Minggu, 26 September 2010

PROSES: Panggilan Kepada Hidup Religius yang Sejat


Minum air laut perutku
Jadi lautan
  Berenang di dalamnya aku

Tegar rimba garam

(Danarto)


            Sastrawan Indonesia, Danarto pernah menulis dalam hubungannya dengan proses menulis cerpen. “Dan segalanya ternyata suatu proses. Jagad kecil, tubuh kita berproses terus, menembus ruang dan waktu. Mentransformasikan dirinya menjadi apa saja. Itulah sebabnya bila kita bercermin makin lama makin nampak betapa tak adanya identitas kita. Di atas proses ide inilah muncul kebebasan sejauh kita tak tahu mengarungi ke mana. Membebaskan ide adalah dasar kerja bagi penulisan cerpen. Ia hanya lahir dari pengertian kebebasan itu. Itulah sebabnya sebuah cerpen bisa sangat abstrak”.
            Hidup persisnya seperti yang ditegaskan Danarto adalah suatu proses. Darwin jauh-jauh hari memproklamasikan proses evolusi atau Karl Marx menguar-uarkan revolusi tanpa kelas dalam lingkup hidup sosial. Singkatnya hidup takan dapat dipisahkan dari proses. Proses membawa kita masuk kepada hidup seperti kita dibawa renang ke asinnya lautan, merasakan tegar rimba garam di biru pekat airnya tuk membuktikan bahwa itulah lautan bukan kolam susu. Proses membuktikan kepada kita bahwa inilah hidup.
            Kehidupan yang berproses ini mengamini Danarto bak menulis cerpen, cerita pengalaman di disingkatnya kehidupan. Terkadang cerpen itu begitu abstrak terkadang menjejalkan sejumput makna. Terkadang pula cerpen itu diringkas oleh sang waktu jika kita tiba-tiba tersadar di tengah keasyikkan menikmatinya berhadapan dengan kenyataan banyak orang mati muda, bunuh diri, dianiaya dan lainnya. Begitulah, cerpen itu kehidupan. Kita menulis cerita perjalanan dengan tinta perjuangan tuk mengejar sebuah kesuksesan dengan goresan-goresan emas kepada sebuah cita-cita atau impian.
            Namun kontra Danarto, kita letakkan kehidupan pada suatu yang bermakna bukan cerpen yang abstrak. Hidup yang mendefinisikan pilihan dan tindakan serta kebebasan juga godaan dalam konteks panggilan religius. Kehidupan seperti ini mengarah kepada sesuatu yang bermakna dan pasti yakni menjadi seorang religius (biarawan). Di sinilah putusan-putusan pribadi terbingkai dalam tindakan-tindakan aktif, pertisipatif dan kreatif berdasarkan pilihan bebas tetapi juga bagaimana menghadang godaan yang menantang.
            Aristoteles merumuskan suatu kriteria untuk menjadi anggota penuh dari satu komunitas yakni diantaranya kemampuan memilih dan bertindak tetapi juga adanya kebebasan. Memilih dan bertindak bagi Aristoteles dibedakan dari kemampuan yang dimiliki oleh orang-orang dewasa dan tuan dengan pada anak-anak dan hamba. Sedikit berbeda dari Aristoteles pilihan dan tindakan kita mesti dewasa tetapi melepaskan diri untuk menjadi hamba yang siap melayani bahkan berlaku seeprti “anak-anak” demi kerajaan surga. Kedewasaan yang dituntut lebih transendental yakni mengarah kepada pelepasan total atas prestise-prestise pribadi. Maka kebebasan yang dituntut bukan seperti kebebasan Aristoteles yakni demi kepentingan pribadi tapi bukan untuk melayani orang lain. Kahidupan religius menuntut yang sebaliknya yakni seturut kedewasaan transendental. Kedewasaan yang mengarahkan kebebasan kepada komitmen pribadi yang radikal untuk melayani orang lain.
            Di sinilah peran suatu pilihan. Sue Bender seperti yang dikutip P. Leo Bobila mengatakan “there is a big difference between having many choices and making choice. Making a choice-declaring what is essential to you-creates a framework for a life that eliminates many choices but gives meaning to what remains”. Maka yang menjadi tuntutan adalah bagaimana memilih dan menghidupkan komitmen atas pilihan itu. Di sinilah kita perlu mengadakan suatu pembatasan diri (set limits) dan kebebasan kita. Kita mengambil dan meletakkan pilihan kita pada sautu prioritas hidup (life priority) guna mencapai pembentukan jati diri.
            Akan tetapi kita tak menyangkal adanya godaan karena manusia hidup dalam keterbatasannya. Leon Agusta tokoh Sastrawan Indonesia mengatakan “pada mulanya adalah godaan, pada gilirannya tantangan. Godaan adalah sesuatu yang samar, sangat samar hanya sesekali ia muncul ke permukaan kesadaran. Begitu juga tantangan yang muncul sesudahnya”. Menghadapi godaan tentu kita tak bisa menyangkal itu terjadi tetapi haruskah kita tunduk dan terhanyut? Kita telah dianugerahi martabat yang begitu tinggi dari segala makhluk ciptaan Allah. Perlunya orang lain, percaya diri, berkomitmen, penyesuaian diri dan sejenisnya membantu kita membentuk diri, menantang godaan guna meraih apa yang kita cita-citakan.
            Akhirnya adalah sebuah proses. Kita berkutat dalam proses itu. Tapi bila kita sungguh pada komitmen, kita bisa berteriak seperti Chairil “aku mau hidup seribu tahun lagi!” atau seperti Sanusi Pane “kebebasan jiwa, kelepasan badan, itulah cita!” guna meraih cita-cita dan impian kita. Kembali mengutip Danarto “ada kunci untuk bisa hanyut dalam proses itu. Dan kunci dari padanya adalah sembahyang. Karena sembahyang menjejak hanyut di dalam kesemestaan yang tak bertepi, jagad kecil ini hanyut di dalam jagad yang sebenarnya. Menulis cerpen semacam menghanyutkan diri, makin tenggelam makin bagus, makin masuk makin bagus, makin lenyap makin bagus, makin entah makin bagus. Akhirnya proses adalah ketika kita memasukkan tangan kita ke dalam bak mandi terasa nyes, basah oleh air. Proses adalah ketika kita berdiri di deras hujan dan tak hujan, separuh tubuh kita basah separuh masih kering. Proses adalah ketika kita....
           
In the shadow of the night
Midle of March 15th 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar