Rabu, 06 Oktober 2010

MARIA DALAM GEREJA DEWASA INI (Menilik Peran Maria Sebagai Pengantara dalam Hubungan dengan Kristus Sebagai Satu-satunya Pengantara)



I. Pendahuluan
            Maria dalam Gereja dewasa ini tidak sekedar menjadi ikon atau lambang baik itu berupa patung atau lukisan tetapi justru menjadi sandaran bagi umat beriman dalam meletakkan harapan mereka. Melalui Bunda Maria orang yakin segala doa dapat dengan cepat dikabulkan. Namun dewasa ini timbul berbagai persoalan seputar Maria baik itu mengenai keperawanan maupun kepengantaraannya.
            Menilik soal kepengantaraan Maria (yang menjadi tema pembahasan tulisan ini) KV II dengan jelas memasukkannya dalam dekrit utama konsili. Dekrit tentang Maria terdapat dalam dekrit tentang Konstitusi Dogmatis Mengenai Gereja LG (21 November 1964) dalam bab tersendiri yakni bab 8. Penempatan ini penting karena banyak orang menghendaki dekrit terpisah mengenai Maria, namun pembahasannya tetap dalam konteks Gereja sebagai model panutan dan tipe dasarnya.1

II. Maria Dalam Gereja
2.1. Kepengantaraan Maria dalam Hubungan dengan Kristus Sebagai Pengantara
            KV II telah memahkotai konstitusi dogmatik tentang Gereja dengan satu bab yang bagus tentang Maria citra dan model Gereja. Gereja tak mungkin mencapai pengertian yang lengkap tentang persatuannya dangan Kristus dan pelayanan kepada Injil Kristus tanpa memiliki kasih dan pengetahuan yang mendalam tentang Maria Bunda Tuhan kita dan Bunda kita sendiri.2
Satu persoalan paling urgen masa ini adalah kontroversi seputar kepengantaraan Maria yang terbentur dengan kepengantaraan Kristus sebagai satu-satunya pengantara. Ada tiga hal yang sebenarnya menjadi latar belakang Yesus di sebut pengantara. Pertama, misteri inkarnasi yang menunjukkan persatuan sempurna Allah di satu pihak dan manusia di pihak lain. Yesus sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia. Kedua, korban-Nya di salib yang merupakan usaha untuk memulihkan hubungan Allah dan manusia yang terputus oleh dosa. Ketiga, aplikasi penebusan Yesus pada manusia, manusia mengambil sikap beriman pada misteri Kristus.3
            Atas dasar itu hanya perawan Maria sebagai satu-satunya ciptaan yang dapat mangambil bagian secara lengkap dalam ketiga hal tersebut. Hal ini nampak dalam gelar Mediatrix yang diberikan pada Maria. Gelar ini sebenarnya sudah dipakai St. Ephraem († 373) yang kemudian dipromosikan lagi oleh Kardinal Marcier tahun 1913.4 Namun yang terpenting dalam kepengantaraan Maria adalah Maria menjadi pengantara dalam dan oleh pengantaraan Yesus Kristus. Kepengantaraan Maria terjadi di dalam Kristus antara Allah dan manusia.
            Kepengantaraan Maria dapat dilihat melalui dua peristiwa, pertama, kabar sukacita. Maria mengungkapkan kesepakatannya atas nama seluruh umat manusia, dalam hal ini Maria berdiri antara Allah dan manusia. Kedua, Kalvari. Di sini Kristus mewakili seluruh keperluan manusia. Korban Kristus mencakup korban bundaNya sebab Maria termasuk dalam kepengantaranNya. Bagi Maria dengan melaksanakan perannya ia berdiri pada pihak dan mewakili manusia.5
            Selain itu peran Maria mendapat pengukuhannya dalam dokumen KV II yang juga melihat peran kepengataraannya dalam hubungan dengan kepengantaraan Kristus.
Adapun peran keibuan Maria terhadap kepada umat manusia sedikitpun tidak menyuramkan atau mengurangi pengantaraan Kristus yang tunggal itu, melainkan justru menunjukkan kekuatannya. Sebab segala pengaruh Santa Perawan yang menyelamatkan manusia tidak berasal dari keharusan obyektif, melaikan dari kebaikan Ilahi, pun dari kelimpahan Kristus.6
Penekanan itu mendapat perhatian juga dalam Katekismus Gereja Katolik,
Sebab sesudah diagkat ke surga, ia tidak meninggalkan peran yang membawa keselamatan itu, melainkan dengan aneka perantaraannya ia terus menerus memperolehkan bagi kita karunia-karunia yang menghantar kepada keselamtan kekal… Oleh karena itu di dalam Gereja Santa Perawan disapa dengan gelar: pengacara, pembantu, penolong, dan perantara.7


2.2. Kepengantaraan Maria Dalam Gereja Dewasa ini
Berkat rahmat Allah Maria telah diangkat di bawah Puteranya, di atas semua malaikat dan manusia, sebagai Bunda Allah yang tersuci…tepatlah bahwa ia dihormati oleh Gereja dengan kebaktian yang istimewa…Meskipun kebaktian itu, seperti selalu dijalankan dalam Gereja, memang bersifat istimewa, namun secara hakiki berbeda dengan bakti sembah sujud, yang dipersembahkan kepada Sabda yang menjelma seperti juga kepada Bapa dan Roh Kudus, lagi pula sangat mendukungnya.8

            Dalam berbagai perdebatan sering orang memunculkan persoalan tentang kepengantaraan Maria seperti pernyataan “Maria bukan perantara sebab Kitab Suci tidak menyatakannya”. Menjawabi persolan itu kita berpaling pada tradisi-tradisi, keputusan bapa-bapa Gereja dan hasil-hasil konsili ekumenis Gereja. Khusus KV II memberi kesegaran pemahaman baru bagi kita untuk mengerti kepengantaraan Maria sebab konsili menyediakan satu bab khusus tentang peran Maria dalam Gereja termasuk kepengantaraanya.
            Kepengantaraan Maria merupakan suatu tugas istimewa yang dianugerahkan kepadanya yang melebihi segala makhluk baik di surga maupun di bumi. Karena itu secara istimewa pula kita menghormatinya dalam Gereja. Hal ini dibicarakan secara teliti pada dokumen KV II dalam hubungannya dengan kepengantaraan Yesus Kristus. Meski Maria dihormati secara istimewa, penghomatan ini tetap berbeda dengan bakti sembah sujud kepada Yesus. Maria dipersatukan dengan Kristus di dunia dan di surga, rahmat Kristus, tubuh mistik dicurahkan atasnya dengan cara yang istimewa.
            Berdasarkan keadaan istimewa itu dalam mariologi tradisional mereka menggelar perbedaan antara penebusan obyektif dan penebusan subyektif. Obyektif berarti karya penyelamatan manusia dari dosa oleh Yesus sendiri, sedangkan subyektif berarti kepemilikan oleh orang Kristen sendiri secara pribadi sehingga dapat menerima keselamatan. Namun yang menjadi persoalan dewasa ini beberapa kalangan mariolog menganggap Maria mempunyai peran bersama Kristus dalam penyelamatan obyektif. Penekanannnya justru mengarah pada subordinasi Maria pada Kristus. Bahkan penegasan lain mengatakan bahwa peranan Maria selalu sekunder, relatif, subordinatif, dan hanya perlu secara situasional. Demikianpula dengan soal Maria Mediatrix yang sering mengandung implikasi bahwa Maria menentukan siapa bakal dirahmati dan rahmat macam apa yang akan diberikan. Rahmat yang ada pada Maria seolah-olah dilihat sebagai balas jasa Yesus karena telah melahirkan, mengasuh, dan mendampingiNya selama hidup. Akhirnya Marialah yang membagiratakan rahmat Allah pada tiap-tiap orang.9 
            Membedah masalah ini kita bisa berpegang pada peranan subyektif Maria. Maria menjadi cermin dan contoh bagi umat beriman dalam menggapai rahmat dan penebusan Kristus. Kepengantaraan Maria (Maria Mediatrix) mesti dilihat sebagai peran Maria yang mendoakan Gereja. Lebih dari itu keterlibatan Maria dalam membagikan rahmat merupakan suatu kepengantaraan aktual meski “penganugerahan” rahmat itu terjadi melalui kesatuannya dengan setiap orang beriman dalam kehidupan Yesus Kristus sendiri. Akhirnya peran Maria dalam tata rahmat terus berlangsung sepanjang waktu. Dalam kurun waktu itu umat Allah hidup sebagai musafir. Kebutuhan umat Allah akan keselamatan abadi diungkapakan bersama Maria kepada Bapa dengan pengantaraan Yesus Kristus Putranya dan saudara para beriman.10

3. Penutup
            Mempersoalkan Maria terkadang membedah suatu permasalahan yang tak akan pernah selesai. Persoalan yang paling urgen sudah tentu tentang keperawanan dan kepengantaraannya. Berkaitan dengan kepengantaraannya kita tak perlu merasa rendah dan kalah di hadapan orang-orang yang mempersoalkannya. Gereja Katolik memiliki dekrit tersendiri tentang Maria sejak jaman bapa-bapa Gereja awal hingga penyempurnaannya dalam KV II. Penting bagi kita atas dasar dekrit dan konsili-konsili itu adalah menempatkan kepengantaraan Maria sebagai penganugerahan rahmat yang berlangsung terus menerus melalui kesatuannya dengan umat beriman dalam kehidupan Kristus sendiri sebab Kristus adalah satu-satunya pengantara. Melalui kepengantaraan Maria kita berani berucap bersama Maria kepada Allah dengan perantaraan Yesus Kristus.

*Mahasiswa STFK Ledalero Semester VIII
Kampus Scalabrinian



       1Norman P. T., Konsili-konsili Gereja Sebuah Sejarah Singkat (Yogyakarta: Kanisius, 2007), p. 126.
       2Bernard Häring, Maria dalam Hidup Kita Sehari-hari (Ende: Nusa Indah, 1992), p. 9.
       3Eddy Kristianto, Maria dalam Gereja Pokok-pokok Ajaran KV II Tentang Maria dalam Gereja Kristus (Yogyakarta: Kanisius, 1987), p. 69.
       4Ibid., pp. 70-72.
       6Konsili Vatikan II, art. 60, p. 152.
       7Katekismus Gereja Katolik, art. 969, p. 251.
       8Ibid, art. 66, pp. 156-157.
       9Edd Kristiyanto, Op. Cit., pp. 75-77.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar