(Sebuah Tawaran Di tengah Transformasi Global yang Mengancam Keluarga)
Oleh: Putra Golingkara
I. Pendahuluan
Keluarga sebagai institusi terpenting dalam masyarakat memiliki kekhasan tersendiri. Dua dari kekhasan itu antara lain sebagai institusi yang melahirkan individu-individu ke dalam masyarakat sehingga amat menentukan kelangsungan hidup masyarakat serta merupakan agen penerus kebudayaan.1 Hal ini menjadi penting sebab keluarga merupakan potensi penting untuk membentuk suatu masyarakat yang sejahtera dan beradab. Sebagai penentu kelangsungan hidup masyarakat keluarga harus menyalurkan nilai-nilai yang baik serta memiliki wawasan luas dalam berelasi. Demikianpun halnya sebagai pewaris kebudayaan. Namun menjadi pertanyaan adalah begaimana jika keluarga itu rentan terhadap perilaku kekerasan dan tindakan imoral lainnya?
Pertanyaan ini menjadi cocok untuk dewasa ini ketika fenomena kekerasan dalam keluarga menjadi hal yang lumrah dan dianggap biasa saja. Berbagai media elektronik maupun non-elektronik, lokal maupun nasional selalu menyertakan berbagai bentuk kekerasan dalam keluarga yang sering disebut Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di setiap lembaran dan halaman beritanya. Bagaimana kita mampu mewujudkan suatu masyarakat yang sejahtera, nyaman dan adil serta menjadi pewaris kebudayaan yang handal bila bermula dari keluarga yang diwarnai kekerasan? Mengapa terjadi kekerasan dan bagaimana mengatasinya? Berbagai pertanyaan ini menghantar kita pada pokok pembicaraan dalam karya tulis ini. Penulis coba melihat keluarga secara singkat dalam hubungannya dengan individu dan masyarakat serta mencoba menilik fenomena kekerasan dalam keluarga dan sebabnya serta sedikitnya memberikan solusi sebagai aspek pencegahan terhadap kekerasan dalam keluarga yang berkelanjutan.
II. Keluarga dan Fenomena Kekerasan dalam Keluarga
2.1. Keluarga
2.1.1. Pengertian
Keluarga dapat berarti kelompok sosial yang terdiri dari dua atau lebih orang yang terikat karena hubungan darah, perkawinan atau karena adopsi dan yang hidup bersama untuk periode waktu yang cukup lama.2 Keluarga juga dapat berarti sebagai institusi sosial yang terdapat dalam masyarakat dan terdiri dari sepasang suami istri beserta anak-anak mereka yang belum menikah, tinggal bersama dalam satu rumah.3 Selain itu dalam piagam hak asasi keluarga dikatakan keluarga adalah tempat di mana pelbagai generasi bertemu dan saling menolong, tumbuh dalam kebijaksanaan insani dan mengaitkan hak-hak individu dengan tuntutan-tuntutan lain dalam hidup sosial. Atau keluarga juga diartikan sebagai komunitas orang-orang yang cara keberadaannya dan hidup bersama ialah persekutuan: communiopersoarum.4
Dari berbagai pengertian di atas dapat dilihat bagaimana setiap orang dan institusi mencoba merumuskan pengertian keluarga. Keluarga dalam praktek hariannya dapat kita temukan pengertian secara tersendiri. Pengertian tentang keluarga dapat dirumuskan oleh masing-masing orang. Setiap peribadi memiliki pengertian berbeda tentang keluarga. Singkatnya keluarga selalu memiliki definisi yang begitu luas dan mencakup segala bentuk atau tipe keluarga yang mungkin ada.5
2.1.2. Keluarga dan Individu
Individu apabila dilihat dari pengertiannya berasal dari bahasa Inggris yakni Individual. Namun kata ini sendiri berasal dari kata Latin Individuus yang berarti tidak dapat dibagi dari in yang berarti tidak dan dividuus yang berarti dapat dibagi. Merupakan terjemahan dari kata Yunani atonom yang berarti tidak dapat dibagi. Biasa juga diartikan sebagai suatu entitas, hal khusus, tunggal, pribadi, diri, dan ego.6 Sementara KUBI mengartikan individu sebagai orang atau seorang diri, atau perseorangan.7
Keluarga tak akan ada tanpa individu. Keluarga terbentuk dari persatuan antara individu dengan individu (wanita dan pria). Atas suatu kesepakatan antar keduanya atau melibatkan kelurganya mereka mengikat diri dalam suatu institusi yang disebut perkawinan ataupun tidak. Misalnya dalam keluarga yang membuktikan adanya keterlibatan individu dapat kita lihat dalam pembagian keluarga yang terdiri dari keluarga inti dan keluarga luas. Keluarga inti terdiri dari keluarga inti orientasi yakni yang terdiri dari individu itu sendiri, orang tua dan saudara-saudarinya dan keluarga inti prokreasi yakni yang terdiri dari individu itu sendiri, istri atau suami dan anak-anaknya. Dari individu-individu dalam keluarga inti itu terbentuklah keluarga luas.8
2.1.3. Keluarga dan Masyarakat
Sejauh ini kita telah melihat pengertian keluarga dan hubungannya dengan individu. Keluarga sebagai kumpulan individu-individu memiliki hubungan yang erat dengan masyarakat. Masyarakat dilihat dari pengertiannya dapat memiliki beberapa arti. Emile Durkheim melihat masyarakat sebagai suatu sistem yang dibentuk dari hubungan antara individu-individu sehingga menampilkan suatu realita tertentu yang mempunyai ciri-cirinya tersendiri.Maka keseragaman tingkah laku dalam suatu masyarakat tertentu haruslah dipandang sebagai produk masyarakat dan merupakan sifat asli dari setiap anggota masyarakat tertentu.9
Margareth Thatcher, mantan Perdana Mentri Inggris terkenal sebagai orang yang meragukan keberadaan masyarakat. Menurutnya tak ada yang dinamakan masyarakat. Yang ada hanyalah individu pria dan wanita, serta keluarga-keluarga. Sekilas pernyataan ini benar karena ada orang yang melakukan urusannya sendiri-sendiri. Namun bila diperhatikan secara baik ada sekelompok manusia yang berperilaku dalam cara yang sangat terorganisasi.10 Dilain pihak masyarakat dapat berarti keseluruhan kompleks hubungan manusia yang luas sifatnya. Disebut sebagai keseluruhan kompleks karena ia tersusun dari berbagai sistem dan subsistem seperti ekonomi, politik, pendidikan, keluarga, kesehatan dan lain-lain. Dalam setiap sub-sub sistem itu terdapat jalinan relasi dengan norma-norma dan peraturannya sendiri.11
Namun yang menjadi penting dari sekian banyak definisi ini adalah individu itu ada, tetapi mereka dibentuk secara sosial. Individu membentuk keluarga, keluarga membentuk kumpulan keluarga hingga terbentuklah kumpulan-kumpulan individu yang kemudian dinamakan masyarakat. Dalam masyarakat individu-individu serta keluarga-keluarga berbaur, bergaul hingga kemudian dari sekian banyak anggota masyarakat itu terbentuklah suatu desa, desa ke kecamatan dan seterusnya sampai meliputi kesatuan kosmos.
2.2. Keluarga dan Fenomena Kekerasan
2.2.1. Kekerasan dalam Keluarga
Berbagai media komunikasi dewasa ini baik lokal maupun regional tak jarang menampilkan berbagai persoalan yang berhubungan dengan kehidupan keluarga. Kekerasan yang terjadi terkadang timbul karena alasan yang sepele bahkan ada yang sama sekali tidak jelas. Berbagai bentuk kekerasan yang terjadi selalu menghantar setiap pelaku baik anak, suami maupun istri harus menempuh jalur hukum. Terkadang juga setiap pelaku kekerasan dalam keluarga mesti mengakhiri kehidupan berkeluarga itu sendiri bahkan tak jarang harus kehilangan nyawa.
Kasus pembunuhan misalnya, seperti yang terjadi pada Gaudensia Hermentina yang dibunuh suaminya sendiri Finilus F. Finandy di Kabupaten Sikka beberapa waktu lalu.12 Pembunuhan ini hanya diawali oleh pertengkaran kecil. Menurut pelaku yang sempat diwawancarai oleh wartawan ia membunuh istrinya karena tidak menuruti kemauannya untuk pergi bersama ke kantor Polisi. Kekuatan emosi yang tinggi dan tak terkontrol itulah yang mendorongnya menghabisi istrinya bahkan dirinya sendiri. Istrinya tak sempat tertolong sementara pelaku dapat ditolong oleh warga sekitar. Korban meninggalkan tiga orang anak.
Pembunuhan lain misalnya yang dipengaruhi oleh dorongan emosional terjadi di Kewapante. Warga Dusun Lian Tahon, Desa Kokowahor, Kecamatan Kewapante, Kabupaten Sikka sekitar pukul 08.00 Wita, Selasa (20/8) geger, menyusul tewasnya satu keluarga karena dibantai JG. Ketiga korban yang dibantai itu bukan orang lain. Mereka justu orang-orang yang dicintainya yaitu istrinya Eutropia Selfina (33) sedang hamil enam bulan, Bernadina (60) mertua JG serta Esmario Konradus (29), ipar dari pelaku tersebut.13 Alasan pembunuhan sangat tidak jelas diduga dipicu oleh pertengkaran dalam keluarga.
Selain kasus pembunuhan di atas kasus-kasus lain yang terjadi dalam rumah tangga adalah perselingkuhan. Perselingkuhan dewasa ini terkadang menjadi suatu hal yang lumrah bahkan biasa-biasa saja. Hal ini terbukti dengan laporan berbagai media masa yang setiap harinya menampilkan berbagai kasus perselingkuhan dalam kehidupan berkeluarga. Misalnya perselingkuhan yang terjadi antara Ny. Agustina dan Pratu Daud Manetde seorang tentara warga kelurahan Pasir Panjang. Perselingkuhan ini berakibat fatal karena tertangkap basah oleh sauaminya.14 Bukan tidak mungkin kasus-kasus seperti ini dapat juga mengakibatkan kekerasan dalam keluarga bila tidak segera diatasi secara baik.
Kasus lain yang mempunyai hubungan erat dengan kasus kekerasan dalam keluarga adalah penelantaran terhadap istri oleh suami atau sebaliknya dan terhadap anak-anak. Salah satu contoh misalnya yang terjadi atas diri Maria de Fatima da Santos yang ditelantarkan suaminya Briptu Mariano da Santos, anggota Polres Belu. Kasus penelantaran ini telah berlangsung selama dua tahun. Mereka telah memiliki empat orang anak. Alasan yang disampaikan sehingga ia (Mariano) meninggalkan istrinya tidak jelas hanya diutarakan karena masalah sepele.15
Ada banyak kasus sebenarnya yang terjadi dalam keluarga-keluarga dewasa ini. Namun yang menyedihkan adalah bahwa tak ada alasan yang jelas bagi setiap pelaku kekerasan dalam keluarga mengapa mereka melakukan tindakan-tindakan di luar batas moral itu. Lebih menyedihkan lagi setiap kekerasan yang terjadi tak jarang harus berakhir dengan korban nyawa. Akibatnya selalu berimbas pada anak-anak yang sebenarnya butuh tokoh panutan dalam perkembangan hidup mereka.
2.2.2. Mengapa Kekerasan?
Salah satu amanat Sri Paus Yohanes Paulus II adalah tentang keluarga sebagai pelayan kedamaian. Keluarga mempunyai tugas yang penting yaitu memberikan sumbangan bagi tegaknya kedamaian. Atas dasar itu pada orang tua terletak tanggung jawab mendidik anak-anak menjadi insan kedamaian dengan terlebih dahulu memberi contoh yakni menjadi pelaku-pelaku kedamaian. Dasar dari kedamaian ini adalah korban Kristus di Kayu Salib yang telah lebih dahulu memberi manusia kedamaian.16
Namun yang menjadi pertanyaan kita adalah mengapa terjadi kekerasan dalam keluarga? Ketegangan-ketegangan sering timbul dalam hubungan keluarga. Hal ini banyak di sebabkan oleh sulitnya menyerasikan kehidupan berkeluarga. Misalnya karena pekerjaan suami dan istri saling berjauhan atau karena ketiadaan pekerjaan sehingga mereka menjadi cemas akan masa depan. Ketegangan lain juga muncul akibat pola hidup yang banyak dipengaruhi oleh hedonisme dan konsumerisme yang lebih mementingkan kebutuhan pribadi daripada kebutuhan bersama.17
Salah satu sebab penting lain dari kekerasan dalam keluarga yang terkadang dilupakan adalah kurangnya komunikasi dalam keluarga. Persoalan-persoalan yang muncul dalam keluarga sering timbul karena masalah komunikasi ini. Persoalan yang timbul itu antara lain disebabkan oleh pertama, komunikasi yang diwarnai oleh ketertutupan. Komunikasi yang lancar selalu muncul ketika ada persoalan hingga warna komunikasi selalu dibayangi ketegangan. Kedua, komunikasi yang diwarnai saling curiga. Ketiga, komunikasi yang diwarnai oleh saling mempersalahkan.18
Selain itu ada beberapa faktor lain juga yang menyebabkan timbulnya kekerasan dalam keluarga. Salah satu yang dianggap penting yaitu ekonomi. Ekonomi berhubungan dengan pengaturan biaya hidup mulai dari makan minum sampai pemuasan oleh kebutuhan mulai dari yang primer ke yang sekunder bahkan tertier. Sudah tentu ini erat kaitannya dengan uang karena hidup dewasa ini tak bisa dipisahkan dari uang. Tantangan terbesar dalam hidup berkeluarga terkadang timbul karena sulitnya mengolah ekonomi keluarga. Maka apa yang disebut KDRT yang banyak timbul dewasa ini juga disebabkan oleh faktor ekonomi ini.19
Hal-hal di atas dapat menunjukkan beberapa sebab penting mengapa sering terjadi berbagai bentuk kekerasan dalam keluarga. Memang tidak menutup kemungkinan akan adanya berbagai sebab lain seperti cemburu, faktor kehidupan seksual, rantau, dan lainnya. Namun semuanya itu masih berhubungan dengan sikap tak adanya keterbukaan dalam keluarga yang disebabkan oleh lemahnya komunikasi antar pasangan dalam hidup berumah tangga.
III. Mengatasi Kekerasan dalam Keluarga
Menghadapi berbagai situasi yang kurang menguntungkan dalam kehidupan berkeluarga dewasa ini timbul pertanyaan apakah semua ketimpangan, kekerasan dan kekacauan dalam keluarga dapat diatasi? Pepatah lama mangatakan hidup adalah perjuangan. Bukankah keluarga juga berada dalam kerangka kata dan pepatah ini? Keluarga bagaimanapun selalu membutuhkan perjuangan untuk mempertahankan bahtera rumah tangganya. Perjuangan dalam keluarga selalu meliputi usaha suami istri untuk mau membina hidup bersama menuju kesejahteraan dan menjadikannya sebagai Gereja rumah tangga atau Gereja mini.20
Atas dasar itu ada banyak teori dimunculkan guna menyejahterakan keluarga. Hal ini mau membuktikan bahwa institusi keluarga sangatlah pemting dalam perkembangan hidup manusia baik dalam bidang pemerintahan, agama, kebudayaan maupun sosial politik. Demikianpun dalam tulisan ini penulis mencoba menampilkan berbagai solusi kecil bagaimana mengatasi berbagai kecendrungan akan perpecahan dalam keluarga. Solusi ini diharapkan dapat menjadikan keluarga benar-benar mencapai apa yang dinamakan kesejahteraan dan kebahagian abadi seperti yang dicita-citakan seluruh keluarga.
Kekerasan dalam keluarga seperti yang telah diuraikan terkadang dipengaruhi oleh faktor ekonomi. Demikianpun dengan kebahagiaan. Berhadapan dengan hal ini keluarga mesti melihat uang sebagai sarana komunikasi cinta kasih suami istri secara terbuka, penuh kasih, dan tanggung jawab. Untuk itu dalam menata kehidupan ekonomi keluarga dianjurkan pertama, iman yaitu percaya dan berharap akan Allah. Kedua, doa yaitu secara bersama-sama sebagai satu keluarga. Ketiga, usaha yaitu giat bekerja tetapi selalu ada kesepakatan dengan duduk bersama untuk berunding tentang bagaimana mengembangkan ekonomi keluarga.21
Dilain pihak ada juga rumus untuk menata ekonomi keluarga yang disebut 5 M. Pertama, mencari. Setiap manusia termasuk keluarga berusaha mencari nafkah. Kedua, menggali. Manusia mesti menggali berbagai SDA yang telah tersedia seperti melalui usaha pertanian dan perkebunan. Ketiga, mengelola. Demi kesejahteraan segala sesuatu tentu harus dikelola maka perlu ada yang mengatur, mencatat, dan mengaturnya. Keempat, mengembangkan. Orang tua harus terampil mengembangkan rejeki dengan jujur, bertanggung jawab dan jujur. Kelima, memanfaatkan. Tujuan ekonomi rumah tangga adalah kesejahteraan. Keadilan dan cintakasih pasti akan membuka pintu kebahagiaan keluarga sejauh Allah memperkenankan.22
Dalam kehidupan berkeluarga juga, khususnya di daerah kita pesta selalu menjadi kebiasaan untuk merayakan keberhasilan, kematian atau ulang tahun dan lainnya. Pesta menjadi momen berkumpulnya setiap anggota kelaurga. Berkumpulnya anggota keluarga pada waktu-waktu tertentu seperti Lebaran, Natal, selain pada hari-hari ulang tahun, perkawinan dan kematian, menunjukkan pentingnya hubungan dalam keluarga.23 Untuk itu beberapa hal di bawah ini baik juga dianjurkan untuk kebaikan keluarga sebab tidak jarang pesa terkadang menjadi biang perpecahan dalam keluarga. Pertama, kita pesta sambil duduk bersama, untuk menyadari kedudukan kita dalam hidup bersama dan perjuangannya. Kedua, kita pesta sambil berkata-kata, untuk memberi arti bagi perjuangan hidup ini. Ketiga, kita berpesta makan dan minum bersama, sebagai tanda lahir batin kita terlibat dalam menayantap dan mengunyah kehidupan.24
Di lain pihak keluarga harus selalu memancarkan hubungan cinta sebab keluarga adalah sebuah komunitas cinta triniter dalam Tuhan.25 Hal ini harus ditunjukkan pertama-tama dari orang tua yang kemudian diteruskan kepada anak-anak. Terhadap anak-anak orang tua tentu menunjukkan cinta mereka salah satunya melalui harapan. Banyak keluarga mengharapkan sesuatu dari anak-anak mereka khusunya yang berkaitan dengan keberhasilan. Perpecahan dalam keluarga justru muncul karena anak-anak yang kurang mendapat perhatian atau yang kurang sukses sesuai dengan harapan orang tua.
Itulah sebabnya Gereja Katolik sangat menekankan pentingya kehidupan berkeluarga. Keluarga yang bahagia dan stabil memberikan ruang gerak di mana seorang anak belajar berelasi dengan orang lain: memperhatikan, membagikan, mencintai, dan memaafkan. Hal ini pertama-tama dimulai dari rumah sebab mulai dai rumahlah anak-anak belajar bahwa mereka diterima dan dicintai. Maka orang tua menjadi guru pertama yang paling penting bagi anak-anak mereka. Apa saja yang mereka perbuat dan ucapkan akan melekat erat pada anak-anak mereka baik itu yang positif maupun yang negatif. Cara orang tua dituntut dalam hal ini bagaimana mereka membina hidup berumah tangga yang baik hingga kebahagiaan keluarga tercapai secara baik.26
Membahagiakan keluarga sudah tentu kita mesti menerapkan berbagai cara untuk mencapai kebahagiaan itu. Beberapa diantaranya seperti yang telah diuraikan di atas. Namun yang penting dari semua itu adalah begaimana menerapkan komunikasi dalam keluarga. Apa yang kita perjuangkan hendaknya menjadi sarana komunikasi kita dalam kelurga sebab hanya dengan komunikasi kita mampu berhubungan satu dengan yang lain. Untuk itu ada beberapa tips guna meningkatkan kebahagiaan hidup berkeluarga yang oleh para ahli sebut ten rules for happy mariage yaitu:27
a)Jangan marah pada waktu bersamaan
b)Tidak boleh berteriak-teriak khususnya jika sedang bertengkar kecuali kalau rumah sedang terbakar
c)Bersedia kalah untuk menang
d)Kritik diberikan dengan penuh rasa kasih sayang
e)Jangan mengungkit kesalahan-kesalahan pada masa lampau
f)Jangan melupakan pasangan anda khususnya bila sedang berpergian
g)Katakan yang baik tentang pasangan anda paling kurang satu kali sehari
h)Meminta maaf bila berbuat salah
i)Jangan pergi tidur dalam keadaan marah
j)Dalam pertengkaran yang paling banyak bicara itu yang salah. Berbicara banyak tidak ada gunanya.
IV. Penutup
Kekerasan dalam keluarga tanpa disadari telah mewabah dewasa ini. Berbagai media informasi sering menampilkan pada tiap halamannya berbagai kasus kekerasan kecil maupun besar yang terjadi dalam keluarga. Berbagai alasan timbul dari berbagai tindakan kekerasan itu. Ada yang menampilkan rasa cemburu, faktor hidup seksual, pengangguran, dan lainnya ada juga karena faktor ekonomi, kurangnya komunikasi, dan ketertutupan antar individu dalam keluarga itu sendiri.
Hal pokok sebenarnya yang menjadi alasan kuat berbagai kekerasan dalam keluarga adalah ketiadaan komunikasi dalam keluarga. Keluarga kita mengaktifkan komunikasi justru ketika ada konflik. Mereka jarang berifat terbuka dalam berbagai hal. Itulah sebabnya mengapa keluarga kita sangat rentan terhadap percekcokan hingga harus berurusan dengan hukum bahkan menimbulkan korban nyawa.
Berbagai solusi ditawarkan khususnya dalam tulisan ini bagaimana mengatasi kekerasan dalam keluarga. Solusi, tips-tips, dan rumus-rumus menuju kebahagiaan keluarga itu kiranya dapat dinikmati sebagai bahan refleksi bagi keluarga kita bagaimana membina keluarga yang sejahtera. Hal ini menjadi penting karena keluarga menjadi tulang punggung perkembangan masyarakat kita baik sebagai anggota masyarakat maupun Gereja, dalam bidang pemerintahan maupun agama, politik maupun sosial budaya.
DAFTAR PUSTAKA
Badudu J. S. dan Zain Sutan. M. Kamus Umum Bahasa Indonesia.Jakarta: Sinar
Berita “Wawancara Eksklusif Suami Bunuh Istri”, Pos Kupang (Kupang), 2 Desember
2008.
Berita “JG Bantai Satu Keluarga di Kewapante” Pos Kupang (Kupang), 21 Agustus
2002.
Berita “Suami Tangkap Basah Istri Berselingkuh”, Pos Kupang (Kupang), 27 Oktober
2008.
Berita “Briptu do Santos Diduga Terlantarkan Istri”, Pos Kupang (Kupang), 6 November
Darmawijaya, St. Mengarungi Hidup Berkeluarga. Yogyakarta: Kanisius, 1994).
Dore Dae, Ansel. Sejarah Kebudayaan Indonesia (ms). Maumere: Ledalero, 2006.
Eminyan, M. Teologi Keluarga. Yogyakarta: Kanisius, 2005.
Hrom, T.O., (penyunt.). Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta: Obor, 1999. Seri
Mirsel, R. Pasanganku Seorang Katolik Sebuah Inspirasi bagi Pasangan Kawin Campur
Katolik-NonKatolik. Maumere: LPBAJ, 2001.
Osborne, Richard & Van Loon, Born. Seri Mengenal dan Memahami Sosiologi. Jakarta:
Scientific Press, 2005.
Raho, B. Keluarga Berziarah Lintas Zaman Suatu Tinjauan Sosiologis. Ende: Nusa
Indah, 2003.
Raho, B. Sosiologi Sebuah Pengantar. Maumere: Ledalero, 2004.
Raho, B. “Komunikasi (Sisi Lain Perjuangan dalam Keluarga)”, Kanal Majalah
Keluarga, 008 (31 Agustus 2008).
Seri Dokumen Gerejawi No. 72, April 2006.
Seri Dokumen Gerejawi, No. 33, April 1994.
Suwito, P. Panduan Kesejahteraan dan Kebahagiaan Keluarga.Malang: Dioma, 2006.
