Rabu, 22 September 2010

KADO SANG KEKASIH



Dia duduk di tepi ranjang menatap hampa ke seluruh bagian kamar. Matanya berkaca-kaca menjalar dari sudut ke sudut sementara jiwanya berusaha memaknai setiap arti tatapan itu. Dari boneka-boneka mungil yang tersusun rapi di atas meja belajarnya, poster-poster gaul di dinding kamarnya, kalung dan aksesoris lainnya yang bergantung di langit-langit kamarnya, bunga-bunga kaca di atas lemari pakayannya serta potret gadis mungil yang memberikan semua itu untuknya yang ia genggam sedari tadi dan sesekali dikecupnya.
“Sekar” kata gadis itu di awal perkenalannya. “A…aku…Dedy” jawabnya dengan suara bergetar menahan gugup. “Kamu kelas apa?” Sekar bertanya lagi. Dedi berbalik dan menunjuk “Oh…kamu anak Bahasa ya? Pasti jago Englishnya” Sekar berkata lagi. Dedy cuma tersenyum malu lalu menggeleng.
Sekar baru saja pindah dari Magelang dan sekolah di kampung ayahnya. Sejak hari pertama ia masuk sekolah Dedy merasa seolah-olah perasaannya ingin mengatakan sesuatu. Tapi perasaan itu tetaplah perasaan karena kandas dibalik rasa malu. Dedy terpenjara dalam rasa itu sejak ia menginjak usia remajanya. Pengalaman pacaran hanya didengarnya dari sahabat-sahabatnya.
“Kamu tahu kalau seumur ini tak punya pacar itu bahaya, kamu bisa dituduh homo tahu!” kata teman-temannya setiap saat. “Cobalah mencari yang cocok, tu ada adek-adek kelas yang manis-manis” kata mereka lagi membujuk. Sayang Dedy tetaplah Dedy yang mengubur perasaannya dalam gejolak pribadi, entah sampai kapan.
Begitulah tiba-tiba perasaan itu datang lagi. Menatap mata Sekar yang diperolehnya secara sembunyi-sembunyi menjadikan seluruh gejolak rasanya kian dahsyat. Hari-hari berlalu dalam sepi kata dan sunyi bicara, ia pendam rasanya dalam layu asmara jiwa. “Hai Dy” tiba-tiba Sekar menyapanya. Jiwanya kembali bergetar dan punggunya mulai dialiri keringat, pelan dan mulai basah. Tangannya tak tenang kadang mengepal kadang menggaruk, ia tersenyum. Hanya itu yang bisa dilakukan setiap Sekar menyapanya. Namun ia berusaha menatap pancaran mata gadis itu meski yang ia tangkap bayangan ketakutannya sendiri dari baliknya.
“Sejak kapan?” Sekar tiba-tiba bertanya pada suatu kesempatan. Dedy terhenyak dan bingung. “Ka…kapan, maksudnya?” “Itu…” Sekar tiba-tiba menunjuk dadanya. Dedy tiba-tiba merasa seluruh badannya bergetar. Jemari telunjuk gadis itu serasa menikam dan membelai jiwanya. Dahinya mulai berbintik-bintik basah, ia menggeleng. Sekar menatapnya lama dan ia kian gugup. “Sejak kapan kamu merasa jatuh cinta padaku?”
Dedy terbelalak dan bisu, beku dengan gejolak rasanya sendiri. Mulutnya seakan terkunci, dan ia merasa tubuhnya mulai bermandikan keringat mengalir pelan hingga ke dasar kalbu, panas. “Dari mana…dari mana kamu tahu…” ia berusaha bicara meski terbata-bata. “Matamu” sekar menjawab singkat. “Aku tahu kamu kamu punya rasa kepadaku dan aku pun demikian. Aku tidak mau menunggu sampai kamu mati karena rasamu begitupun aku. Aku menyimpan segala cerita bohong bahwa perempuan tak boleh berbuat seperti ini. Tapi karena aku tahu dari teman-temanmu kalau kamu pemalu aku coba sendiri” Sekar berkata dengan pelan dan suara bergetar.
Dedy diam mencoba menatap wajah mungil gadis itu, matanya yang berbinar, rambut panjangnya yang halus dan lesung indah di pipinya yang ranum. Ia tak mampu berkata apa-apa. Sekar menggenggam jemari Dedy lembut “maafkan aku” katanya halus lalu pergi. Dedy masih bisu, mematung seberapa saat lamanya hingga tubuh gadis itu benar-benar hilang dari tatapannya.
Dedy tersenyum sendiri mengenang kejadian itu. Menatap semua benda-benda dalam kamarnya bahkan beberapa baju yang dikenakannya ia selalu meneteskan air mata. Satu hal yang tak pernah didapatinya adalah sebuah jawab yang pasti tentang gema pertanyaannya sendiri “apakah ini cinta?” Tanya itu selalu ada bahkan terkadang terbang hingga ke batas rasanya, menggugat asmara dan menggores di setiap kenangan pada babak-babak pertemuan mereka. Sekar senantiasa mengirimkan hadiah-hadiah itu di saat ia rindu pada Dedy.
Cinta, ia bergumam sendiri lantas menatap lantai tanah rumahnya. Ia terisak memandang ketakpantasannya sendiri. “Sekar itu terlalu kaya buat kamu. Lihat orang tuanya. Kamu? Anak seorang janda penjual kue berdiam dalam rumah reot di sudut kampung. Pikir nak pikir lagi” kata ibunya dengan terbatuk-batuk setiap kali jika Sekar kembali mengunjungi Dedy. Kini perempuan itu terbaring lemah di kamar sebelah. Ia terbatuk-batuk dan telah lima hari ia bergulat dalam sakitnya.
“Akan kuantar ibu ke dokter” kata Dedy pada ibunya. “Tak usah ini hanya sebentar…” “Tapi bu…” Dedy, gunakan uang itu untuk sekolahmu. Hidupmu masih panjang, biarkan ibu untuk…” “Tidak bu, ibu harus kuat nanti kuusahakan untuk mencari obat” kata Dedy menyela ibunya. Ia menatap perempuan yang belum seberapa tua itu. Kulitnya keriput membalut derita. Menyaksikan itu ia meneteskan air mata. Dikecupnya dahi ibunya hingga ia merasa nyaman di sana. “Bu…aku mencintaimu” katanya pelan lalu hendak bangkit ketika ibunya menariknya kembali.
“Kau pernah mengatakan itu sebelumnya?” Dedy menggeleng. “Dengan Sekar?” ibunya bertanya lagi di sela-sela batuknya. Dedy menggeleng lagi. Mata ibunya berkaca-kaca. Digenggamnya jemari anaknya kuat “kau telah belajar untuk mengatakannya. Kau bukan lagi Dedy yang pemalu itu kan? Aku bangga padamu nak” kata ibunya pelan, Dedy terisak.
“Hei Dedy, ne ada nota dari Sekar” tiba-tiba temannya menghampiri dan memberikan sebuah amplop bunga kepadanya sesampainya ia di sekolah. “Sekar absen hari ini katanya ada urusan keluarga” lanjut temannya lalu pergi. Sepanjang les ia tak tenang. Dibukanya amplop itu sesampainya ia di rumah. Sesaat kamudian ia menarik napas panjang, undangan pesta Valentine di rumah Sekar. Haruskah ia pergi meninggalkan ibunya sendiri di malam Minggu itu?
“Halo my darlyng pa kabar?” tiba-tiba Sekar muncul di hadapannya sambil mencium pipinya tanpa peduli diperhatikan teman-teman mereka. Dedy gugup seketika tapi ia berusaha menahannya. “Dah terima kartu undangan?” sekar bertanya. Dedy tersenyum lalu mengangguk. “Aku mau kamu mesti hadir karena aku menyediakan hadiah spesial buat kamu, Dy…” sekar kini menatapnya lalu menggenggam jemari Dedy “aku mencintaimu…” ia berbisik pelan, Dedy menatapnya lekat lalu tersenyum.
“Sekar…” Dedy mulai berbicara sesaat mereka telah mengambil tempat dalam kantin sekolah. Sekar menatapnya. “Apakah kamu menyayangi orang tua kamu?” Sekar tersenyum “malahan sebaliknya, mereka sangat manja padaku” jawab sekar sesekali menyeduh hidangan es buah di hadapannya. “Bagaimana perasaan kamu ketika harus meninggalkan mereka untuk datang ke sini?” Dedy bertanya lagi. Sekar menarik napas lalu menghembusnya pelan “Aku menangis waktu itu…tapi begitulah ayahku menginginkan aku kembali karena sebentar lagi ia pensiun dan kakak-kakak tiriku…mereka…” Sekar mulai terisak. Dedy mencoba menenangkannya. “Sudahlah” bujuk Dedy. Ia ingin bertanya lagi tapi diurungkan niatnya itu.
Ia menatap Sekar “Kamu tahu aku sangat mencintai ibuku. Ia malaikat bagiku yang membawaku terbang seperti burung, jauuuuuh….entah sampai di mana. Sekarang ia letih dan sayapnya patah tapi jiwanya memberi hidup. Aku…aku takut kehilangannya karena aku belum punya sayap…” “Dy…” Sekar tiba-tiba menyela perkataanya “Besok Valentine bukan?” Dedy bertanya lagi. Sekar menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca. “Hari kasih sayang, tapi mengapa harus besok? Aku merasakannya setiap hari, kamu tahu dari siapa?” Sekar menggeleng “Dari ibu dan dari kamu yang sampai sekarang tak mampu kubalas. Kamu mendapat orang yang salah karena aku tak punya apa-apa…” “Dedy!…” “Sekar…aku mencintai ibuku sekarang dia sakit dan besok aku harus memutuskan untuk menghentikan sekolahku dan bekerja demi kesehatan ibuku. “Dedy!!…ka…kamu…” “Sekar…aku mencintai ibuku, aku tak bisa melepaskan ibuku demi pesta di rumah kamu. Berikanlah pada orang lain hadiah spesial itu jangan padaku karena…” “Cukup!! Cukup Dedy!!” Sekar bangkit dengan terisak lalu pergi.
Dedy bergulat sepanjang malam. Ia terisak menatap kembali semua pemberian yang tertahta di kamarnya. Dengan gontai ia menuju kamar ibunya duduk di sampingnya dan mulai bernyanyi hingga ia terlelap di samping ibunya yang mulai bernapas berat. Pagi-pagi buta ia bangun. Tekadnya telah bulat menjadi buruh di pelabuhan. Ia coba menantang matahari, menancap tenaga demi lembar-lembar rupiah buat ibunya tak peduli hari ini Valentine.
Senja telah turun ketika dia kembali dan mendapati rumahnya yang sepi. Ia terkejut saat menatap ranjang ibunya yang kosong. Ia mulai berteriak, memanggil-manggil nama ibunya, hampa. Ia berlari ke sekeliling rumah “tadi dihantar sama PUSKESMAS keliling nak” seorang tua tetangganya tiba-tiba menyahut dari samping rumahnya. Ia tak peduli suara itu lagi, tanpa terima kasih ia berlari dan terus berlari, ke rumah sakit.
Ia terengah-engah sesampainya di Rumah Sakit “ta…tadi..ada…pasien yang sudah tua masuk….” “Oh ya…kamu Dedy Kurnia?” sela perawat itu sambil menunjuk “jalan terus lewat lorong ini belok kanan dan di ruang sebelahnya ada ibumu” Dedy hanya tersenyum hambar lalu bergegas dengan langkah terburu-buru. Di depan kamar bertuliskan VIP ia membuka pintu. Ia tertegun menatap selang-selang infus yang tertancap di tubuh ibunya. Ibunya terbaring lemah. Ketika hendak merengkuh ke pelukan ibunya ia terhenti oleh suara dari sampingnya dan ia benar-benar terkejut.
“Sekar…” Sekar tersenyum menatapnya. Ia menghampiri Dedy menatapnya lagi “aku kehilangan ayah dan ibuku sejak kecil. Pak Morgan mengangkat aku menjadi anaknya meski anak-anak dan istrinya tak suka padaku. Aku ingin punya jiwa seperti kamu melakukan apa saja demi cinta untuk ibumu. Aku tak sempat melihat wajah ibuku tapi aku tahu aku bisa mendapatinya di wajah kamu dan ibumu…” Sekar terisak. Dedy memeluknya membiarkan ia menagis di dadanya.
Ia membimbing Sekar ke samping ibunya dan duduk di sana menatap wajah perempun setengah tua yang masih tertidur itu. “terima kasih, aku tak tahu harus membalasnya….” “Sssst…” sekar menempelkan jemarinya di bibir Dedy. “Kamu di sini dulu aku mau bayar uang mukanya nanti aku kembali” kata Sekar sambil berdiri melangkah ke pintu. Mengingat sesuatu Dedy berdiri pula “Sekar!” Sekar berbalik ketika hendak membuka pintu. Ia menatap wajah gadis itu dengan terharu lalu berkata lirih “Aku Mencintaimu” Sekar terdiam lalu berlari membenamkan diri dalam pelukan Dedy hingga terisak di sana. “Thanks buat kado Valentinenya…sayang” bisik Dedy pelan sambil mencium kening Sekar lembut.


Cerpen Dendy Sujono
Puncak Scalabrini
di Gerimis Pebruary
‘09

Tidak ada komentar:

Posting Komentar