penyuplai dan penerima tenaga kerja benar-benar memperhatikan hal ini. Bagi negara asal, terutama Indonesia mesti tidak saja menerbitkan UU tentang ancaman hukuman pada pelaku trafficking, tetapi juga terjun langsung ke daerah-daerah untuk sosialisasi hukum sekaligus swiping terhadap berbagai kegiatan yang mengarah kepada trafficking. Sementara itu, dibutuhkan kerja sama dengan negara-negara lain untuk mengawasi tempat transit dan daerah tujuan di mana yang menjadi ladang besar di kemudian hari bagi para pelaku untuk menjebak korban mereka ke dalam trafficking.
Dalam hubungannya dengan kejahatan trafficking terhadap perempuan terdapat beberapa upaya yang mestinya dilakukan secara internasional antara lain:86
a)      Penyadaran hak-hak perempuan. Hal ini dilakukan melalui training dan seminar yang membahas pentingnya penggunaan perspektif gender dalam melihat masalah trafficking. Kekerasan terhadap perempuan selalu bermula dari pandangan yang bias gender. Maka perempuan perlu disadarkan bahwa posisi dan kedudukan mereka adalah setara dan sederajat dengan laki-laki sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Implikasi dari penyadaran ini adalah terciptanya koalisi perempuan yang lebih kuat di tingkat pusat dan akar rumput, ditandai dengan terbangunnya kesadaran akan hak-hak mereka sebagai manusia sehingga mereka tidak mudah ditipu, diperdagangkan, dan dieksploitasi dengan alasan apappun.
b)      Advokasi dan investigasi perempuan korban trafficking. Hal ini dilakukan dengan adanya pendampingan psikologis dan hukum terhadap korban, seperti membuat surat gugatan kepada agen atau perusahaan yang mengirim atau mendampingi korban dalam proses pengadilan. Implikasinya adalah terbangunnya kesadaran bagi perempuan korban trafficking untuk menuntut hak mereka, dan mulainya terbangun kesadaran hukum yang berperspektif perempuan.
c)      Pemberdayaan ekonomi perempuan. Sebagian besar buruh migran (perempuan) memikul beban sebagai pencari nafkah dalam keluarga. Karena itu perlu sekali meningkatkan taraf ekonomi mereka melalui pemberian modal usaha, credit union, dan keterampilan-keterampilan seperti menjahit, membuat kue, berkebun dan lain sebagainya. Kegiatan ini sebaiknya dilakukan di tingkat bawah, bertujuan agar perempuan mempunyai posisi tawar dalam bidang ekonomi, membuat perempuan lebih mampu bertahan hidup dalam kondisi yang sulit, dan membantu perempuan yang terpaksa menjadi tulang punggung keluarga.
d)      Advokasi kebijakan. Hal penting yang dilakukan adalah mengevaluasi dan mengkeritik kebijakan pemerintah yang tidak sensitif terhadap perempuan serta memberikan peluang bagi terjadinya trafficing di masyarakat.

3.4.2.3. Upaya Gereja
Gereja sebagai tanda kehadiran Allah yang berziarah dalam sejarah manusia di tengah dunia hadir dan bergumul dalam persoalan-persoalan kemanusiaan. Melalui ajaran sosialnya Gereja Katolik ingin mengajak seluruh umat beriman untuk selalu peka terhadap nasib sesama terutama mereka yang miskin, terasing, terbuang dan lainnya dari kancah dunia. Tindakan ketidakadilan yang menimpa banyak warga manusia pada saat ini secara nyata dapat ditunjuk pada “pembudayaan” tindak kekerasan pada berbagai sektor dan level kehidupan terutama mereka yang bekerja sebagai buruh migran dan berujung pada terjadinya praktek-praktek perdagangan manusia (human trafficking). Tentu dalam pandangan iman Gereja Katolik, praktek perdagangan manusia tersebut telah mencederai serta merusak citra manusia sebagai wajah Allah.87
Dalam kaitan dengan migrasi sebenarnya Gereja telah banyak berperan terutama dengan berbagai surat, keputusan berupa kanon-kanon dan dokumen-dokumen penting. Misalnya, pada Agustus 1952 Paus Pius XII mengelurkan Constitusi Apostolik Exsul Familia yang menjadi Magna Charta Gereja pada persoalan migrasi. Dokumen ini menjadi dokumen resmi pertama dari Bapa Suci sebagai kepeduliannnya pada karya pastoral untuk para migran. Kemudian KV II semakin memperteguh lagi berbagai dokumen yang berkaitan dengan patoral bagi kaum migran. Misalnya kepedulian terhadap fenomena migrasi (GS. 65 dan 66), martabat kaum migran (GS 66), berusaha menjadi sahabat para migran (GS 27) dan lainnya.88
Tidak hanya aturan-aturan kanonik, Gereja juga melibatkan diri dalam berbagai karya pastoral aktif untuk para migran. Misalnya Komisi Migran dan Perantau yang terdapat di KWI dan di berbagai keuskupan, hemat saya menunjukkan usaha aplikatif Gereja terhadap fenomena migrasi yang terjadi dewasa ini. Contohnya pertemuan untuk membuat kesepakatan dan rekomendasi terhadap persoalan migrasi terutama trafficking yang berlangsung di Sesabanu –Hokeng – Larantuka – NTT, pada 22 – 28 Juni 2009 lalu. Selain itu kepedulian Gereja terhadap persoalan migrasi dan trafficking nampak pada usaha Gereja melalui berbagai organisasi Katolik, Kongregasi-kongregasi religius, misi lintas batas dan lainnya untuk berjuang hingga ke tingkat hukum untuk memerangi berbagai kejahatan terhadap kemanusiaan terutama trafficking.
Selain itu juga KWI sebagai lembaga tertinggi dalam Gereja di Indonesia melalui Komisi Keadilan, Perdamaian dan Pastoral Migran – Perantau giat melakukan sosialisasi dan upaya-upaya kemanusiaan untuk memerangi berbagai kejahatan terhadapa keutuhan ciptaan Allah diantaranya trafficking. Misalnya Pertemuan Nasional dengan tema “Manusia Bukanlah Sampah” di Cimacan – Jawa Barat pada 15 – 18 Oktober 2008 lalu. Dalam pertemuan itu dibahas juga tentang trafficking yang nampaknya masih tidak begitu dipedulikan oleh Gereja.89

3.4.2.4. Upaya Misi: Biara St. Karolus Borromeus-Scalabrinian
Biara Scalabrinian didirikan oleh seorang Uskup bernama Beato Giovani Baptista Scalabrini pada 28 November 1887. Uskup yang dilahirkan di Fino Monasco, Como-Italia pada 8 Juli 1839 ini sebenarnya mendirikan Biara untuk kepentingan para Migran Italia pada waktu itu yang banyak bermigrasi ke Amerika lantaran persoalan kemiskinan dan ekonomi yang buruk di negeri mereka. Akan tetapi melalui para misionarisnya, biara yang memiliki misi bagi para migran, pengungsi, dan pelaut ini, setelah kematian Scalabrini pada 1 Juni 1905 justru kian mengembangkan sayap misinya menembus batas-batas dunia.
Biara yang biasa juga di sebut Biara St. Karolus Borromeus ini masuk Indonesia pada 29 Juni 2002. Masuknya biara Scalabrini di Indonesia antara lain dipengaruhi oleh keprihatinan kongregasi terhadap banyaknya orang Indonesia yang menjadi migran di luar negeri. Meski demikian masuknya biara Scalabrinian di Indonesia pertama-tama diperuntukkan bagi pembentukan para calon Scalabrinian guna menjadi para Scalabrinian yang mampu melayani siapa saja terutama para migran.
Secara umum karya misi yang telah dirintis Scalabrini ini tidak hanya dilakukan oleh para imam tetapi juga para bruder, suster dan awam Scalabrinian. Biara Scalabrinian sendiri telah banyak melakukan berbagai kegiatan dan misi untuk para migran. Misalnya di Philipina dan Taiwan dibangun asrama dan usaha perlindunagan hukum bagi para migran yang mengalami persoalan terutama mereka yang berstatus ilegal. Selain itu mereka juga memberikan pelayanan dan pendampingan bagi para migran agar dapat keluar dari persoalan mereka.
Selain itu Scalabrinian memiliki organisasi dan jalinan kerjasama dengan berbagai organisasi lainnya untuk memerangi kejahatan terhadap para migran seperti trafficking. Melalui para suster dan awam Scalabrinian, Scalabrinian juga telah berusaha berjuang untuk menjamin perlindungan hukum bagi para korban trafficking baik di tingkat nasional maupun internasional. Biara Scalabrinian juga melalui Nuntius Y. M. Mgr. Silvano Tomasi, CS yang menjadi utusan Tahkta Suci untuk bekerja di PBB dalam urusan keimigrasian berusaha dengan segala daya upaya menghasilkan peraturan dan hukum yang menjamin hak-hak yang adil bagi para migran dan korban trafficking.
Di Indonesia sendiri Biara Scalabrinian telah memberikan kontribusi yang cukup terhadap perjuangan gereja-gereja lokal untuk memerangi trafficking dan kejahatan kemanusiaan lainnya. Misalnya kerjasama dengan para uskup se-Nusra dengan mengirim para imam diosesan untuk belajar tentang migrasi di Italia dan Philipina serta membuat kesepakatan dan rakomendasi pertemuan dan pelatihan advokasi penghentian perdagangan manusia berbasis HAM di Sesabanu Hokeng – Larantuka – NTT pada 22 – 28 Juni 2009 lalu.










1Kery Lasmi S. et al., loc. cit.
2Jacob J, Herin, “Human Trafficking Rendahkan Martabat Manusia”, Pos Kupang [Kupang], Kamis, 4 September 2008, p. 14.
3Kery Lasmi S. et al., op. cit., p. 61.  
4David Berry, Pokok-pokok Pikiran Dalam Sosiologi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), pp. 77-78.
5Graziano Batistela and Maruja M. B. Asis, op. cit., p. 150.
6Ibid., pp. 151-152.
7Abdul Haris, op. cit., pp. 98-99.
8Rusdi Tanggora dan Encop Sofia, op. cit., pp. 93-95.
9Ibid.
10Berita, Pos Kupang [Kupang], Senin, 30 Juni 2008, p. 16.
11M. Wahid Supryadi, “Diplomasi TKI”, Kompas [Jakarta], Jumad, 30 Agustus 2007, p. 4.
12Ibid.
13Wahyu Susilo, “Soal Buruh Migran Tak Berdokumen” Kompas [Jakarta], Jumat, 4 Maret 2005, p. 4.
14Ibid.
15Musdah Mulia, “Perdagangan Wanita Di Mata Women of Faith” dalam Basis No. 05 – 06, Tahun Ke-53, Mei – Juni 2004, p. 66.
16Dikutip oleh Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia, op. cit., p. 33.
17Graziano Battistella and Maruja M. B. Asis, The Crisis and Migration in Asia (Quezon City: Scalabrini Migration Center, 1999), p. 13.
18David L. Sills (ed.), International of Social Sciences Vol. 9 (New York: The Macmillan Company and The Free Press, tth), p. 288.
19Musdah Mulia, loc. cit.
20Dikutip oleh Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia, loc. cit.
21Lambertus Asten, “Dinamika dan Romantika Pendidikan Nasional, dalam Vox, Seri 48/3-4/2004, pp. 25-27.
22Paul Suparno, ”Relevansi dan Reorientasi Pendidikan Di Indonesia” dalam Basis, No. 01– 02, Tahun Ke-50, [Januari – Februari 2001], p .
23Ahmad Suaedy  (ed.),  Kekerasan Dalam Perspektif Pesantren ( Jakarta: Grasindo, 2000), p.79.
24Sri Wahyuningsih (peny.), Buku Panduan : Memahami Gender, UU Perlindungan Anak, UU Pengahapusan KDRT, dan UU pemberantasan Tindak  Pidana  Perdagangan Orang  (Malang: Dian Mutiara Women’s Crisis Center dan Pusat Pengembangan Hukum dan Gender, 2007), p.55. 
25A.Nunuk Prasetyo Murniati, Gerakan Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Yogyakarta: Kanisius, 1998), p. 24.

26Musdah Mulia, op. cit., pp. 66-67.
27Dikutip oleh Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia, op. cit., p. 7.
28Hak Asasi Dalam Pelaksanaan Panduan Untuk Membantu Perempuan dan Anak-anak yang Diperdagangkan, p. 18.
29Kery Lasmi S., et al (ed.), op. cit., pp. 29-31.
30Hak Asasi Dalam Pelaksanaan Panduan Untuk Membantu Perempuan dan Anak-anak yang Diperdagangkan, loc. cit.
31Ibid, p. 17.
32Ibid.
33Keri Lasmi S., et al (ed.), op. cit., p. 32.
34Ibid., p. 33.
35Hak Asasi Dalam Pelaksanaan Panduan Untuk Membantu Perempuan dan Anak-anak yang Diperdagangkan, op. cit., p. 19.
36Kery Lasmi S., et al (ed.), op. cit., pp. 35-36.
37David Berry, op. cit., p. 71.
38Kery Lasmi S., et al (ed.), op. cit., pp. 36-38.
39Berita, Pos Kupang [Kupang], Sabtu, 26 September 2009, p. 9.
40Sulistyowati Irianto, et al, Perdagangan Perempuan Dalam Jaringan Pengedaran Narkotika (Jakarta: Obor, 2007), pp. 33-34.
41Kery Lasmi S., et al (ed.), op. cit., pp. 41-42.
42Ibid., p. 43.
43Ibid., pp. 43-44.
44Ibid., pp.  52-53.
45Dikutip oleh Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia, op. cit., pp. 5-6.
46Kery Lasmi S., et al (ed.), op. cit., pp. 46-47.
47Ibid., p. 53.
48Ibid.
49Ibid., p. 50.
50Rusdi Tanggora & Encop Sofia, op. cit., pp. 63-76.
51Point-point penting UU ini: (1) Tiap tenaga kerja berhak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi kemanusiaan. (2) Tiap tenaga kerja berhak mendapat perlindungan atas keselamatan, kesehatan, kesusilaan dan pemeliharaan moril kerja serta perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral agama. (3) Tidak boleh ada diskriminsi (4) Pembinaan proram kerja oleh pemerintah meliputi a) Norma keselamatan kerja, b) Norma kesehatan kerja dan perusahaan, c) Norma kerja, d) pemberian ganti rugi, perawatan dan rehabilitasi dalam hal kecelakaan kerja. Bdk., Ibid.
52Ibid., pp. 77-79.
53Ibid., pp. 79-83.
54Dikutip oleh Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia, op. cit., pp. iii-iv. 
55Undang-Undang Nomor 21 Tahun  2007 Tentang Pemberantasan Tindak Perdagangan Orang dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri (Jakarta: Visimedia, 2007), p. vii.
56Ibid., pp.  7-14.
57Berita “ Pusaka Temukan 34 Kasus Trafficking Selama Tahun 2008”, (Online), (http://www.antarasumut.com/berita-sumut/hukum-dan-kriminal/pusaka-temukan-34-kasus-trafficking-selama-tahun-2008/, diakses Selasa 02 Oktober 2009).
58Keri Lasmi., op. cit., pp. 26 & 27.
59Berita “Penanganan Perdagangan Manusia di Indonesia Lemah” (Online), (http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2008/12/16/brk,20081216-151303,id.html, diakses, Selasa 02 Oktober 2009).
60Ibid.
61Berita “Kasus Perdagangan Orang di Indonesia Dinilai Under Reported", (Online), (http://www.antara.co.id/print/?id=1162631888, diakses, Selasa, 03 Oktober 2009).
62Ibid.
63Berita, Kompas [Jakarta], Kamis, 14 Oktober 2004, p. 35.
64Kim D. Reimann, “Politik, Norma-norma Internasional, dan Pertumbuhan NGO-NGO Sedunia” dalam Wacana, Membongkar Proyek-proyek Ornop Edisi 16. Tahun IV 2004, p. 20.
65Ibid., pp. 27-31.
66Dikutip oleh Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia, op. cit., pp. 44-45.
67Ibid.
68Dikutip oleh Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia, op. cit., pp. 5-6.
69Pasal 1: Barang siapa, untuk memuaskan nafsu orang lain, membeli, memikat atau membawa bahkan dengan persetujuannya, seorang perempuan atau gadis dewasa dengan tujuan-tujuan amoral yang akan dilakukan di negara-negara lain, akan dihukum, tanpa menghiraukan bahwa berbagai tindakan yang termasuk ke dalam pelanggaran tersebut dilakukan di negara-negara yang berbeda.
Percobaan-percobaan pelanggaran, dan dalam batas-batas hukum yang berlaku, tindakan-tindakan yang mempersiapkan pelanggaran-pelanggaran tersebut, juga dapat dihukum. Lih. Konvensi Internasional Penghentian Perdagangan Perempuan Dewasa (Bogor: Sekretariat APIK dan Forum Jl. Radar AURI Blok D5/4, 1996), p. 1.
70Jenderal Migrasi, (Online), (http://id.wikipedia.org/wiki/Direktorat_Jenderal_Imigrasi,  diakses 18 September 2009).
71Tanggora & Encop Sofia, op. cit.,  pp. 64-77.
72Dikutip oleh Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia, op. cit., p. 41.
73Andy Yentriyani, op. cit., 118-129.
74Berita “ Indonesia Angkat Isu Perdagangan Manusia di Jenewa”, (Online), (http://www.mediabersama.com,  diakses, Selasa 02 Oktober 2009).
75Andy Yentriyani, op. cit., pp. 130-138.
76Paul Suparno, op. cit., p. 29.
77Ibid.
78Budi Winarno, “Indonesia adalah Negara yang Gagal” (Online), (http://jurnal-ekonomi.org/2008/03/27/indonesia-adalah-negara-yang-gagal/, diakses 27 Maret 2008).
79Ibid.
80Dikutip oleh Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia, op. cit., p. 33.
81Dikutip oleh Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia, op. cit., pp. 14-16.
82Ibid., p. 41.
83Berita, Pos Kupang [Kupang], Senin, 12 Oktober 2009, p. 4.

84Soedarjadi, Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia Panduan Bagi Pengusaha, Pekerja dan Calon Pekerja (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2008), pp. 10-11.
85Sr. Dr. Inosensia, Dosen Teologi Perempuan STFK Ledalero, dalam ujian Skripsi terhadap penulis di Ledalero, 24 April 2010, dj. 09.00 – 10.30.
86Musdah Mulia, op. cit., p. 68.
87Dikutip dari “Kesepakatan dan Rekomendasi Pertemuan dan Pelatihan Advokasi Penghentian Perdagangan Manusia Berbasi HAM (Komisi Keadilan,dan Pastoral  Migran Perantau Regio Nusa Tenggara – Bali, Sesabanu Hokeng – Larantuka – NTT 22 – 28 Juni 2009, p. 1.
88Erga Migrantes Caritas Christi (instruction), “Pontifical Council for the Pastoral Care of Migrants and Itinerant People” (Vatican, 2004), pp. 7-9.
89Komisi Keadilan, Perdamaian dan Pastoral Migran – Perantau Konferensi Wali Gereja Indonesia, “Proceedings Pertemuan Nasional Manusia Bukanlah Sampah” Cimacan - Jawa Barat, 15 – 18 Oktober 2008, pp. 32-37.