1B. Raho, Keluarga Berziarah Lintas Zaman Suatu Tinjauan Sosiologis (Ende: Nusa Indah, 2003), pp. 15&26.
2B. Raho, Sosiologi Sebuah Pengantar (Maumere: Ledalero, 2004), p. 139.
3T.O. Hrom (penyunt.), Bunga Rampai Sosiologi Keluarga (Jakarta: Obor, 1999), p. 67.
4Keluarga dan Hak-hak Asasi dalam Seri Dokumen Gerejawi No. 72, April 2006, pp. 8&27.
5B. Raho, Op. Cit., p. 25.
6Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2002), pp. 236-237.
7J. S. Badudu dan Sutan. M. Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Sinar Harapan, 2001), p. 532.
8B. Raho, Sosiologi Sebuah Pengantar., Loc. Cit.
9Ansel Dore Dae, MA, Sejarah Kebudayaan Indonesia (ms) (Maumere: Ledalero, 2006). pp. 3-4.
10Richard Osborne & Born Van Loon, Seri Mengenal dan Memahami Sosiologi (Jakarta: Scientific Press, 2005), pp. 6-7.
11B. Raho, Sosiologi Sebuah Pengantar, Op. Cit. p. 69.
12Berita “Wawancara Eksklusif Suami Bunuh Istri”, Pos Kupang (Kupang), 2 Desember 2008, p. 1.
13Berita “JG Bantai Satu Keluarga di Kewapante” Pos Kupang (Kupang), 21 Agustus 2002, p. 1.
14Berita “Suami Tangkap Basah Istri Berselingkuh”, Pos Kupang (Kupang), 27 Oktober 2008, p. 5.
15Berita “Briptu do Santos Diduga Terlantarkan Istri”, Pos Kupang (Kupang), 6 November 2008, p. 6.
16Paus Yohanes Paulus II, “Kedamaian dan Keluarga, Beberapa Amanat Sri Paus Yohanes Paulus II Perihal Kedamaian, Perdamaian, dan Keluarga Tahun 1994”, Seri Dokumen Gerejawi, No. 33 (April 1994), pp. 14-15.
17Ibid., p. 4.
18B. Raho, “Komunikasi (Sisi Lain Perjuangan dalam Keluarga)”, Kanal Majalah Keluarga, 008 (31 Agustus 2008), pp. 16-17.
19Ibid., pp. 10-11.
20Ibid., pp. 6-8.
21Ibid., pp. 10-11.
22P. Suwito, Panduan Kesejahteraan dan Kebahagiaan Keluarga (Malang: Dioma, 2006), p. 189.
23T. O. Ihrom (penyunt.)., Op. Cit., p. 90.
24St. Darmawijaya, Mengarungi Hidup Berkeluarga (Yogyakarta: Kanisius, 1994), pp. 149-150.
25M. Eminyan, Teologi Keluarga (Yogyakarta: Kanisius, 2005), p. 49.
26R. Mirsel, Pasanganku Seorang Katolik Sebuah Inspirasi bagi Pasangan Kawin Campur Katolik-NonKatolik (Maumere: LPBAJ, 2001), p. 125.
27B. Raho, “Komunikasi (Sisi Lain Perjuangan dalam Keluarga)”, Loc. Cit.
Ringkik jengkrik mengalung malam di musim tak tentu. Mengangkat kuduk menebar takut melewati kelam tiada cahaya. Alunan histeris serak burug hantu meneriaki waktu. Sepoi angin menembus tembok meruntuh hangat mengukung kota tua di bulan yang tak terang.
Guguk anjing meronta di bawa gaung angin. Eak bayi merengek mimi di terbang senyap sayup. Merobek hitam tak tembus mata di hari yang layu.
Sobekan nurani tercecer di setapak-setapak makam. Kucing meloncat di antara nisan pejuang yang urak. Lampu rumah jaga berkelok mengudung tuan lelap menanti fajar.
Lengang nian jalan antara rumah bekas zaman lalu. Rontok tembok berlubang peluru di masa dahulu. Coretan masa menoda pagar di tikungan buntu. Menanda insan kota tua hampir punah.
Rubuh malam, pergi hitam, mentari menimpa antara dahan-dahan cemara. Menembus celah tebing harta idaman. Hidup tetap merayap setengah napas. Kota tua dikenang setengah orang.
Q. C. Manila October 2010
Cerita Tentang Musim tak Tentu
Hujan datang mengirim panas badai gerah melontar dingin. Hiruk orang berlari memayung. Panas bumi mengurak sungai. Kocak waktu dikacau angin. Sobek massa dihalau musim. Korban hidup mematung mati.
Sayup-sayup maut menebar hambus. Kolam-kolam memerah menutup teratap dataran. Sepi senyap sambutan malam. Kelam mendung rampas topan.
Ini dosa awal tahun di musim tak tentu milik iblis. Kita terlampau foya antara harta yang bukan milik, merampas rakus-merobek keji antara waktu yang lalu seolah pencipta.
Waktu...waktu...menuai mampus di teriak laut. Memohon tolong, langit meruntuh ejek. Akhir bahagia hanya keabadaian saat indah menutup mata di musim tak tentu
Maria dalam Gereja dewasa ini tidak sekedar menjadi ikon atau lambang baik itu berupa patung atau lukisan tetapi justru menjadi sandaran bagi umat beriman dalam meletakkan harapan mereka. Melalui Bunda Maria orang yakin segala doa dapat dengan cepat dikabulkan. Namun dewasa ini timbul berbagai persoalan seputar Maria baik itu mengenai keperawanan maupun kepengantaraannya.
Menilik soal kepengantaraan Maria (yang menjadi tema pembahasan tulisan ini) KV II dengan jelas memasukkannya dalam dekrit utama konsili. Dekrit tentang Maria terdapat dalam dekrit tentang Konstitusi Dogmatis Mengenai Gereja LG (21 November 1964) dalam bab tersendiri yakni bab 8. Penempatan ini penting karena banyak orang menghendaki dekrit terpisah mengenai Maria, namun pembahasannya tetap dalam konteks Gereja sebagai model panutan dan tipe dasarnya.1
II. Maria Dalam Gereja
2.1. Kepengantaraan Maria dalam Hubungan dengan Kristus Sebagai Pengantara
KV II telah memahkotai konstitusi dogmatik tentang Gereja dengan satu bab yang bagus tentang Maria citra dan model Gereja. Gereja tak mungkin mencapai pengertian yang lengkap tentang persatuannya dangan Kristus dan pelayanan kepada Injil Kristus tanpa memiliki kasih dan pengetahuan yang mendalam tentang Maria Bunda Tuhan kita dan Bunda kita sendiri.2
Satu persoalan paling urgen masa ini adalah kontroversi seputar kepengantaraan Maria yang terbentur dengan kepengantaraan Kristus sebagai satu-satunya pengantara. Ada tiga hal yang sebenarnya menjadi latar belakang Yesus di sebut pengantara. Pertama, misteri inkarnasi yang menunjukkan persatuan sempurna Allah di satu pihak dan manusia di pihak lain. Yesus sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia. Kedua, korban-Nya di salib yang merupakan usaha untuk memulihkan hubungan Allah dan manusia yang terputus oleh dosa. Ketiga, aplikasi penebusan Yesus pada manusia, manusia mengambil sikap beriman pada misteri Kristus.3
Atasdasar itu hanya perawan Maria sebagai satu-satunya ciptaan yang dapat mangambil bagian secara lengkap dalam ketiga hal tersebut. Hal ini nampak dalam gelar Mediatrix yang diberikan pada Maria. Gelar ini sebenarnya sudah dipakai St. Ephraem († 373) yang kemudian dipromosikan lagi oleh Kardinal Marcier tahun 1913.4Namun yang terpenting dalam kepengantaraan Maria adalah Maria menjadi pengantara dalam dan oleh pengantaraan Yesus Kristus. Kepengantaraan Maria terjadi di dalam Kristus antara Allah dan manusia.
Kepengantaraan Maria dapat dilihat melalui dua peristiwa, pertama, kabar sukacita. Maria mengungkapkan kesepakatannya atas nama seluruh umat manusia, dalam hal ini Maria berdiri antara Allah dan manusia. Kedua, Kalvari. Di sini Kristus mewakili seluruh keperluan manusia. Korban Kristus mencakup korban bundaNya sebab Maria termasuk dalam kepengantaranNya. Bagi Maria dengan melaksanakan perannya ia berdiri pada pihak dan mewakili manusia.5
Selain itu peran Maria mendapat pengukuhannya dalam dokumen KV II yang juga melihat peran kepengataraannya dalam hubungan dengan kepengantaraan Kristus.
Adapun peran keibuan Maria terhadap kepada umat manusia sedikitpun tidak menyuramkan atau mengurangi pengantaraan Kristus yang tunggal itu, melainkan justru menunjukkan kekuatannya. Sebab segala pengaruh Santa Perawan yang menyelamatkan manusia tidak berasal dari keharusan obyektif, melaikan dari kebaikan Ilahi, pun dari kelimpahan Kristus.6
Penekanan itu mendapat perhatian juga dalam Katekismus Gereja Katolik,
Sebab sesudah diagkat ke surga, ia tidak meninggalkan peran yang membawa keselamatan itu, melainkan dengan aneka perantaraannya ia terus menerus memperolehkan bagi kita karunia-karunia yang menghantar kepada keselamtan kekal… Oleh karena itu di dalam Gereja Santa Perawan disapa dengan gelar: pengacara, pembantu, penolong, dan perantara.7
2.2. Kepengantaraan Maria Dalam Gereja Dewasa ini
Berkat rahmat Allah Maria telah diangkat di bawah Puteranya, di atas semua malaikat dan manusia, sebagai Bunda Allah yang tersuci…tepatlah bahwa ia dihormati oleh Gereja dengan kebaktian yang istimewa…Meskipun kebaktian itu, seperti selalu dijalankan dalam Gereja, memang bersifat istimewa, namun secara hakiki berbeda dengan bakti sembah sujud, yang dipersembahkan kepada Sabda yang menjelma seperti juga kepada Bapa dan Roh Kudus, lagi pula sangat mendukungnya.8
Dalam berbagai perdebatan sering orang memunculkan persoalan tentang kepengantaraan Maria seperti pernyataan “Maria bukan perantara sebab Kitab Suci tidak menyatakannya”. Menjawabi persolan itu kita berpaling pada tradisi-tradisi, keputusan bapa-bapa Gereja dan hasil-hasil konsili ekumenis Gereja. Khusus KV II memberi kesegaran pemahaman baru bagi kita untuk mengerti kepengantaraan Maria sebab konsili menyediakan satu bab khusus tentang peran Maria dalam Gereja termasuk kepengantaraanya.
Kepengantaraan Maria merupakan suatu tugas istimewa yang dianugerahkan kepadanya yang melebihi segala makhluk baik di surga maupun di bumi. Karena itu secara istimewa pula kita menghormatinya dalam Gereja. Hal ini dibicarakan secara teliti pada dokumen KV II dalam hubungannya dengan kepengantaraan Yesus Kristus. Meski Maria dihormati secara istimewa, penghomatan ini tetap berbeda dengan bakti sembah sujud kepada Yesus. Maria dipersatukan dengan Kristus di dunia dan di surga, rahmat Kristus, tubuh mistik dicurahkan atasnya dengan cara yang istimewa.
Berdasarkan keadaan istimewa itu dalam mariologi tradisional mereka menggelar perbedaan antara penebusan obyektif dan penebusan subyektif. Obyektif berarti karya penyelamatan manusia dari dosa oleh Yesus sendiri, sedangkan subyektif berarti kepemilikan oleh orang Kristen sendiri secara pribadi sehingga dapat menerima keselamatan. Namun yang menjadi persoalan dewasa ini beberapa kalangan mariolog menganggap Maria mempunyai peran bersama Kristus dalam penyelamatan obyektif. Penekanannnya justru mengarah pada subordinasi Maria pada Kristus. Bahkan penegasan lain mengatakan bahwa peranan Maria selalu sekunder, relatif, subordinatif, dan hanya perlu secara situasional. Demikianpula dengan soal Maria Mediatrix yang sering mengandung implikasi bahwa Maria menentukan siapa bakal dirahmati dan rahmat macam apa yang akan diberikan. Rahmat yang ada pada Maria seolah-olah dilihat sebagai balas jasa Yesus karena telah melahirkan, mengasuh, dan mendampingiNya selama hidup. Akhirnya Marialah yang membagiratakan rahmat Allah pada tiap-tiap orang.9
Membedah masalah ini kita bisa berpegang pada peranan subyektif Maria. Maria menjadi cermin dan contoh bagi umat beriman dalam menggapai rahmat dan penebusan Kristus. Kepengantaraan Maria (MariaMediatrix) mesti dilihat sebagai peran Maria yang mendoakan Gereja. Lebih dari itu keterlibatan Maria dalam membagikan rahmat merupakan suatu kepengantaraan aktual meski “penganugerahan” rahmat itu terjadi melalui kesatuannya dengan setiap orang beriman dalam kehidupan Yesus Kristus sendiri. Akhirnya peran Maria dalam tata rahmat terus berlangsung sepanjang waktu. Dalam kurun waktu itu umat Allah hidup sebagai musafir. Kebutuhan umat Allah akan keselamatan abadi diungkapakan bersama Maria kepada Bapa dengan pengantaraan Yesus Kristus Putranya dan saudara para beriman.10
3. Penutup
Mempersoalkan Maria terkadang membedah suatu permasalahan yang tak akan pernah selesai. Persoalan yang paling urgen sudah tentu tentang keperawanan dan kepengantaraannya. Berkaitan dengan kepengantaraannya kita tak perlu merasa rendah dan kalah di hadapan orang-orang yang mempersoalkannya. Gereja Katolik memiliki dekrit tersendiri tentang Maria sejak jaman bapa-bapa Gereja awal hingga penyempurnaannya dalam KV II. Penting bagi kita atas dasar dekrit dan konsili-konsili itu adalah menempatkan kepengantaraan Maria sebagai penganugerahan rahmat yang berlangsung terus menerus melalui kesatuannya dengan umat beriman dalam kehidupan Kristus sendiri sebab Kristus adalah satu-satunya pengantara. Melalui kepengantaraan Maria kita berani berucap bersama Maria kepada Allah dengan perantaraan Yesus Kristus.
*Mahasiswa STFK Ledalero Semester VIII
Kampus Scalabrinian
1Norman P. T., Konsili-konsili Gereja Sebuah Sejarah Singkat (Yogyakarta: Kanisius, 2007), p. 126.
2Bernard Häring, Maria dalam Hidup Kita Sehari-hari (Ende: Nusa Indah, 1992), p. 9.
3Eddy Kristianto, Maria dalam Gereja Pokok-pokok Ajaran KV II Tentang Maria dalam Gereja Kristus (Yogyakarta: Kanisius, 1987), p. 69.